HTI

Catatan Jubir (Al Waie)

Karena Tunisia Memang ‘Istimewa’

Khilafah: A Shining Model for Women’s Rights and Political Roles. Sebuah konferensi perempuan internasional diselenggarakan berbarengan dengan hadirnya berbagai diskursus memaknai Hari Perempuan Internasional ke 101. Penulis bersyukur bisa menghadiri konferensi bersejarah itu bersama para aktifis Muslimah dari berbagai untuk negara menyampaikan buah fikiran dan dukungan penuh akan segera tegaknya Khilafah. Hizbut Tahrir memilih Tunisia sebagai tempat penyelenggaraan konferensi. Apa istimewanya Tunisia? Mengapa tidak di negara lain?

Pertanyaan kritis di atas disampaikan oleh salah seorang aktifis dari Yaman kepada panitia menjelang acara. Secara singkat panitia setempat menjawab konferensi sangat tepat memberikan jawaban pada apa yang diharapkan rakyat Tunisia pasca revolusi. Rakyat Tunisia membutuhkan model gemilang bagi sistem kehidupan yang lebih baik. Khilafah adalah model yang tepat untuk itu, bahkan untuk mewujudkan hak dan peran politik perempuan. Jawaban yang sangat inspiratif.

Tunisia memang ‘istimewa’. Tunisia adalah mutiara peradaban Islam di Afrika pada masa Kekhilafahan. Pada abad ke-11 kota Tunis telah menjadi kota metropolis yang sarat dengan peradaban Islam. Madrasah Az-Zaituna dan ilmuwan beragam bidang seperti Ibnu Khaldun adalah sebagian produk peradaban Islam di Tunisia. Karena itu, sangat memprihatinkan ketika sekarang kita mendapati kegemilangan peradaban dan suasana keislaman itu nyaris hilang dari hadapan. Kaum perempuan Tunisia lebih terbaratkan dibandingkan dengan Muslimah Indonesia. Di tempat-tempat umum jauh lebih banyak kita temukan perempuan tanpa hijab dibandingkan dengan yang menutup auratnya. Mereka Muslim namun hampir kehilangan identitasnya kemuslimannya. Fenomena wanita karir, pernikahan campuran dan single parents adalah di antara buah ‘taghrib’ (westernisasi) di sana. Cara berpakaian dan bergaul kaum remajanya pun lebih mirip anak-anak muda dunia Barat sebagaimana banyak digambarkan di film-film Hollywood.

Memang telah terjadi proses pembaratan besar-besaran sejak masa pemerintahan Bourghiba hingga Ben Ali. Rezim-rezim diktator ini menggunakan kekuatan senjata guna menyukseskan proyek pembaratan mereka. Berbagai ketentuan syariah ditentang. Ada pelarangan hijab, pembatasan penggunaan masjid hingga penetapan khutbah jumat yang sesuai kepentingan penguasa. Saat kepemimpinan Presiden Habib Bourghiba, pada tahun 1981 Tunisia meratifikasi undang-undang yang melarang Muslimah mengenakan hijab di lembaga-lembaga pemerintahan. Buntutnya, ribuan Muslimah disingkirkan dari pegawai pemerintahan dan pusat-pusat pendidikan. Pada tahun 2006, keluar lagi peraturan ganjil dan sangat tidak manusiawi. Pemerintahan Ben Ali melarang murid-murid perempuan dan mahasiswinya memakai hijab di sekolah dan di kampus. Hingga pada titik klimaksnya, rezim zalim ini ‘mengharamkan’ Muslimah berkerudung ‘masuk’ dan dirawat di rumah sakit negara. Lebih biadab lagi, pemerintah telah melarang ibu-ibu hamil melahirkan anaknya di rumah sakit negara lantaran memakai kerudung.

Namun demikian, umat Islam di sana bukanlah umat yang mati. Mereka adalah umat yang punya ruh penentangan terhadap kezaliman dan mengemban kemuliaan Islam. Mereka juga keturunan orang-orang mulia yang memiliki sejarah emas penerapan Islam dan Khilafah Islamiyah. Mereka memahami ajaran Rasulullah, “Ketika hilang keberanian umat Islam untuk menentang penguasa dzalim dengan kalimat, ‘Hai Zalim,’ maka hilanglah kebaikan pada dirinya.” (HR Al-Hakim). Karena itu, ketika momentumnya tiba, mereka menunjukkan kesatriaannya. Keberanian mereka menonjol, tak ketinggalan kaum perempuannya. Mereka berteriak lantang menantang penguasa zalim dan menggulingkannya.

Meski belum lama berinteraksi dengan Hizbut Tahrir, mereka memahami apa yang diperjuangkan Hizb adalah apa yang mereka harapkan. Sebagian masyarakat memang masih ketakutan bicara tentang khilafah, karena begitu lama penguasa membungkam setiap aspirasi umat untuk mencari peluang menegakkannya. Sebagian besar lainnya memberikan dukungan penuh pada upaya penegakan khilafah. Mereka intensif meminta Hizb menggambarkan bagaimana sistem Khilafah mampu menjawab problematika kekinian.

Di antara hal yang sangat menantang adalah diskusi seputar kedudukan perempuan di tengah kehidupan masyarakat dan juga peran politiknya. Antusiasme kaum perempuan untuk mendapatkan gambaran bagaimana Islam mengatur peran strategis mereka tampak nyata dalam suasana Konferensi Perempuan Internasional. Peserta yang hadir bukan hanya mereka yang berhijab dan menutup aurat. Banyak Muslimah tidak berjilbab juga terlibat aktif dalam konferensi, meneriakkan yel spontanitas ‘Al-Mar’ah turid Khilafah Islamiyah’. Menitikkan airmata haru melihat semangat para peserta lain dan merasakan suasana kerinduan yang sama untuk segera hadirnya Khilafah.

Perempuan-perempuan Arab Tunisia begitu antusias mengikuti konferensi. Sejak pagi hingga petang hari hampir tak ada peserta yang meninggalkan tempat acara. Mereka juga sangat ekspressif mengungkapkan perasaannya. Sepanjang acara peserta menyambut seruan para orator dengan lengkingan takbir. Ketika makalah yang dibaca menceritakan kekejian Kapitalisme terhadap perempuan, sontak mereka meneriakkan ‘Wa Mustashamah..’ sebagaimana dikisahkan dalam sejarah bagaimana teriakan wanita Muslimah meminta perlindungan Khalifahnya saat dilecehkan tentara Romawi.

Sesi Tanya-jawab pun dimanfaatkan maksimal. Tampak bahwa mereka adalah umat yang memiliki riwayat historis dengan Kekhilafahan. Saat ini mereka dibakar kerinduan untuk memiliki kembali imam yang menjadi pelindung, penjaga kehormatan dan pewujud kesejahteraan.

Bayangkan bila perempuan Tunisia sudah memulai langkah besar memperbaiki kondisi kehidupan mereka dengan mengadopsi Islam, selanjutnya berperan aktif menegakkan Khilafah menggantikan pemerintahan sekular yang ada saat ini. Gelombang perjuangan kaum perempuan ini niscaya segera menghancurkan kebohongan Barat bahwa perempuan Muslim menolak sistem Islam yang dianggap mengekang kebebasan perempuan. Dalam sekejap, sama seperti Revolusi Tunisia yang sangat cepat menularkan gerakan serupa pada negara-negara Arab lainnya, perempuan di seluruh dunia Arab bahkan seluruh dunia akan mewujudkan visi baru perjuangan mereka. Tak lain segera tegaknya Khilafah Islamiyah. Maka dari itu, kita pun paham, Konferensi Internasional ini menjadi begitu istimewa karena diselenggarakan di Tunisia. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*