(QS al-Balad [90]: 1-6)
لا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ * وَأَنْتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ * وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ * لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي كَبَدٍ * أَيَحْسَبُ أَنْ لَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ * يَقُولُ أَهْلَكْتُ مَالا لُبَدًا *
Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Makkah ini. Demi bapak dan anaknya. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan susah-payah. Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atas dirinya? Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak. (QS al-Balad [90]: 1-6).
Surat ini dinamakan Al-Balad. Nama itu diambilkan dari salah satu kata dalam ayat pertama. Surat yang terdiri dari dua puluh ayat ini termasuk surat Makkiyyah.1 Menurut asy-Syaukani, tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini.2
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Lâ uqsimu bi hadzâ al-balad (Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini [Makkah]). Surat ini diawali dengan ayat yang berisi sumpah Allah SWT. Huruf lâ pada frasa lâ uqsimu merupakan zâidah (tambahan) Sehingga frasa tersebut bermakna uqsimu (Aku bersumpah).3 Penambahan huruf lâ berguna li ta’kîd al-kalâm wa ta’kîd al-qasam (untuk menegaskan perkataan dan sumpah).4 Menurut al-Biqa’i, kata lâ uqsimu berarti aku bersumpah dengan sebuah sumpah yang mengukuhkan perkara yang disebutkan sekaligus menegasikan perkara kebalikannya.5
Dalam al-Quran, ungkapan tersebut juga terdapat dalam beberapa ayat seperti QS al-Qaqi’ah [56]: 75, al-Qiyamah [75]: 1 dan 2.
Benda yang disebutkan sebagai al-muqsam bih adalah hadzâ al-balad. Pengertian al-balad di sini adalah al-balad al-harâm, yakni Makkah. Demikian penjelasan para mufassir.6 Bahkan menurut al-Qurthubi, ar-Razi dan al-Alusi, pengertian ini merupakan ijmak (kesepakatan) dan tidak diperselisihkan.7 Penyebutan Makkah sebagai al-muqsam ‘alayhi (yang dijadikan obyek sumpah) menunjukkan kemuliaan negeri tersebut.
Kemudian disebutkan: wa anta hill[un] bi hadzâ al-balad (dan kamu [Muhammad] bertempat di kota Makkah ini). Ini merupakan jumlah mu’aridhah (kalimat sisipan), yang menyela ayat sebelum dan sesudahnya. Sebagaimana dalam ayat sebelumnya, al-balad dalam ayat ini pun menunjuk pada Makkah. Dhamîr anta (kamu) menunjuk kepada Rasulullah saw.
Diberitakan bahwa terhadap kota Makkah tersebut, Rasulullah saw. hill[un]. Menurut sebagian mufassir, pengertian hill[un] adalah muqîm (tinggal) sehingga ayat tersebut bermakna: wa anta muqîm bi hadzâ al-balad nâzil fîh hâll bih (dan kamu bermukim, tinggal dan bertempat di dalam kota itu).8Di antara yang berpendapat adalah Abu Hayyan.9 Dengan ungkapan tersebut seolah-olah Allah SWT memuliakan Makkah disebabkan karena tinggalnya Rasulullah saw. di dalamnya.10
Menurut mufassir lainnya, kata al-hill di sini berarti al-halal, yakni dhid al-harâm (lawan dari haram). Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, ‘Atha’, al-Thabari dan lain-lain.11 Demikian pula al-Qinuji, Ibnu Katsir, Said bin Jubair, Abu Shalih, ‘Athiyyah, adh-Dhahhak, Ibnu Zaid dan al-Hasan al-Bashri.12 Dikatakan ath-Thabari, pengertian ayat adalah: Terhadap Makkah, engkau halal berbuat di dalamnya seperti membunuh orang yang kamu inginkan dan menawan orang yang kamu inginkan untuk ditawan. Ini mutlak bagi kamu.13
Mengenai penghalalan kota atau Tanah Haram tersebut kepada Nabi saw. terjadi pada suatu saat setelah turun ayat ini. Tepatnya, ketika pembebasan Kota Makkah (Fat-h Makkah). Ketika itu Rasulullah saw. membunuh Ibnu Khathal, Maqis bin Shubabah, dan lain-lain. Semua perbuatan yang diharamkan bagi orang lain, baik sebelum maupun sesudahnya tersebut, dihalalkan bagi Rasulullah saw.14 Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مَكَّةَ، فَلَمْ تَحِلَّ لأَحَدٍ قَبْلِى، وَلاَ تَحِلُّ لأَحَدٍ بَعْدِى، وَإِنَّمَا أُحِلَّتْ لِى سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ
Sesungguhnya Allah mengharamkan Makkah. Tidak dihalalkan kepada seorang pun sebelum maupun sesudahnya. Sesungguhnya dihalalkan kepadaku suatu saat pada siang hari (HR al-Bukhari).
Mengingat ayat ini turun di Makkah sebelum hijrah, sedangkan peristiwa dijanjikan tersebut terjadi setelah hijrah, maka penghalalan Makkah untuk beliau merupakan janji. Karena itu pengertian: wa anta hill[un]bi hadzâ al-balad adalah fî al-istiqbâl (pada masa yang akan datang). Gaya pengungkapan seperti ini dijumpai dalam beberapa ayat lain (Lihat, antara lain QS az-Zumar [39]: 30).15
Ada juga yang menggabungkan kedua makna tersebut seperti al-Biqa’i dan az-Zuhaili. Mereka menafsirkan ayat ini dengan ungkapan: wa anta, yâ Muhammad, halâl wa hâl muqîm fîhi (dan engkau, wahai Muhammad, halal dan tinggal di dalamnya).16
Kemudian dilanjutkan dengan sumpah berikutnya: Wa wâlid wamâ walad (Demi bapak dan anaknya). Menurut Mujahid, adh-Dhahhak, al-Hasan dan Abu Shalih, kata wâlid menunjuk Adam as. Adapun wa mâ walad adalah semua keturunannya. Allah SWT bersumpah terhadap mereka karena mereka adalah ciptaan-Nya di atas permukaan bumi yang paling mengagumkan. Sebab, pada diri manusia terdapat kemampuan menjelaskan, berbicara dan melakukan pengaturan; juga terdapat para nabi dan penyeru kepada Allah SWT.17 Ada juga yang menafsirkan maksud ayat tersebut adalah Ibrahim dan anak-anaknya.
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari pendapat yang benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa Allah bersumpah dengan semua wâlid wa waladihi (bapak dan anaknya). Alasannya, Allah SWT bersumpah dengan meliputi semua bapak dan anaknya secara umum. Tidak boleh mengkhususkan perkara tersebut kecuali dengan hujjah yang dapat diterima, baik melalui khabar ataupun akal. Karena tidak ada khabar yang mengkhususkannya atau argumentasi yang wajib diterima untuk mengkhususkannya, maka ayat itu berlaku umum sebagaimana adanya.18
Setelah disebutkan al-muqsam bih, kemudian disebutkan al-muqsam ‘alayh yang berguna sebagai jawâb al-qasam. Allah SWT berfirman: Laqad khalaqnâ al-insâna fî kabad (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan susah-payah). Kata al-insân menunjuk kepada banî Adam (anak keturunan Adam), sedangkan al-kabad, pada asalnya berarti asy-syiddah (kesempitan, kesulitan). Dengan demikian makna fî kabad adalah fî syiddah wa ‘anâ` min mukâbadat al-dun-yâ (dalam kesukaran dan kepayahan dari kesulitan dunia).19 Menurut Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, fî kabad berarti fî syiddah wa nashb (dalam kesukaran dan keletihan). Asy-Syaukani dan Abu Hayyan al-Andalusi juga mengatakan bahwa pengertian al-kabad adalah asy-syiddah wa al-masyaqqah (kesukaran dan keletihan).20
Kesempitan dan keletihan yang dialami manusia terjadi pada semua prosesnya; mulai sejak di perut ibunya, menyusui, baligh, mencari penghidupan hingga ketika mati.
Kemudian Allah SWT berfirman: Ayahsabu an lan yaqdira ‘alayhi ahad (Apakah dia menyangka bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atas dirinya?). Huruf hamzah di awal kalimat merupakan istifhâm (kata tanya). Dalam konteks ayat ini, istifhâm tersebut bermakna inkâri li at-tawbîkh (pengingkaran yang berguna sebagai teguran).21 Itu artinya, ayat ini mengingkari persangkaan mereka yang salah sekaligus teguran terhadap mereka. Sebagaimana dijelaskan al-Qurthubi, pengertian ayat ini adalah: Apakah Bani Adam mengira Allah SWT tidak akan menghukum dirinya?22 Al-Hasan al-Bashri memaknai ayat ini dengan ungkapan: Apakah dia mengira tidak ada seorang pun yang mampu mengambil hartanya?23 Semua persangkaan mereka itu salah besar sekaligus mengherankan. Betapa tidak, sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan susah-payah, mereka justru menyangka tidak ada yang berkuasa atas mereka.
Kemudian diberitakan dalam ayat berikutnya: Yaqûlu ahlaktu mâl[an] lubada (Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak”). Kata ahlaktu berarti anfaqtu (saya membelanjakan). Adapun makna mâl[an] lubad[an] adalah mâl[an] katsîr[an] mujtami’a[n] (harta yang banyak lagi melimpah). Demikian penjelasan Mujahid, al-Hasan, Qatadah, al-Sudi, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, asy-Syaukani, dan lain-lain.24
Kemulian Makkah dan Rasulullah saw.
Ada beberapa perkara penting yang dicatat dari ayat ini. Pertama: kemuliaan Makkah dan Rasulullah saw. Sebagaimana telah dipaparkan di muka, kata al-balad dalam surat ini menunjuk kepada Makkah. Kota yang dijadikan obyek sumpah menunjukkan keutamaann dan kemuliaan kota tersebut.
Mengenai keutamaan Makkah merupakan sesuatu yang telah maklum. Sebab, hal itu disebutkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah saat Makkah dijadikan sebagai tanah haram yang aman. Di dalamnya terdapat maqam Ibrahim sebagai tempat shalat dan Baitullah sebagai tempat berhaji (lihat QS Ali Imran [3]: 97). Di Makkah juga terdapat masjid, yakni Masjid al-Haram, yang dijadikan sebagai kiblat bagi seluruh manusia (lihat QS al-Baqarah [2]: 144).
Makkah juga ditetapkan sebagai tanah haram yang di dalamnya dilarang mengusir hewan buruannya, mencabuti tumbuh-tumbuhannya dan mengambil barang temuannya. Rasulullah saw. bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مَكَّةَ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ فَهِىَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلاَ يَأْخُذُ لُقَطَتَهَا إِلاَّ مُنْشِدٌ
Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah pada saat diciptakan langit dan bumi. Maka, dia haram hingga hari Kiamat. Pohonnya tidak boleh ditebang, binatang buruannya tidak boleh diusir, barang temuannya tidak boleh diambil kecuali dia bermaksud untuk mengumumkannya (HR. Ibnu Majah).
Sebagaimana perbuatan baik di Tanah Haram akan dilipatgandakan pahalanya, maka perbuatan buruk di Tanah Haram akan dilipatgandakan siksanya. Bukan hanya perbuatan buruk, berniat untuk melakukan perbuatan buruk pun dilarang (lihat QS al-Hajj [22]: 25).
Keutamaan Makkah tersebut menjadi lebih sempurna saat dijadikan sebagai tempat tinggal Rasulullah saw. sebagai rasul dan nabi akhir zaman dengan membawa risalah paripurna untuk seluruh manusia.
Rasulullah saw. yang disebutkan hill[un] terhadap kota tersebut juga menunjukkan kemuliaan Rasulullah saw. Sebagaimana dijelaskan di muka. Di antara makna hill[un] adalah halal. Kebalikan dari haram. Saat Rasulullah saw. dibolehkan melakukan beberapa perbuatan yang diharamkan bagi orang lain untuk melakukannya, itu menunjukkan kemuliaan beliau. Kebolehan tersebut bukan berarti Rasulullah saw dibolehkan melakukan tindakan zalim dan sewenang-wenang. Jika dicermati, orang-orang yang dibunuh dan ditawan Rasulullah saw. adalah orang-orang yang memang layak diperlakukan demikian lantaran besarnya permusuhannya terhadap Allah SWT, agama dan Rasul-Nya.
Kedua: tidak logisnya persangkaan manusia yang mengingkari kekuasan-Nya. Sebagaimana telah dipaparkan, manusia adalah makhuk yang Allah ciptakan. Hakl ini ditegaskan dalam firman-Nya: Laqad khalaqnâ al-insân (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia). Itu pun diciptakan dalam keadaan letih, sempit dan susah payah. Dalam surat ini disebutkan fî kabad (dalam keadaan sempit dan susah-payah). Dengan demikian, manusia jelas merupakan makhluk yang amat lemah.
Oleh karena itu, sungguh amat mengherankan apabila ada manusia yang menyangka dirinyalah yang berkuasa dan tidak ada yang berkuasa atas dirinya; atau menyangka bahwa tidak ada yang bisa menghukum atas tindakan jahat yang dilakukannya. Padahal persangkaan yang salah inilah yang melahirkan perilaku zalim, sewenang-wenang, arogan dan berbagai perbuatan jahat lainnya.
Dalam kehidupan manusia, memang ada di antara mereka yang berkuasa atas manusia lainnya. Ada juga yang memiliki harta yang melimpah-ruah, yang bisa dibelanjakan pemiliknya untuk meninggikan posisinya di hadapan manusia, menjaga keamanan dirinya dan meraih kekuasaan atas manusia lainnya. Akan tetapi, kekuasaan yang dipegang manusia itu amat rapuh. Sebab, ketika Allah SWT mengambil kekuasaan itu dari tangan pemegangnya, ia tidak akan bisa mencegahnya. Demikian juga dengan harta yang melimpah. Besarnya harta yang diinfakkan manusia sama sekali tidak bisa memberikan manfaat apa pun kepada pemiliknya tatkala infak tersebut dilakukan atas dasar riya’ dan tidak dilandasi dengan keikhlasan. Harta dan kekuasaan itu juga tidak akan bisa melindunginya dari azab dan siksa-Nya, baik di dunia maupun di akhirat (Lihat: QS al-Haqqah [69]: 28-29).
Dengan demikian, jika menggunakan akal sehatnya, manusia tidak akan terjerumus dalam persangkaan yang salah tersebut. Semoga kita dihindarkan dari persangkaan yang salah dan menjermusukan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 391; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1984), 753; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 14320 H), 479; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al_’Ulum wa al-Hikam, 2003), 572.
2 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu katsr, 1994), 538.
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 538
4 Asy-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 243.
5 Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 46.
6 Ath-Thabari, Jami’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: al-Risalah, 2000), 429; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya at-Turats, 14320 H), 254; al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 753.
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 60; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 14320 H), 164; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 349; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 538
8 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 164
9 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 479.
10 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 164
11 Ath-Thabari, Jami’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 430-431; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 350.
12 Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, 15 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 238; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 392
13 Ath-Thabari, Jami’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 24, 430.
14 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 60
15 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 754; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 539
16 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 47; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 24
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 62.
18 Ath-Thabari, Jami’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 433.
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 62.
20 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 539; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 478.
21 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 243.
22 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 64. Pengertian serupa juga disebutkan al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 540.
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 393.
24 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 64; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 540; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 393.