Sabtu, 10 Maret 2012, berbarengan dengan peringatan International Women’s Day, sebuah International Womens Conference (IWC) yang digagas oleh Hizbut Tahrir berlangsung di Hotel Le Palace, Complexe Cap Gammarth – La Marsa Les Cotes de Carthage, Gammareth Tunis di Tunisia. Tema yang diusung dalam konferensi ini adalah: “Khilafah: Sebuah Model Cemerlang bagi Hak-Hak dan Peran Politik Perempuan.”
Acara dimulai pukul 08.30 waktu Tunisia atau pukul 14.30 WIB, yang sejak dini harinya tempat acara diguyur hujan. Namun Hotel Le Palace tak mampu menampung peserta konferensi yang datang dari berbagai penjuru kota di Tunisia dan delegasi dari 20 negara di dunia. Pasalnya, lebih dari seribu peserta hadir di sana. Sebagian rela berdiri karena kursi yang tersedia telah terisi penuh. Delegasi dari luar Tunisia didominasi Sudan. Tampak juga delegasi dari Yaman, Yordan, Libanon, Turki, Australia dan Britain. Tentu tak ketinggalan delegasi Indonesia. Mereka menjadi saksi atas momen bersejarah ini.
Inilah kali pertama di dunia diadakan konferensi internasional yang dihadiri begitu banyak perempuan dari berbagai latar belakang etnis, ras dan profesi untuk membincangkan persoalan yang sama, yakni problem perempuan dan menyerukan solusi komprehensif yang sama, yakni Khilafah.
Para perempuan yang menghadiri konferensi adalah para aktivis dakwah Islam, perempuan politisi dan tokoh- perempuan, aktivis politik perempuan, penulis, akademisi, wartawan, guru, tokoh masyarakat, perwakilan organisasi wanita dari berbagai negara, baik dari negeri-negeri Arab, Asia, Eropa hingga Afrika. Meski berbeda latar belakang, suku dan negara, mereka disatukan dalam satu keyakinan yang sama, yakni akidah Islam. Mereka sepakat dengan satu pemikiran: Perempuan Butuh Khilafah.
Rangkaian agenda Konferensi diawali dengan mendengarkan pesan dari Amir Hizbut Tahrir Syaikh Atha bin Khalil Abu Rasytah. Amir Hizb mengingatkan bahwa hanya Islamlah yang mampu melindungi hak dan peran politik perempuan. ”Sepanjang sejarah sistem Kapitalisme tidak pernah ada jaminan perlindungan kaum perempuan dari penindasan dan pelecehan,” kata Amir Hizb dalam tayangan video.
Segera, suasana penuh kerinduan akan tegaknya Khilafah menyelimuti forum konferensi. Banyak peserta menitikkan airmata haru.
Selanjutnya para pembicara mempresen-tasikan secara rinci bagaimana visi sistem Khilafah secara paripurna menjamin hak-hak perempuan dan mengatur peran politiknya tanpa meninggalkan peran utamanya sebagai ibu pendidik generasi. Presentasi disampaikan oleh para wanita dari Hizbut Tahrir Tunisia, Yordania, Palestina, Yaman, Turki, Libya, Sudan, Libanon, Suriah, Indonesia dan Eropa.
Pemaparan dimulai oleh pembicara tuan rumah, Tunisia, yang menyinggung kondisi umum perempuan di negerinya. Diyakini, hanya Khilafah sajalah yang mampu menyelesaikan segudang persoalan yang melilit kaum perempuan di negaranya.
Pembicara dari Yaman menyinggung sulitnya menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga dalam sistem Kapitalisme yang menciptakan lingkungan yang merusak anak-anak. “Kaum ibu bisa berperan maksimal mendidik generasi hanya jika ada Khilafah,” tegasnya.
Sontak peserta pun menyambutnya dengan teriakan, “Al-Mar’ah turid Khilafah Islamiyah (Kaum perempuan menginginkan Khilafah Islamiyah).”
Adapun delegasi Indonesia, Ketua DPP Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Ratu Erma Rahmayanti dalam orasinya menyinggung kondisi perempuan di Indonesia yang didominasi kemiskinan. Salah satunya, perempuan terpaksa menjadi buruh migran di berbagai negara seperti Malaysia, negara Teluk dan negeri Syam. “Mayoritas dari buruh migran ini tidak memperoleh hak-hak secara sempurna. Upah mereka umumnya lebih kecil dari laki-laki. Mereka tidak mendapatkan layanan kesehatan yang memadai, khususnya ibu-ibu hamil dan menyusui,” katanya.
“Apalagi didapati para buruh migran ini banyak yang buta huruf sehingga sering mendapatkan eksploitasi/penganiayaan, pelecehan seksual dan perlakuan yang tidak layak. Bahkan beberapa dari mereka disiksa dan dibunuh.”
“Kondisi tersebut,” lanjutnya, “tentu sangat ironis mengingat Indonesia adalah negara kaya dengan berbagai sumberdaya alam. Semua itu terjadi karena sistem pemerintahan yang korup dan tunduk pada asing. Sumberdaya alam dikelola bukan untuk kemakmuran rakyat, terlebih perempuan,” katanya.
Ia pun menjabarkan bagaimana Islam menjamin hak-hak perempuan hingga tak perlu menghidupi dirinya sendiri. Maka dari itu, tidak mungkin bagi perempuan bisa menikmati kebahagiaan, ketenangan dan memperoleh hak-haknya secara menyeluruh kecuali dengan penerapan syariah Islam secara kaffah. Syariah kaffah tidak akan tegak kecuali dengan Khilafah.
Sementara itu, Juru bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Iffah Ainur Rochmah yang menghadiri konferensi ini mengungkapkan, antusiasme para perempuan dalam konferensi ini memperlihatkan dengan gamblang, betapa besar kegalauan kaum perempuan di Tunisia dan dunia Arab pasca revolusi Arab (Arab Spring). “Kaum perempuan sedang membutuhkan solusi untuk problem mereka. Mereka menghadapi situasi kompleks berupa keinginan berkiprah lebih besar di tengah masyarakat, berkonstribusi pada penyelesaian problem kemiskinan tanpa kehilangan jatidiri, di tengah sangat derasnya gempuran pemikiran Barat melalui ide persamaan derajat dan gender equality,” bebernya.
Ia menyebut, harian di kawasan Teluk el-Ittihad (9/3/2012), misalnya, menggambarkan bagaimana peran perempuan di sektor-sektor publik semakin dominan, namun menyeruak kekhawatiran akan bergesernya peran keibuan dan perhatian utuh terhadap tanggung jawab kaum perempuan terhadap pendidikan generasi dalam keluarga. Kolom-kolom artikel dan iklan full pages bertepatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret dibuat untuk mengingatkan kaum perempuan terhadap perannya dan posisi mulianya dalam keluarga, yaitu sebagai istri dan ibu. “Begitu besar harapan bahwa hasil Konferensi Perempuan Internasional hari ini akan memberikan solusi atas problem dan hak-hak yang didambakan kaum perempuan tak hanya di dunia Arab, namun bagi kaum perempuan di seluruh dunia,” paparnya.
Perhatian Media
Sebelum konferensi berlangsung, acara yang monumental ini diawali dengan agenda Press Conference oleh Anggota Central Media Hizbut Tahrir, Dr. Nazreen Nawas, Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Iffah Ainur Rochmah dan Ketua Panitia Konferensi Nisrina dari Tunisa.
Media dari berbagai tempat hadir untuk meliput jalannya acara dan menyiarkan acara bersejarah ini. Kalangan media lokal dan internasional menyimak serius pernyataan penyelenggara IWC. Wartawan dari radio Tunisia, TUT TV, Aljazeera, Associated Press, AFP, French International Radio dan berbagai media lokal berpartisipasi dalam konferensi pers itu.
Dalam konferensi pers tersebut, dibacakan Pernyataan Pers IWC berbahasa Arab dan Inggris. Juru bicara Muslimah dari Media Office Hizbut Tahrir, Dr. Nazreen Nawaz menegaskan bahwa IWC ini ditujukan untuk mengakhiri kebohongan yang selama ini dipublikasi luas oleh media Barat bahwa perempuan Muslim menolak penerapan syariah.
Ia menjelaskan, pada faktanya perempuan Muslim di berbagai penjuru dunia sedang menuntut perubahan hakiki. Mereka menyadari sistem demokrasi dan kediktatoran telah gagal menyelesaikan problem perempuan, bahkan tak mampu memberi jaminan kehormatan dan kesejahteraan bagi perempuan. “Kini saat yang tepat bagi perempuan untuk membela dan memperjuangkan tegaknya sistem Khilafah, yaitu sebuah model pemerintahan yang unik yang konstitusinya bersumber dari Allah Yang Mahabaik. Sistem Khilafah juga menetapkan pemimpinnya melalui pemilihan oleh rakyat baik laki-laki maupun perempuan. Penguasanya, yakni Khalifah, bisa dikoreksi dan memberi jaminan kehormatan bagi perempuan,” jelasnya panjang lebar.
Para wartawan yang hadir pun kemudian saling berebut pertanyaan mengenai isu Khilafah ini. Pertanyaan dinamis banyak terlontar seputar kedudukan perempuan di bawah lindungan Khilafah, hubungan IWC dengan Revolusi Arab, juga tentang metode HT dalam menegakkan Khilafah.
Adapun pertanyaan media yang ditujukan kepada Juru Bicara Muslimah HTI, Iffah Ainur Rochmah, adalah tentang respon kaum perempuan Indonesia terhadap seruan penegakan Khilafah; juga tentang pesan khusus kehadiran delegasi Indonesia pada IWC.
Iffah menjelaskan perempuan Indonesia yang jumlahnya mencapai 100 juta juga serupa dengan perempuan di berbagai penjuru dunia. Mereka membutuhkan perubahan hakiki, mereka hidup dalam penderitaan akibat sistem Kapitalisme. ”Lewat interaksi dengan HT, kaum perempuan di Indonesia menyadari perubahan hakiki bisa diraih dengan menegakkan Khilafah,” terangnya.
Ia pun menambahkan, kehadiran delegasi Muslimah HTI dalam acara penting ini hendak menyampaikan pesan bahwa perempuan Muslim Indonesia dari berbagai kalangan mulai pelajar hingga akademisi, pengusaha, mubalighah merindukan segera tegaknya Khilafah. “Selain memperjuangkan terwujudnya opini umum tentang Islam di dalam negeri, lewat konferensi ini, Muslimah Indonesia mengingatkan semua pihak, bahwa hanya dengan menerapkan syariah Islam dan Khilafah kemakmuran bisa diperoleh, kehormatan perempuan terjaga tanpa melarangnya berkontribusi di tengah masyarakat sesuai syariat,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Panitia IWC, Nisrina, aktivis Hizbut Tahrir Tunisia menyampaikan, antusiasme kaum perempuan untuk menyambut IWC sangat tinggi. ”Alhamdulillah, peserta sangat antusias. Hotel La Palace Gammareth tidak akan mampu menampung jumlah peserta yang membludak,” katanya.
Hal ini, lanjutnya, menunjukkan betapa derasnya dukungan atas gagasan penegakan Khilafah dari kalangan perempuan di seluruh dunia. Karena itu, pihaknya bersyukur dan mengucapkan terima kasih atas dukungan semua pihak, khususnya media atas suksesnya acara ini. []