Populasi perempuan Muslim hari ini mencapai lebih dari sepersepuluh penduduk dunia atau seperlima dari total populasi perempuan dunia. Ini berarti, ada sekitar 700 juta jiwa Muslimah di dunia saat ini. Jumlah ini tidak bisa dibilang sedikit.
Namun, besarnya jumlah tidak selalu menunjukkan kekuatan. Justru perempuan Muslim di berbagai belahan dunia selama beberapa dekade ini banyak menghadapi penindasan, kemiskinan dan penghinaan di bawah rezim represif yang korup dan sistem ekonomi yang sudah usang. Kemiskinan, kekerasan (violence) dan ketidakadilan/diskriminasi masih dianggap persoalan krusial yang dialami perempuan dari masa ke masa.
Dunia menantikan sistem dan tatanan baru yang menghadirkan visi politik yang sama sekali berbeda. Sistem ini harus mampu menjamin kehidupan yang layak dan menghormati perempuan. Sistem ini pun harus membawa perubahan hakiki dengan membentuk masa depan dunia yang bermartabat dan sejahtera bagi semua masyarakat dunia, laki-laki maupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim.
Perempuan di Berbagai Kawasan
Pada abad ini, setidaknya terdapat tiga kawasan paling representatif untuk menggambarkan bagaimana peta persoalan perempuan Muslim di dunia, yaitu: (1) Timur Tengah-Afrika Utara; (2) Asia Pasifik; (3) Negara-negara Barat.
1. Perempuan Muslim di Barat.
Lebih dari 20 juta perempuan Muslim yang hidup di kawasan Eropa dan Amerika tentu bisa merasakan langsung benturan nilai dengan Barat, karena mereka hidup di dalam tatanan masyarakat Barat yang kini sedang mengalami keguncangan sosial. Di tengah mitos kecantikan perempuan Barat yang menjadi arus, perkembangan perempuan Muslim di kawasan ini sangatlah fenomenal. Bahkan di tengah larangan niqab oleh beberapa negara di kawasan Eropa, busana Muslim justru tumbuh sebagai simbol pembebasan perempuan. Perempuan muda dan berpendidikan di Eropa banyak yang beralih memeluk Islam dan dengan kesadaran mengenakan busana Muslimah yang amat kontras dengan budaya Barat. Mereka dengan berani menampilkan jilbab sebagai sumber identitas, protes dan pembebasan. Gejala ini bisa dilihat sebagai sebuah arus balik dari keruntuhan sosial dalam masyarakat Barat. Gejala ini juga merupakan reaksi atas keterbelengguan perempuan di Barat justru oleh ide kebebasannya sendiri, juga oleh mitos kecantikan dan kesuksesan perempuan modern yang sekular.
Namun, di sisi lain perempuan Muslim di sana juga harus berhadapan dengan diskriminasi sosial karena tingginya suhu islamophobia pada masyarakat Barat terhadap Islam, apalagi jika mereka berasal dari keluarga migran yang minoritas. Perlakuan yang mempersulit perempuan Muslim dalam mengenakan busana Muslimah acapkali mereka terima. Ini tentu ironis karena mereka justru hidup di negara-negara yang katanya paling menghormati perempuan; pelopor demokrasi dan HAM.
2. Perempuan Muslim di Asia Pasifik.
Sebagian besar kawasan Asia Pasifik adalah negeri-negeri Islam. Populasi terbesar perempuan Muslim berada di kawasan ini. Kira-kira 450 juta Muslimah tersebar di Asia Selatan, Asia Tenggara juga Asia Tengah. Meski demikian, kondisi perempuan Muslim Asia masih diliputi oleh kemiskinan, kebodohan dan eksploitasi.
Khusus di Asia Tenggara, faktor kemiskinan, jumlah populasi yang besar, dan minimnya kendala budaya terhadap mobilitas perempuan ke ruang publik membuat angka migrasi tenaga kerja perempuan sangatlah tinggi. Ironisnya, tenaga kerja yang bermigrasi ini mayoritas dengan kemampuan dan skill rendah. Untuk Indonesia saja angka buruh migran perempuan low skilled mencapai 7 juta jiwa. Tingginya angka buruh migran ini memacu masalah lain, yaitu problem kekerasan yang menimpa buruh migran perempuan yang bahkan tak jarang harus meregang nyawa di negeri orang. Fenomena migrasi sosial ini tentu menimbulkan dampak yang signifikan, utamanya pada tatanan sosial, yaitu terhadap struktur keluarga Muslim di Asia Tenggara.
Yang menarik, di kawasan ini perempuan Muslim hampir tidak ada kesulitan dalam mengenakan busana Muslimah dengan berbagai warna dan model. Bahkan Indonesia sebagai negara terbesar dalam hal populasi Muslim saat ini sedang diproyeksikan menjadi kiblat mode dunia dalam hal busana Muslimah. Busana Muslim sudah menjadi unsur kebudayaan populer di Indonesia dan industri busana Muslim berkembang pesat. Namun, ada gejala umum yang terjadi, yakni pergeseran nilai busana Muslimah dari sebuah kewajiban yang melekat pada identitas Muslimah, menjadi hanya sekadar budaya pop dari Islam Moderat yang bisa berdampingan dengan budaya kebebasan.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari proyeksi Barat, khususnya Amerika Serikat, untuk menjadikan Indonesia sebagai role model negeri Islam yang paling demokratis. Indonesia dipandang memiliki posisi strategis di kawasan Asia secara umum untuk mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai demokrasi ala Amerika (Barat). Keberhasilan Indonesia dalam konteks ini akan dipandang menjadi keberhasilan AS pula. Tentu bukan tanpa alasan kalau Hillary Clinton dalam salah satu kunjungannya di Indonesia memuji-muji negeri ini sebagai negara Muslim demokratis terbesar dunia yang berhasil menggabungkan Islam dengan demokrasi.
3. Perempuan Muslim di Timur Tengah.
Di kawasan ini perempuan Muslim sangat lama hidup di bawah rezim despotik dan represif yang korup. Hak-hak politik mereka terbelenggu dan kesejahteraan mereka terampas, ditambah adanya kultur masyarakat Arab yang membatasi kiprah perempuan di ruang publik. Sebagai contoh, di Arab Saudi perempuan dilarang mengemudi, tidak memiliki hak suara dalam proses politik, bahkan tidak boleh memiliki telepon genggam.
Kondisi di kawasan Arab inilah yang sering menjadi sorotan miring Barat dan pegiat jender untuk membuat pencitraburukkan terhadap Islam. Islam dipropagandakan sebagai idelogi penindas perempuan yang mengekang kebebasan perempuan, karena hukum-hukumnya yang dinilai patriarkis; baik hukum tentang jilbab, waris, poligami dan kebolehan suami memukul istrinya, dst.
Stereotip radikal ini diperkuat dalam banyak berita yang sering menggambarkan perempuan Muslim sebagai pendiam, penurut, dan terpinggirkan ke wilayah domestik; sementara kaum lelakinya memonopoli peran aktif dalam masyarakat. Sebuah survei terhadap semua foto Muslim yang dimuat pers Amerika menunjukkan bahwa tigaperempat perempuan digambarkan dalam sikap pasif, dan ketika menggambarkan Timur Tengah, wanita enam kali (42%) lebih sering ditampilkan sebagai korban dibandingkan laki-laki (7%).
Yang menjadi pertanyaan: Betulkah Islam yang membelenggu hak-hak perempuan di dunia Arab? Ataukah tradisi represif rezim despotik yang bertentangan dengan Islam itu sendiri yang menjadi sumbernya? Kehadiran musim semi Arab (Arab Spring) yang meruntuhkan rezim-rezim despotik akhirnya menjadi jawaban. Di sana kaum perempuan Muslim justru memainkan peranan penting di barisan depan untuk melawan kezaliman rezimnya, menuntut keadilan dan kembalinya Islam, serta hak-hak perempuan yang sebelumnya dirampas oleh para tiran itu.
Dari Tunisia hingga Bahrain, Mesir hingga Suriah, Yaman hingga Libya kaum perempuan di Timur Tengah berdemonstrasi turun ke jalan untuk menyampaikan suara mereka mengharapkan perubahan hakiki yang akan menjamin masa depan menjadi lebih bermartabat dan sejahtera di bawah naungan Islam.
Akar Masalah Perempuan
Sungguh kaum perempuan di seluruh dunia Islam selama beberapa dekade menghadapi penindasan, kemiskinan dan penghinaan di bawah rezim represif yang korup dan sistem ekonomi yang sudah usang. Berbagai pemerintahan di Timur dan Barat, Utara dan Selatan telah menutup mata dan membiarkan pelanggaran terhadap hak perempuan dan bahkan melucuti hak-hak dasar mereka.
Dari kawasan yang dianggap paling demokratis sekalipun seperti negeri-negeri Barat, sampai kawasan yang dianggap paling tidak demokratis seperti negeri-negeri Arab, sesungguhnya perempuan dalam keadaan hina, tertindas dan diliputi oleh kemiskinan. Semua sistem monarki dan republik, demokrasi dan kediktatoran, selama delapan dekade terakhir telah gagal menjamin kehidupan yang layak dan menghormati perempuan.
Sumber dari segala persoalan perempuan sesungguhnya bukanlah dari Islam! Biang keladinya justru berasal dari sistem-sistem politik usang yang dipaksakan Barat kepada umat Islam untuk diterapkan. Ideologi Kapitalismelah yang berada di balik semua ini dan menjadi akar penderitaan kaum perempuan.
Sayang, upaya perbaikan kondisi perempuan saat ini selalu menemui jalan buntu, karena perjuangan mereka terbatas hanya untuk meraih kuota parlemen atau sejumlah kecil posisi di pemerintahan. Pegiat jender melalui lembaga-lembaga dunianya berupaya terus menekan negeri-negeri Islam agar terus meningkatkan angka partisipasi perempuan di parlemen. Mereka seolah menutup mata bahwa semua upaya itu sejatinya tidak akan menyelesaikan akar persoalan.
Afganistan, Irak, Pakistan dan Sudan semuanya sudah memberikan kuota yang besar di parlemen bagi perempuan, lebih besar daripada sejumlah negara-negara di Barat. Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Turki pernah memiliki presiden atau perdana menteri perempuan. Banyak pula negeri Islam yang sudah melegalisasi hukum dan hak-hak politik, ekonomi dan pendidikan perempuan. Namun semua itu telah gagal dalam memperbaiki kualitas hidup perempuan di negeri-negeri mereka. Apa yang telah dilegislasi ternyata tidak banyak berarti di bawah sistem politik yang korup dan sistem ekonomi yang tidak berfungsi.
Begitu juga perubahan hakiki tidak akan pernah terjadi jika kita hanya mengadopsi sistem coba-coba yang telah sering terbukti gagal, yaitu sistem Demokrasi Sekular Liberal, dengan manusia sebagai pembuat hukumnya. Alih-alih perubahan, yang terjadi justru status quo Kapitalisme kian menjadi hegemoni bagi dunia, dan itu artinya semakin banyak problem yang akan membelit perempuan.
Visi Politik Baru
Banyak pihak, terutama pegiat jender, telah lama berbicara mengatasnamakan para Muslimah di berbagai kawasan dunia Islam. Narasi mereka hadir dengan cerita yang ketinggalan zaman, bahwa kaum Muslimah memandang Islam sebagai penindas mereka, bahwa perempuan Muslim menolak pemerintahan Islam dan mencari kebebasan pada sistem Demokrasi-Sekular-Liberal. Padahal visi politik mereka telah terbukti gagal, sejalan dengan kebobrokan sistem Demokrasi Sekular-Liberal. Alih-alih kaum perempuan terangkat nasibnya, mereka malah terperangkap oleh jaring-jaring yang mereka ciptakan sendiri.
Omong-kosong bahwa Islam penindas perempuan terbantahkan dengan sendirinya, karena Islam sedari awal telah memberi perempuan posisi yang bergengsi. Posisi inilah yang berhak dia peroleh sebagai manusia yg bermartabat. Posisi itu adalah ummu wa rabbah al-bayt (ibu dan manajer rumah tangga). Di dalam Islam, perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Islam memberikan hak-hak yang sama kepada perempuan seperti halnya pada laki-laki, karena perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Islam pun menetapkan hukum-hukum yang memelihara hak-hak perempuan; menjaga kemuliaan dan menjaga potensi/ kemampuannya (Lihat: QS at-Taubah [9] : 71).
Karena itu, dunia saat ini tengah menantikan sistem dan tatanan baru dengan visi politik yang sama sekali berbeda. Sistem ini harus mampu membawa perubahan hakiki bagi dunia serta membentuk masa depan dunia yang bermartabat dan sejahtera bagi semua masyarakat dunia, laki-laki maupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim. Kaum perempuan akan menjadi bagian integral dalam menjamin masa depan tersebut menjadi kenyataan.
Visi politik itu adalah Khilafah Islamiyah yang merupakan model pemerintahan sejati yang akan membebaskan perempuan dari kemunduran dan penindasan sekaligus memberikan visi politik jelas bagi status dan kehidupan perempuan. Sistem ini menyajikan rancangan perubahan politik dan ekonomi secara menyeluruh, sebagaimana menyajikan strategi yang jelas untuk menjamin martabat dan hak-hak perempuan serta kaum minoritas. Khilafah adalah sebuah negara yang akan mentransformasi kebangkitan ini menjadi perubahan yang sesungguhnya bagi para perempuan Muslim di Dunia Islam.
WalLahu a’lam. []
Referensi:
1. Mapping The Global Muslim Population 2009, PEW Research Centre.
2. Bernadette P. Resurreccion, Gender Trends in Migration and Employment in Southeast Asia
3. John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat, Mizan Pustaka, 2011.
4. Lopa Hussein & Adnan Khan, “Does Islam Opress Women?” Khilafah.com, 2009.