Demokrasi merupakan puncak ilmu, ideologi dan wisdom hasil karya umat manusia abad ke-20, ke-21. Demokrasi telah disepakati untuk menjadi satu-satunya ’kiblat’ dalam urusan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir tidak ada ketidaksepakatan terhadap demokrasi.
Semua orang menjunjung tinggi demokrasi. Semua orang merasa salah, bodoh dan dekaden kalau ragu terhadap demokrasi…Itu tak lain karena saking sucinya demokrasi…
*****
Demokrasi itu harga mati. Demokrasi itu kebenaran sejati. Demokrasi itu prinsip yang mutlak, pedoman kehidupan yang bersifat absolut; tidak boleh ditolak, tidak boleh dipertanyakan, bahkan sedikit pun tidak boleh diragukan.
Al-Quran boleh bilang bahwa dirinya la roiba fih, tak ada keraguan padanya. Namun, menurut undang-undang di negeriku orang boleh meragukan al-Quran; bahkan terdapat kecenderungan psikologis empirik untuk menganjurkan secara implisit sebaiknya orang menolak dan membenci al-Quran.
Namun, tidak boleh bersikap demikian terhadap demokrasi. Demokrasilah la roiba fih sejati. Di dalam praktik konstitusi negeriku demokrasi lebih tinggi daripada Tuhan. Tuhan berposisi dalam lingkup hak pribadi setiap orang, sedangkan demokrasi terletak pada kewajiban bersama. Orang tidak ditangkap karena mengkhianati Tuhan, tetapi berhadapan dengan aparat hukum kalau menolak demokrasi…
*****
Beberapa potong kalimat di atas—yang saya kutip dari tulisan seorang cendekiawan Muslim terkenal—tentu tidak sedang memuja-muji demokrasi. Saya yakin, penulisnya justru sedang mengungkapkan ‘kegeraman’-nya terhadap demokrasi meski dengan nada yang sarat dengan sindiran tajam.
Namun, apa yang diungkap seluruhnya benar alias tidak salah, yakni menggambarkan realitas nyata demokrasi dan para pengusungnya, di hadapan agama (baca: Islam) dan para pembelanya. Demokrasi itu sakral dan suci. Para pengusungnya adalah para manusia amanah dan sejati. Sebaliknya, Islam itu profan dan tidak suci. Para pembelanya bukan saja manusia tak tahu diri, tetapi pelaku kriminal dan pengkhianat jika menentang demokrasi.
Barangkali, itulah salah satu gambaran yang diisyaratkan Baginda Nabi saw., “Akan datang kepada umat manusia tahun-tahun yang penuh tipudaya. Di dalamnya para pendusta dianggap benar, sementara orang-orang benar dianggap pendusta; di dalamnya para pengkhianat dianggap amanah, sementara orang-orang amanah dianggap pengkhianat…” (HR Ibn Majah).
Maka dari itu, dalam sistem demokrasi, orang bebas ngomong apapun, kecuali syariah Islam; orang bebas melakukan apapun, kecuali yang mencerminkan Islam. Silakan menghina Nabi saw., membakar al-Quran atau menodai agama. Namun, jangan sekali-kali menghina presiden, melecehkannya, apalagi sampai membanting fotonya. Itu adalah tindakan kriminal, karena presiden dipilih rakyat, sementara rakyat adalah pemilik sejati kedaulatan dalam demokrasi.
Dalam demokrasi silakan para wanita berpakaian mini, berbusana seksi, bahkan telanjang sama sekali. Itu adalah salah satu bentuk kebebasan yang dijamin demokrasi. Sebaliknya, tidak boleh wanita memakai jilbab/hijab karena itu berarti mengancam kebebasan dan keragaman yang menjadi ciri khas demokrasi.
Anak-anak remaja usia sekolah boleh pacaran bahkan berhubungan seks layaknya suami-istri. Yang tidak boleh adalah mereka melakukan semua itu dalam ikatan tali pernikahan. Itulah pula alasannya mengapa Syekh Puji perlu dipenjarakan. Satu-satunya kesalahan dia adalah menikahi secara sah gadis remaja di bawah umur. Lain soal kalau dia memelihara perempuan selingkuhan di luar ikatan pernikahan. Apalagi kalau dia pergi ke tempat lokalisasi pelacuran yang telah dilegalkan. Bukan saja boleh, bahkan dia akan diberi penghormatan karena telah mendukung pembangunan. Bukankah lokalisasi pelacuran menjadi salah satu sumber pemasukan pajak untuk pembangunan?
Silakan pula orang berzina dengan banyak perempuan karena itu dijamin undang-undang. Yang tidak boleh adalah berpoligami karena poligami menindas perempuan dan karenanya melanggar HAM.
Atas nama demokrasi, boleh Pemerintah menyerahkan sebagian besar sumberdaya alam negeri ini kepada pihak asing; mempersilakan pemikiran dan budaya asing masuk merusak generasi; merujuk pada undang-undang Barat sekular lewat studi banding; membiarkan gerakan separatisme di Papua atau di Maluku yang nyata-nyatanya mengancam NKRI, asal pelakunya Kristen dan didukung negara asing; terus menaikkan harga BBM dan listrik yang menyengsarakan rakyat, asal menguntungkan perusahaan asing; dst. Yang tidak boleh adalah menyerahkan kekayaan milik rakyat itu semata-mata untuk kesejahteraan rakyat dan merugikan pihak asing; memasukkan ideologi ‘transnasional’ (baca: Islam) yang bisa memperbaiki generasi; merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah sebagai satu-satunya solusi; membiarkan adanya kelompok-kelompok yang memperjuangkan penerapan syariah meski demi kebaikan negeri ini; dst.
Dalam demokrasi di negeri ini, Presiden boleh berkeluh-kesah setiap saat merasa dirinya terancam, meski itu baru sebatas anggapan yang bersangkutan. Sebaliknya, rakyat dituntut selalu tabah mesti nyata-nyata terancam mati kelaparan. Mereka harus menerima apapun kebijakan Pemerintah, termasuk dalam mengurangi subsidi BBM, yang tentu makin menyengsarakan. Yang tidak boleh adalah mengurangi anggaran gaji, tunjangan serta fasilitas Presiden dan pejabat negara karena itu berarti merendahkan rakyat sendiri yang telah dengan susah-payah memilih mereka menjadi para pemangku kekuasaan.
*****
Pertanyaannya, sebagai Muslim, apalagi pengemban dakwah, akankah semua bentuk kebohongan ini terus dibiarkan?
Mari kita jawab pertanyaan di atas dengan semakin meningkatkan keseriusan dan kesungguhan dalam dakwah menegakkan syariah dan Khilafah Islam. Sebab, hanya dengan itulah segala kebohongan bisa disingkirkan, dan demokrasi bisa segera dibuang ke keranjang sampah peradaban. Jika kita masih tak serius dan sungguh-sungguh melakukan perubahan, hakikatnya kita rela membiarkan umat ini terus menjadi korban. Sungguh, itu adalah pengkhianatan!
Wama tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]