“HTI pantas mendapat piala sebagai pengkhayal terbesar abad ini karena proyek palsunya mewujudkan Negara Islam di Indonesia.”
Kalimat itu tertulis di kulit muka buku karya Dr. Ainur Rofiq al-Amin berjudul Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir di Indonesia (LKis, 2012) yang merupakan ringkasan dari disertasi S-3-nya di IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
Dalam menuduh HT(I) sebagai pemimpi atau pengkhayal dan menyebut dengan kalimat-kalimat nyinyir seperti tertulis di atas, Ainur Rofiq tidak sendiri. Ada beberapa lagi orang yang ngaku sebagai peneliti (tapi tidak teliti) dan intelektual Muslim (tapi lebih mirip sebagai provokator dan anggota kaum pendengki) yang juga kerap menyebut HT(I) dengan kalimat-kalimat yang tidak sepantasnya diucapkan kepada sesama Muslim. Ini tentu sikap yang aneh. Orang kafir saja, misalnya mereka yang tergabung dalam NIC (National Intelligence Council), tidak mengatakan begitu.
NIC alih-alih menyebut HT(I) atau siapa saja yang memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah sebagai pengkhayal, lalu menyebut dengan kata-kata nyinyir, mereka justru sibuk mengerahkan energi dan segenap kemampuannya untuk melakukan riset mendalam guna menilai sejauh mana possibilitas (kemungkinan) berdirinya kembali Khilafah itu benar-benar bakal terjadi. Hasil riset itu kemudian mereka bukukan dalam Mapping The Global Future (MGF), yang diterbitkan pada Desember 2004.
Dalam riset itu, intinya NIC memperkirakan ada 4 skenario global yang bakal terjadi pada tahun 2020. Pertama: disebut Dunia Davos (Davos World) memberikan gambaran tentang bagaimana kekuatan ekonomi pada 15 tahun ke depan dapat membentuk proses globalisasi yang lebih memberikan wajah non-Barat. Dalam skenario ini, raksasa Asia—Cina dan India—serta negara paling berkembang lain menggeser ekonomi “Barat”, melalui penguasaan ekonomi domestik dan penguasaan teknologi.
Kedua: disebut Pax Americana. Dalam skenario ini digambarkan bagaimana dominasi AS dapat terus bertahan menghadapi perubahan radikal dalam landskap politik global. Washington tetap menjadi pusat dari poros politik internasional.
Ketiga: A New Chalipate. Dalam skenario ini digambarkan bagaimana identitas global yang didorong oleh gerakan Islam radikal bisa muncul. Sebuah Khilafah baru diproklamasikan dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah seperti Timur Tengah, sebagian Afrika dan Asia, yang memang telah menjadi bagian dari Khilafah pada masa lalu. Khilafah juga tumbuh menjadi lawan dari ideologi yang ada.
Keempat: disebut The Cycle of Fear. Skenario ini menggambarkan tentang kekhawatiran bila proliferasi (pengayaan) WMD (weapon of mass destruction atau senjata pemusnah massal) terus meningkat. The Cycle of Fear terjadi ketika perlombaan WMD terus terjadi, dan WMD, melalui tangan dealer, jatuh ke tangan pihak-pihak yang disebut sebagai para teroris.
++++
Robert L Hutching, Chairman dari National Intelligence Council (NIC), dalam pengantar dari dokumen itu mengatakan bahwa pembuatan Mapping The Global Future (MGF) bertujuan untuk membuka pemikiran (open mind) untuk segala kemungkinan (possibilities) yang bakal terjadi setelah mengamati kecenderungan-kecenderungan global (global trends). Dengan begitu AS siap untuk menghadapi segala tantangan yang mungkin terjadi pada masa depan.
MGF dibuat dengan bersumber pada dua bahan utama, yakni Global Trends 2010 dan Global Trends 2015, ditambah dengan diskusi dengan banyak ahli pemerintahan dan non pemerintahan. Global Trends 2010 dibuat pada 1997 dari serangkaian konferensi yang diselenggarakan di Washington DC yang diikuti oleh sejumlah akademisi dan pengusaha serta sejumlah pakar intelijen. Global Trends 2015 merupakan studi yang mengidentifikasi 7 perubahan global penting, yakni demografi, lingkungan dan sumber daya alam, sains dan teknologi, ekonomi global dan globalisasi, tata kelola nasional dan internasional, konflik-konflik masa depan dan peran AS. Studi ini disusun pada tahun 2000 dengan melibatkan ribuan orang. Bagian awal didasarkan pada hasil diskusi antara NIC dan para ahli non pemerintah di AS. Kemudian hasilnya didiskusikan bersama para ahli dari seluruh dunia dalam serangkaian konferensi regional di 5 benua guna benar-benar mendapat perspektif tentang apa yang bakal terjadi pada 15 tahun ke depan. Kemudian pembahasan difokuskan pada kecenderungan-kecenderungan kunci (key-global trends) yang bakal berpengaruh di region tersebut. Diskusi juga diselenggarakan secara on line melalui website yang telah disiapkan.
Di antara kepastian yang dicatat oleh riset ini adalah kemunculan potensi kekuatan politik Islam serta tetap bertahannya AS sebagai kekuatan ekonomi, politik dan militer paling besar di dunia dan menguatkan kekuatan non negara. Riset juga mencatat berbagai ketidakpastian, yakni apakah negara lain akan menantang AS secara terbuka, juga sejauh mana kesediaan negara-negara untuk mengakomodasi kekuatan-kekuatan non negara itu. Adapun yang dianggap memunculkan ketidakpastian adalah dampak dari semangat religius (Islam) untuk penyatuan negara-negara, termasuk munculnya idelologi jihad.
Dalam kesimpulannya, NIC memperkirakan bahwa AS tetaplah akan menjadi kekuatan dominan yang bakal turut membentuk dunia pada masa mendatang. Namun, NIC juga memperhitungkan pengaruh Cina dan India sebagai kekuatan baru. Bila abad 20 adalah abad AS, maka abad 21 menurut mereka adalah milik Asia, khususnya Cina dan India. Kedua negara itu memiliki jumlah penduduk sangat besar dan pertumbuhan ekonomi yang terus menanjak. Di luar itu, secara khusus NIC memperkirakan bahwa Islam politik akan memberikan dampak global yang makin signifikan menjelang tahun 2020. Karena itu, NIC menyebut Islam politik akan menjadi kekuatan utama.
++++
Bila benar Khilafah adalah ide khayal, mengapa dalam riset berskala dunia dengan melibatkan ribuan ahli dari seluruh dunia, NIC justru memperkirakan bakal berdirinya Khilafah sebagai salah satu skenario global pada tahun 2020? Ingat, dalam memperkirakan itu, NIC mendasarkan diri pada data dan analisis empirik dari kecenderungan-kecenderungan global, termasuk di dunia Muslim. Artinya, kesimpulan itu sepenuhnya berdasar pada rasionalitas belaka, tanpa dibumbuhi dengan keyakinan atau akidah karena memang mereka tidak mempercayai hal itu. Karena itu, bagaimana bisa HT(I) dan banyak kelompok Islam lain yang tengah berjuang bagi tegaknya Khilafah disebut sebagai pengkhayal?
Sebaliknya, bila NIC—yang tidak mengenal dalil-dalil dalam al-Quran maupun hadis, juga tentu tidak percaya kepada janji Allah serta busyra Rasulullah saw.—berpikir sangat rasional, futuristik dan antisipatif tentang bakal berdirinya Khilafah, maka kiranya tepat orang-orang seperti Ainur Rofiq dan siapa saja yang meragukan bakal berdirinya Khilafah disebut orang-orang ‘telmi’ (telat mikir). []