Soal:
Bagaimana status ide kesetaraan jender? Bagaimana hukumnya orang Islam mengadopsi, mengusung dan menerapkan ide seperti ini?
Jawab:
Ide kesetaraan jender sebenarnya berangkat dari fakta diskriminatif yang menimpa kaum perempuan. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran, bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya.
Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Karena itu, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum.
Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Ide Kesetaraan Gender (KG) ini diusung oleh gerakan feminisme. Feminisme sendiri dicetuskan pertama kali oleh aktivis Sosialis Utopis, Charles Fourier, pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, The Subjection of Women (Perempuan sebagai Subyek) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ini ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya, terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datang era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Situasi ini diperburuk oleh adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan Kristen terjadi praktik-praktik dan khotbah-khotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja yang menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan “tua” hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan di Eropa untuk “menaikkan derajat kaum perempuan” disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Pada tahun 1792, Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul, Vindication of the Right of Woman (Mempertahankan Hak-hak Wanita), yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan di kemudian hari.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan dengan pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan, diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih. Menjelang abad 19, feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 muncul negara-negara baru. Ini menjadi awal bagi perempuan untuk mendapatkan hak pilih dan selanjutnya terlibat dalam ranah politik kenegaraan saat mereka diikutsertakan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Prancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Prancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.
Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Di negeri-negeri kaum Muslim, ide ini dibawa oleh mereka yang mendapatkan pendidikan di Barat, atau yang telah di-brainwash di Barat. Tokoh-tokoh awal yang membawa ide ini masuk ke dunia Islam, sebut saja Rufa’ah at-Thahthawi di Mesir dan Khairuddin at-Tunisi. Mereka merupakan generasi awal yang dikirim ke Prancis. Ketika kembali ke negerinya, merekalah yang menyuarakan ide tahrir al-mar’ah (liberalisasi perempuan).
Jadi, ide ini secara historis bukan dari Islam, tetapi berakar pada budaya kafir Barat. Karena itu, ide ini tidak memiliki akar sejarah dalam peradaban Islam. Sebagian ahli tafsir ada yang mengutip riwayat, bahwa Ummu Salamah pernah menyampaikan kepada Nabi ihwal warisan yang berbeda antara kaum pria dengan wanita, “Ya Rasulullah, kaum pria berperang, sedangkan kami tidak, sehingga kami bisa mendapatkan mati syahid. Kami pun hanya mendapatkan bagian saparuh warisan (kaum pria).”
Lalu Allah menurunkan QS an-Nisa’ [04]: 32,1 yang intinya menegaskan bahwa Allah menjadikan masing-masing kelompok ini (pria dan wanita) dengan bagiannya, sesuai dengan ketentuan iradah (kehendak) dan hikmah-Nya.2
Namun, riwayat ini tidak bisa digunakan sebagai argumen, bahwa ide jender ini juga dimiliki oleh sahabat, termasuk Ummul Mukminin. Sebab, konteks pernyataan Ummu Salamah ini terkait dengan keinginannya untuk bisa mendapatkan kemuliaan sebagaimana kaum pria. Bisa berjihad, terlibat perang dan mendapatkan mati syahid. Namun Allah mengingatkan:
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٣٢)
Janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (Sebab) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nisa’ [4]: 32).
Meski ayat ini didahului larangan, yaitu La tatamannau (Janganlah kalian iri), tidak serta merta ayat ini menafikan jerih-payah kaum perempuan. Sebaliknya, ayat ini menegaskan, bahwa apa saja yang dilakukan oleh kaum pria pasti akan kembali kepada dirinya. Demikian juga kaum wanita. Apapun yang dia lakukan, juga akan kembali kepada dirinya. Ini artinya, baik pria maupun wanita, bisa meraih kemuliaan yang sama di hadapan Allah dengan amal yang mereka lakukan.
Ketika wanita tidak bisa dan tidak wajib berjihad, Nabi saw. menyatakan:
جِهَادُكُنَّ اَلْحَجُّ أَوْ حَسْبَكُنَّ الْحَجّ
Jihad kalian (kaum wanita) adalah haji, atau cukup bagi kalian (kaum wanita) dengan haji (HR al-Bukhari). 3
Begitulah Islam mengatur. Suatu ketika ada wanita ditampar oleh suaminya, dia datang kepada Nabi saw. dan meminta agar diberi hak untuk membalas tamparan suaminya. Awalnya, Nabi saw. membolehkan pembalasan (qishash) tersebut, namun Allah segera menegur Nabi saw., dan turunlah:
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Janganlah kamu membacakan al-Quran (kepada siapapun) sebelum wahyu-Nya sampai (dibacakan tuntas) kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan (QS Thaha [20]: 114).4
Nabi pun berhenti, kemudian turun ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin atas kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, wanita yang salih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Ayat ini menjelaskan, bahwa kaum pria ditetapkan oleh Allah sebagai qawwam (mengurus dan mengontrol) kaum perempuan. Kata qawwam ini merupakan bentuk mubalaghah dari kata qa’im, karena dianggap kaum prialah yang paling pas untuk melaksanakan tugas ini.5
Penetapan status ini diikuti dengan alasan (sababiyah), bima fadhala-Llah (karena kelebihan yang Allah berikan kepada pria); wa bima anfaqu (karena harta yang mereka belanjakan untuk kaum wanita).6 Selain kewajiban, Allah juga memberikan hak kepada kaum pria (suami) untuk mendidik istrinya, ketika dikhawatirkan melakukan nusyuz. Begitulah Islam mengatur kehidupan pria dan wanita. Masing-masing dengan hak dan kewajibannya.
Namun, ayat-ayat seperti ini juga ditentang oleh pengusung ide kesetaraan jender karena dianggap diskriminatif atau setidaknya harus ditafsirkan ulang agar sejalan dengan konotasi yang mereka inginkan. Karena itu, ide kesetaraan jender ini jelas bukan merupakan ide Islam, bahkan jelas-jelas tidak memiliki akar di dalam Islam. Ide ini juga ditolak oleh Islam.
Dengan kata lain, ide kesetaraan jender ini merupakan ide kufur, yang tidak boleh diadopsi, diterapkan dan diusung oleh seorang Muslim. Hukum mengadopsi, menerapkan dan mengusung ide ini jelas-jelas haram dalam pandangan Islam, sebagaimana mengusung ide-ide kufur yang lain. []
Catatan kaki:
1 HR ‘Abdurrazaq, Sa’id bin Manshur, ‘Abd bin Humaid, at-Tirmidzi, Ibn Jarir, Ibn al-Mundir, Ibn Abi Hatim, al-Hakim dan al-Baihaqi.
2 Muhammad bin ‘Ali As-Syaukani, Tafsir as-Syaukani, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1997, I/459.
3 Syarufuddin an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Dar al-Fikr, Beirut, 1996, XXI/18.
4 Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, t.t., V/168.
5 Muhammad bin ‘Ali As-Syaukani, Tafsir as-Syaukani, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1997, I/459.
6 Muhammad bin ‘Ali As-Syaukani, Tafsir as-Syaukani, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1997, I/459.