Dengar pendapat RUU Kesetaraan Gender (RUU-KG) 15 Maret 2012 antara Komisi VIII DPR dan beberapa ormas Islam tak berjalan mulus. Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI), Aisyiah, Muslimat Nahdhatul Ulama, MUI, BMOIWI tak begitu saja menyetujui rancangan itu. Pada prinsipnya semua ormas Islam menolak RUU tersebut dengan catatan, sedangkan MHTI menolak sepenuhnya.
Kontroversi RUU KG
Upaya legalisasi RUU KG tidak lepas dari ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang disahkan Indonesia menjadi UU No. 7/1984. Kemudian UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menguatkan keseriusan Pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak perempuan. Pasal 45 UU itu menyatakan: Hak wanita dalam Undang-Undang ini adalah hak asasi manusia.
Selain alasan yuridis, tinjauan sosiologis juga menjadi aspek yang melatarbelakangi RUU ini. Dalih klasik yang acap dilontarkan pegiat jender adalah perempuan masih mengalami diskriminasi dalam keluarga, masyarakat dan negara. Merekalah obyek penderita akibat pembedaan, pengucilan, pembatasan, dan segala bentuk kekerasan berdasar jenis kelamin. Akibatnya, kebebasan menikmati hak politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau lainnya berkurang, bahkan terhapus.
Walaupun Indonesia telah memiliki beberapa UU berbasis jender, ternyata semua itu tak cukup kuat menjadi landasan gerakan pengarusutamaan jender. Inpres No.9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) yang lahir pada masa Abdurrahman Wahid belum mampu menjadi undang-undang payung (umbrella act). Maka dari itu, melegalkan UU yang mengatur hak warga negara dan kewajiban negara untuk mewujudkan kesetaraan jender adalah ambisi yang harus direalisasi.
Sesi ke-39 Sidang Komite CEDAW PBB pada 23 Juli-10 Agustus 2007 secara khusus memberi beberapa catatan pelaksanaan agenda CEDAW di Indonesia. Komite memuji komitmen Indonesia terhadap mekanisme PUG dalam pembangunan nasional. Demi memastikan pemberlakuan konvensi itu, Komite meminta Pemerintah segera menuangkannya dalam hukum nasional. Bahkan dengan terus-terang Indonesia didorong untuk melakukan studi banding tentang kodifikasi dan penerapan tafsir progresif terhadap hukum Islam. Karena itulah mereka memerlukan dukungan bagi reformasi hukum, termasuk menjalin kemitraan dengan lembaga penelitian yurisprudensi Islam, masyarakat sipil, organisasi non-Pemerintah dan tokoh masyarakat yang mendukung kesetaraan perempuan.
Dokumen itu sengaja diminta untuk dipublikaskan tentu dengan maksud untuk memberikan petunjuk bahwa beginilah seharusnya arah pembangunan jender di Indonesia. Bukankah bisa kita simpulkan bahwa keislaman mayoritas penduduk Indonesia hanya menjadi obyek perubahan agenda internasional? Karena itulah, sejak pembukaan, RUU ini telah mengundang kontroversi paradigmatis. Kewajiban meratifikasi dan mengimplementasikan konvensi internasional yang bahkan diikuti dengan sanksi menunjukkan bahwa Indonesia tidak cukup berdaulat untuk memperhatikan kepentingan rakyat yang mayoritas Muslim.
Menohok Ideologi Islam
Selain CEDAW, RUU ini juga merujuk pada Beijing Platform For Action (BPFA) sebagai landasan aksi. Secara lebih khusus perspektif jender diintegrasikan dalam pencapaian Millenium Developments Goals. Semuanya adalah permufakatan yang didasari dogma sekularisme dalam memandang persoalan perempuan. Bila dibiarkan, PUG akan menjadi bola liar yang mengarahkan perempuan menuju liberalisme yang makin liar. Karena itu, upaya mengkritisi RUU ini harus dilakukan secara paradigmatis, Islam versus Kapitalisme.
1. Ketentuan umum.
Ketentuan umum pada RUU ini diawali dengan definisi jender, kesetaraan jender, diskriminasi, pengarusutamaan jender dan perangkat pelaksananya. Tentu diskriminasi menjadi pemicu utama kelahiran RUU ini. Diskriminasi didefinisikan sebagai segala bentuk pembedaan dan kekerasan berdasar jenis kelamin yang berpengaruh untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat/penggunaan HAM dan kebebasan di segala bidang.
Islam, bagi Barat, adalah diskriminan kelas wahid terhadap perempuan. Aturan syariah seperti batasan aurat, pakaian (hijab), pemimpin negara, tanggung jawab keibuan, relasi suami-istri, perkawinan, dan perwalian dianggap kontradiktif terhadap konsepsi jender. Islam lekat dengan idiom patriarkis (memihak laki-laki), bahkan banyak ayat dan hadis yang dituduh memiliki muatan misogynist (membenci perempuan). Semangat RUU ini untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi adalah dengan memberikan kemitraan seimbang antara perempuan dan laki-laki, termasuk dalam perkawinan dan peran kenegaraan. Karena itu, hal itu akan diterjemahkan sebagai gugatan terhadap hukum-hukum Islam yang dinilai mensubordinasi (merendahkan) perempuan seperti masalah izin istri kepada suami/wali, nusyuz, poligami, kepala keluarga, juga keharaman perempuan menjadi kepala negara/pemerintahan.
2. Tujuan penyelenggaraan KG.
Mewujudkan keadilan di segala bidang kehidupan bagi perempuan dan laki-laki adalah tujuan umum yang terangkum dalam RUU ini. Membedakan hak dan kebebasan seseorang karena jenis kelamin adalah ketidakadilan. Tidak boleh membedakan perempuan karena pandangan tertentu—apalagi agama, terutama Islam—terhadap peran dan fungsinya dalam kehidupan. Dengan jelas poin f Pasal 3 menyatakan akan menghapus segala praktik yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin. Artinya, peran khas laki-laki sebagai qowwam ‘ala an-nisa’ dan perempuan sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt adalah pembedaan yang layak untuk dihapuskan.
3. Hak dan kewajiban warganegara
Pasal 8-b menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan melalui peraturan yang tidak diskriminatif jender. Peraturan diskriminatif—yang mereka kategorikan sebagai perundang-undangan yang tidak jelas rumusannya—jelas menyasar pada peraturan bernuansa syariah. Data yang dihimpun Komnas Perempuan sampai akhir September 2010 menunjukkan ada 189 Perda diskriminatif. Di antaranya mengenai khalwat di Aceh, pemberantasan pelacuran di Jawa Barat, keharusan berpakaian Muslim dan Muslimah di Bulukumba, serta pelarangan keluar malam bagi perempuan di Tanggerang. Komite CEDAW memberikan catatan khusus agar Pemerintah mengidentifikasi dan melakukan revisi terhadap Perda tersebut. Selain desentralisasi yang mengakibatkan diskriminasi perempuan, Komite juga mengkhwatirkan kebangkitan kelompok agama fundamentalis.
Selanjutnya Pasal 9 ayat (1) menyatakan kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi, hak pendidikan, hak ekonomi dan ketenagakerjaan, keterwakilan perempuan, perkawinan dan hubungan keluarga.
Keadilan pada hak ekonomi mencakup peniadaan izin perempuan dari keluarganya sebelum bekerja pada malam hari. Terpenuhinya hak reproduksi mencakup ketidakharusan izin suami soal sterilisasi dan aborsi. Komite juga menganjurkan jaminan agar perempuan/anak perempuan mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk kemudahan mendapatkan kontrasepsi bagi remaja untuk mengurangi tingkat aborsi tidak aman dan kehamilan. UU Perkawinan No. 1/1974 disebut Komite CEDAW mengabadikan pandangan diskeiminatif. Undang-undang itu juga dianggap tidak melindungi perempuan karena melegalkan poligami dan perkawinan dini pada perempuan berusia 16 tahun. Demi memperbesar keterwakilan perempuan, Komite mendesak Indonesia untuk memperkuat sistem kuota 30 persen bagi calon perempuan sebagai syarat wajib dalam UU Pemilu, dengan memastikan sanksi apabila syarat itu tidak dipenuhi.
4. PUG: Partisipasi masyarakat, penghargaan dan sanksi.
Pengarusutamaan jender adalah strategi untuk mengintegrasikan perspektif jender atas kebijakan dan program pembangunan nasional, termasuk penghapusan segala bentuk diskriminasi dan perlindungan terhadap perempuan. Pemberdayaan masyarakat menjadi kata kunci PUG, termasuk meminta keterlibatan dunia usaha dan swasta. Pasal 20 RUU ini mencantumkan sanksi administratif atau pemberian disinsentif bagi pihak yang mencedarai komitmen PUG. Bahkan Pasal 21 ayat (2) menentukan bila terjadi tindak pidana yang dilatarbelakangi diskriminasi jender. Pidananya dapat ditambah sepertiga dari ancaman maksimum pidana yang diancamkan dalam KUHP dan UU lainnya. Jelas, ini adalah upaya untuk mendudukkan hukum positif di atas hukum syariah ciptaan Allah yang Mahatinggi!
Islam Tak Memerlukan PUG
Sebagaimana Kapitalisme, kelahiran ide jender berangkat dari pandangan absurd yang meniadakan penghargaan bagi perempuan. Karena itulah perempuan di luar Dunia Islam perlu berjuang untuk mendapatkan keadilan. Pada tahun 1777 perempuan di beberapa negara bagian Amerika Serikat belum mendapatkan hak pilih dalam Pemilu. Baru tahun 1920 mereka boleh memilih. Adapun di Dunia Islam, sejak abad ke-7 M Rasulullah saw. telah memberi kesempatan pada Ummu Imarah dan Ummu Mani’ untuk menjadi naqibah (wakil kelompok) bagi delegasi Baiat ‘Aqabah II. Hak mendapatkan pendidikan medis pun baru dirasakan perempuan AS saat tahun 1850 saat didirikan Female Medical College of Pennsylvania. Adapun Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1470 telah memiliki sekolah kedokteran di RS Al-Fatih dan membolehkan perempuan menjadi mahasiswanya. Sebuah risalah abad 15 M berjudul Cerrahiyet Ul Haniye of Sabuncuoglu menunjukkan dokter perempuan pada masa Utsmaniyah terlibat dalam operasi pasien perempuan.
Setiap aturan yang diberlakukan Allah SWT menjamin keadilan bagi seluruh manusia. Melaksanakan Islam kaffah bukan berarti mengancam kebebasan, bahkan justru menyelamatkan masyarakat khususnya generasi muda dari kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Hakikat kedudukan perempuan dan laki-laki secara syariah adalah setara. Pelaksanaan hak dan kewajiban berlaku seimbang di antara keduanya. Namun, secara fitrah penciptaan, Allah telah membedakan keduanya dalam rangka mengemban misi kehidupan.Perbedaan tersebut diciptakan bukan untuk mendiskri-minasikan perempuan, tetapi demi harmonisasi peran masing-masing. Hikmah pembedaan hukum yang berkaitan dengan erempuan sejatinya adalah perlindungan terhadap kehormatan dan kesucian perempuan, sesuatu yang tidak disadari dan dipahami kaum feminis. Maka dari itu, Islamlah jaminan kelestarian generasi yang tangguh, bebas dari krisis keyakinan dan moralitas. []