Kebangkitan Indonesia tentu amat diidam-idamkan. Namun, patut disayangkan, setelah lebih dari satu abad Hari Kebangkitan Nasional diperingati bangsa ini, fenomena yang terjadi sangat kontras dengan harapan dan keinginan.
Penjajahan fisik memang telah pergi. Namun, penjajahan non-fisik ternyata masih mencengkeram kuat di seluruh sendi kehidupan; baik di sektor politik, ekonomi, sosial, budaya maupun keamanan. Keterpurukan bangsa ini tercermin dari angka kemiskinan yang tinggi, kasus korupsi yang menggurita, penegakkan hukum yang bobrok, dekadensi moral, dan masih banyak lagi.
Padahal beberapa faktor pendukung untuk menjadi negara bangkit dan maju sudah ada pada negeri ini. Di antaranya ialah potensi kekayaan alam yang begitu melimpah-ruah serta sumberdaya manusia yang cukup luar biasa.
Tentu patut dipertanyakan, mengapa Indonesia tidak juga kunjung bangkit?
Narasi sejarah mencatat, bahwa tidak cukup untuk membangkitkan Indonesia ketika negeri ini sudah sebanyak enam kali berganti pucuk pimpinan, bergilir pula wajah-wajah baru di jajaran kabinet maupun wakil rakyat, juga beberapa kali bangsa ini melakukan eksperimen sistem kenegaraan dengan menjajal beberapa bentuk sistem negara; zaman Orde Lama dengan nuansa sosialismenya, zaman Orde Baru dengan corak kapitalisme, dan era reformasi dengan corak liberalnya. Ternyata hasilnya adalah nol.
Faktor Penyebab
Setidaknya ada beberapa penyebab mengapa negeri ini tidak juga kunjung bangkit. Pertama: Penguasa yang tidak layak memimpin. Kebangkitan suatu bangsa membutuhkan seorang pemimpin yang kredibel. Kualitas dan integritas pemimpin tersebut harus mumpuni. Hal itu belum ditemukan pada pemimpin Indonesia selama ini.
Presiden pertama RI, misalnya, meski memiliki beberapa disiplin ilmu, dipandang tegas dan berani, penguasa yang satu ini tidak memiliki pemikiran ideologi yang sahih. Salah satu blunder politik yang telah dia lakukan ialah ketika dia memaksakan pemikiran NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) kepada masyarakat dan bersikeras menolak pembubaran PKI sehingga membuat Indonesia merana.
Presiden-presiden Indonesia selanjutnya cenderung tunduk kepada pihak asing. Alhasil, penjajahan di negeri ini pun semakin mencengkeram. Penguasa yang seharusnya menjadi ra’in (pengurus rakyat) malah acapkali membuat kebijakan yang menambah derita rakyat, seperti menyerahkan kekayaan alam kepada pihak asing, menaikkan harga BBM, menjual aset-aset negara, dsb. Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Seorang Sahabat bertanya, “Bagaimana amanat disia-siakan?” Nabi saw. menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. al-Bukhari).
Kedua: Mental para pejabat, termasuk di dalamnya aparat penegak hukum, yang buruk. Korupsi, suap-menyuap dan perilaku hedonis sudah menjadi budaya bagi mayoritas pejabat. Riset global barometer 2009 oleh Tranparancy International (TI) menyatakan, korupsi tertinggi adalah di parlemen. Lalu disusul institusi peradilan di peringkat kedua, Parpol bertengger di urutan ketiga, dan keempat adalah pegawai publik.
Ketiga: Sistem negara yang lemah. Sistem negara menjadi faktor paling dominan mengapa Indonesia tidak kunjung bangkit. Sistem sekularisme-demokrasi yang diterapkan di negeri ini menjadi pintu masuk penjajahan. Karena sistem pula, banyak manusia yang sebelumnya baik akhirnya berubah menjadi tidak baik. Sebagai contoh adalah para politisi idealis yang kemudian bermetamorfosis menjadi politisi pragmatis, hedonis dan opurtunis.
Keempat: Belum terbentuknya kesadaran ideologis di tengah-tengah masyarakat. Sejak Orde Lama sampai sekarang, umat terus dicekoki dengan pemikiran sekularisme. Akibatnya, sebagian besar umat tidak memiliki pemikiran dan ideologi yang benar, kurang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, serta belum mengerti bagaimana mengkontruksi sebuah perubahan yang bersifat komprehensif untuk kebangkitan bangsa. Sebagai contoh adalah masih gandrungnya sebagian masyarakat dengan sistem kufur seperti demokrasi.
Kelima: Ulama yang kurang mengindahkan perannya. Ungkapan dari ulama besar Imam al-Ghazali—meski disampaikan sejak beberapa abad lalu—sudah cukup untuk menggambarkan kiprah para ulama. Berikut petikannya:
Dulu di antara tradisi para ulama adalah mengoreksi dan mengawal penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Mereka mengikhlas-kan niat dan pernyataan mereka membekas di hati. Sebaliknya sekarang, terdapat penguasa yang tamak, namun ulama hanya diam. Andai mereka berbicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu adalah akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa itu adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang digenggam oleh cinta dunia, niscaya dia tidak mampu menguasai ‘kerikilnya’, bagaimana lagi dapat mengingatkan penguasa dan para pembesar (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, VII/92).
Islam: Jalan Kebangkitan
Menurut Syaikh Hafidz Shalih, maksud dari kebangkitan ialah perpindahan umat, bangsa atau individu dari suatu keadaan menuju ke keadaan yang lebih baik (Hafidz Shalih, Falsafah Kebangkitan: Dari Ide Hingga Metode. (terj. An-Nahdhah).
Kebangkitan suatu bangsa akan dapat diperoleh saat taraf berpikir masyarakatnya meningkat, yakni dengan memeluk suatu pemikiran yang mendasar dan menyeluruh, atau memeluk sebuah ideologi.
Kaum sekular Barat mampu bangkit dengan ideologi Kapitalisme. Bangsa Uni Soviet, mereka mampu bangkit dengan memeluk ideologi Sosialisme. Namun perlu digarisbawahi, kebangkitan dengan kedua ideologi tersebut adalah kebangkitan semu belaka. Fakta empirik menunjukkan ideologi-ideologi batil ini justru menimbulkan efek kesengsaraan dan penderitaan bagi umat manusia. Akibatnya, Sosialisme kemudian hancur setelah berkuasa selama 74 tahun. Ideologi Kapitalisme juga mulai tampak borok-boroknya.
Hal tersebut sangat wajar mengingat paradigma kedua ideologi tersebut tidak sesuai dengan fitrah manusia dan tidak memuaskan akal. Akidah dari Sosialisme-komunis adalah materialisme yang menafikan adanya sang Pencipta. Padahal secara fitrah manusia memiliki kecenderungan untuk mensucikan atau menyembah sang Pencipta. Ideologi Sosialisme-komunis juga bertentangan dengan akal. Pasalnya, mustahil manusia, alam semesta, dan kehidupan ini tidak ada yang menciptakannya.
Adapun akidah dari ideologi Kapitalisme adalah sekularisme. Meski mengakui adanya Tuhan, ideologi ini menolak campur-tangan Tuhan dalam mengatur kehidupan. Ini juga tidak sesuai fitrah manusia yang serba lemah dan terbatas, yang sangat membutuhkan aturan dari Tuhan, sang Pencipta.
Karena itu, kebangkitan hakiki adalah yang pernah dialami bangsa Arab saat mereka mengambil Islam sebagai ideologinya. Kebangkitan ini pelopori oleh Rasulullah saw. Bangsa yang dulunya Jahiliah berubah menjadi bangsa berperadaban tinggi dan mulia, bahkan kemudian berhasil menerangi dua pertiga dunia.
Ideologi Islam berpijak pada akidah Islam, satu-satunya akidah yang benar, bersumberkan al-Quran dan as-Sunnah. Inilah akidah yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menenteramkan jiwa. Kebangkitan yang benar tentunya harus bersumber dari ideologi (mabda’) yang benar. Mabda’ yang benar haruslah berpijak di atas akidah yang benar.
Akidah Islam memiliki karakteristik sebagai akidah ruhiyah sekaligus akidah ri’ayah yang haq. Akidah ini memancarkan sebuah sistem (aturan) kehidupan yang menyeluruh, mengatur urusan pribadi, keluarga maupun negara. Sebagai contoh: Islam memerintahkan untuk melakukan shalat dan puasa. Lalu untuk melangsungkan generasi penerus, Islam memerintahkan supaya menikah dengan lawan jenis. Dalam rangka untuk menjamin sebuah pernikahan itu, Islam juga memerintahkan sejumlah sanksi berupa hukum cambuk dan rajam bagi pelaku zina. Contoh lain, Islam memerintahkan untuk memperoleh harta secara halal. Lalu untuk menjamin kepemilikan harta tersebut, Islam memerintahkan hukuman potong tangan bagi pencuri.
Keunggulan Ideologi Islam
1. Secara normatif.
Tidak ada ideologi yang lebih baik dari ideologi Islam sebab ideologi ini bersumberkan wahyu Ilahi. Ia datang dari Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, Penggenggam jagatraya beserta isinya. Tentu ideologi ini tak perlu diragukan lagi.
Ideologi Islam merupakan jalan terang yang diberikan oleh Allah SWT, yang mendapat garansi langsung dari sang Pencipta. Ini berbeda dengan ideologi atau hukum buatan manusia yang hanya berlandaskan hawa nafsu sehingga tak lepas dari kepentingan sekelompok manusia pembuat hukum itu sendiri.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
2. Secara faktual.
Di dunia saat ini tidak ada satu pun negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Namun, bukan berarti hal itu membuat pesona syariah Islam menjadi pudar. Beberapa fakta empirik menunjukkan bagaimana kehebatan syariah Islam ketika diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, meski penerapannya baru sebagian kecil saja.
Saat Perda bernuansa syariah Islam di Bulukumba, Sulsel, pada 2001, misalnya, tingkat kriminalitas turun 85 persen. Di Arab Saudi, negara yang menerapkan hudud dan qishash terbukti juga mampu menekan angka kriminalitas dengan angka yang begitu minim.
3. Secara historis.
Ideologi Islam telah menorehkan tinta emas sejarah peradaban umat manusia ketika diterapkan selama berabad-abad lamanya. Banyak bukti historis menunjukkan kemajuan peradaban Islam mulai dari bidang politik, ekonomi hingga sains dan teknologi. Meski kaum orientalis berusaha menyembunyikannya, kegemilangan peradaban Islam tak mampu ditutupi.
Islam telah mampu mensejahterakan, memberi rasa nyaman dan memberi kebahagiaan bagi umat manusia. Sejahrawan Barat seperti Will Durrant sekalipun tak sanggup menahan tutur-katanya untuk memberikan pujian kekaguman pada peradaban Islam, seperti dia ungkapkan dalam The Story of Civilization.
Bahkan peradaban Islamlah yang memberi sumbangsih besar atas kemajuan barat saat ini. Robert Briffault , dalam The Making of Humanity, menyatakan, “Seluruh segi kemajuan peradaban di Eropa secara pasti dapat ditelusuri akarnya dari peradaban Islam. Peradaban Islamlah yang telah menghidupkan energi yang menggerakkan peradaban modern.”
Pentingnya Negara Khilafah
Karena itu, jika ingin bangkit, negeri ini tidak cukup hanya dengan berganti pemimpin atau pejabatnya, namun diperlukan pula sebuah sistem negara dengan kualitas nomor wahid. Umat pun perlu diarahkan supaya memiliki kesadaran ideologis.
Sistem itu tiada lain adalah sistem Islam, yang mewujud dalam penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan melalui penegakkan Khilafah Islamiyah. Hanya dengan Khilafahlah, syariah Islam dapat diterapkan secara sempurna.
Sedikitnya ada dua alasan mengapa harus syariah dan khilafah. Pertama: tuntutan akidah kita sebagai seorang Muslim. Allah SWT mencela siapa saja yang menerapkan sistem/aturan/hukum (ideologi) selain hukum Allah SWT (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47).
Kedua: Syariah Islam membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Hanya melalui penegakkan syariah dan Khilafah itulah segala bentuk penjajahan dapat dihapuskan dan negara menjadi mandiri sehingga apa yang dicita-citakan berupa kebangkitan bangsa dapat terwujud. Sungguh, Indonesia dan dunia membutuhkan syariah dan Khilafah untuk kehidupan yang lebih baik. WalLahu a’lam. []
Ali Mustofa Akbar adalah Analis CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst) Desk Sosial-Politik dan Staf Humas HTI Soloraya.
Daftar Pustaka
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ath-Thusi al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, juz 7.
Risky Ridyasmara, “20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional,” Eramuslim.com.
Quthb, Muhammad. 1995. Perlukan Menulis Ulang Sejarah Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A. Dari Soekarno Sampai SBY. Gramedia Pustaka Utama. 2009.
Robert Briffault. (1919), Making of Humanity, Kissinger Publissing. 2009.
Bunga Rampai Syariat Islam, Hizbut Tahrir Ind. 2002.
Majalah Al-Wa’ie, edisi 113. 2010
Hafidz Shalih. 2003. Falsafah Kebangkitan: Dari Ide Hingga Metode. (terj. An-Nahdhah). Bogor: Idea Pustaka Utama.
Republika Online, Senin, 26 September 2011.