HTI

Iqtishadiyah

Menipu Rakyat Lewat Wacana Subsidi BBM

Sebuah drama bernama Sidang Paripurna DPR tanggal 31 Maret 2011 telah berakhir, DPR telah berhasil memainkan drama untuk meloloskan keinginan para kapitalis asing/lokal dan menyenangkan sementara waktu rakyat karena kenaikan harga BBM ditunda, tidak jadi tanggal 1 April 2012. DPR mengesahkan Pasal 7 ayat 6a APBN-P yang berbunyi: …memperbolehkan pemerintah mengubah harga BBM jika harga minyak mentah (Indonesia Crude Price/ICP) mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata 15% dalam waktu 6 bulan.

Pengesahaan Pasal 7 ayat 6a ini esensinya adalah pengokohan dan penyempurnaan liberalisasi migas. Padahal sengkarut pengelolan migas di Indonesia sumbernya adalah UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang draft-nya dibuat oleh para kapitalis asing melalui USAID, Ini sesuai dengan pengakuannya: USAID telah membantu pembuatan draft UU Migas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan  efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi).

Sebagian pasalnya, yaitu  Pasal 28 ayat 2 berbunyi, “Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan,” telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, ia disahkan kembali oleh Pemerintah melalui Perpres No. 5 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, yang dalam  Pasal 3c disebutkan: Penetapan   kebijakan   harga   energi ke   arah   harga keekonomian…

Dengan demikian, keberadaan Pasal 7 ayat 6a yang disahkan dalam Sidang Paripurna DPR beberapa waktu lalu adalah untuk memperkuat kebijakan Pemerintah dalam menyempurnakan liberalisasi migas baik di sektor hulu yang sudah berhasil dikuasai asing dan swasta dengan hasil 87% maupun sektor hilir dengan menyerahkan harga ke mekanisme pasar. Keputusan ini semakin mengokohkan keberadaan DPR yang selalu membuat UU yang yang pro asing dan khianat terhadap rakyat.

Berdasarkan Pasal 7 ayat 6a Pemerintah mendapat kewenangan untuk menaikkan harga mendekati harga pasar. Agar kenaikan harga BBM tersebut seolah-olah pro rakyat dibuatlah alasan-alasan untuk meyakinkan bahwa kenaikan BBM untuk kepentingan rakyat.

Alasan-alasan di bawah ini yang sering dikemukan oleh Pemerintah untuk menaikkan BBM.

1. Subsidi membuat APBN jebol.

Subsidi baik BBM maupun subsidi lainnya sering dirasakan memberatkan Pemerintah dan menjadi beban APBN karena menyedot alokasi APBN. Padahal istilah subsidi BBM itu masih dipertanyakan. Benarkah Pemerintah selama ini memberikan subsidi atau sebaliknya justru rakyat yang memberikan subsidi untuk Pemerintah dan kepentingan para kapitalis? Menurut Pemerintah, kenaikan harga minyak dunia saat ini mengakibatkan anggaran subsidi BBM naik sekitar Rp 47 triliun, yaitu dari Rp 123 T menjadi Rp.170 T. Namun, pemasukan Pemerintah juga naik sekitar Rp 39 T dari Rp 231 T menjadi Rp 270 T. Artinya, beban subsidi itu hanya meningkat sekitar Rp 8 T. Menurut versi lain, yang terjadi sebenarnya bukan subsidi yang meningkat bahkan sebenarnya susbsidi itu tidak ada. Yang terjadi adalah berkurangnya pemasukan Pemerintah karena kenaikan harga minyak dunia. Berdasarkan perhitungan versi ini Pemerintah masih menerima kelebihan uang tunai sebesar Rp 97,9 T, yaitu dari hasil Penjualan BBM yang dilakukan oleh Pemerintah sebesar Rp 224,5 T dikurangi alokasi “subsidi’ sebesar Rp 126,6 T. Karena itu, alasan menaikkan harga BBM karena subsidi membengkak atau membuat APBN jebol adalah bohong. Sebab, dalam konsep ekonomi kapitalis masalahnya bukan besar-kecilnya subsidi, tetapi secara konsep sistem ekonomi kapitalis memang “mengharamkan keberadaan subsidi”, berapapun besarnya. Kebijakan ini tertuang dalam Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM, yang salah satu program utamanya adalah rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional. Program kerja ini sesuai dengan Konsesus Washington yang disepakati oleh Pemerintah terkait dengan penghapusan subsidi, khususnya di sektor energi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pemerintah melalui Wakil Presiden Boediono yang menargetkan dalam 2 sampai 3 tahun ke depan, Indonesia akan terbebas dari dikotomi harga BBM bersubsidi dan harga keekonomian. Pernyataan ini berarti dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun ke depan harga BBM akan sama dengan harga pasar atau internasional.

Namun ingat, subsidi itu “haram” hanya untuk kepentingan rakyat seperti subsidi BBM, listrik dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sebaliknya, untuk menyelamatkan para kapitalis dari kebangkrutan hukumnya menjadi “wajib”. Kebijakan subsidi untuk para kapitalis ini bukan hanya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebagai penganut neoliberal, tetapi juga dilakukan oleh Pemerintahan AS sebagai “Mbahnya” Kapitalisme. Misalnya, untuk menyelamatkan perbankan dari kebangkrutan, Pemerintahan AS di bawah Presiden Obama telah mengeluarkan bantuan atau bailout atau subsidi mencapai total 700 miliar dolar. Padahal bank-bank tersebut kebanyakan milik swasta. Pemerintah Indonesia juga melakukan hal yang sama; memberikan subsidi untuk orang kaya atau perusahaan asing dari mulai subsidi pajak atau yang disebut dengan Tax Holiday, Subsidi BLBI yang besarnya Rp 144 triliun, Dana Rekapitulasi Perbankan yang hampir Rp 500 triliun, penyelamatan Bank Century yang menghabiskan dana Rp 6,7 triliun. Kasus yang paling akhir adalah Bantuan Dana dari APBN-P Tahun 2012 sebanyak 1,3 T untuk korban Lumpur Lapindo yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan tetapi diambil alih atau disubsidi oleh Pemerintah. Padahal Pemilik Grup Lapindo adalah salah satu dari 40 orang terkaya di Indonesia. Namun, dia dengan enaknya mendapat bantuan atau subsidi dari negara melalui APBN yang digelontorkan untuk kasus Lapindo sejak tahun 2007 sampai saat ini sudah mencapai Rp 7, 2 T.


2. Subsidi tidak tepat sasaran.

Agar kebijakan pengurangan subsidi ini kelihatan pro rakyat miskin, Pemerintah menggunakan alas an: subsidi BBM tidak tepat sasaran karena sebagian besar subsidi dinikmati oleh orang-orang kaya. Alasan ini sebenarnya alasan yang disarankan oleh World Bank ketika memaksa Pemerintah untuk menghapus subsidi. Ini terungkap dalam dokumen World Bank: “ Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasi-kan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…Banyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya” (Indonesia Country Assistance Strategy/World Bank, 2001).

Padahal faktanya, berdasarkan data Susenas 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, 65 persen BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah dengan pengeluaran perkapita di bawah 4 dolar AS dan kalangan miskin dengan pengeluaran perkapita di bawah 2 dolar AS. Lalu 27 persen digunakan kalangan menengah, 6 persen kalangan menengah atas dan hanya 2 persen kalangan kaya. Data Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas menyebutkan, kuota BBM bersubsidi tahun 2010 sekitar 36,51 juta kiloliter (KL), dengan rincian premium 21,46 juta KL, solar 11,25 juta KL dan minyak tanah 3,8 juta KL. Konsumsi Premium, 40% untuk sepeda motor, 53% untuk mobil pribadi plat hitam dan 7% untuk angkutan umum. Seandainya 50% dari mobil pribadi digunakan untuk kegiatan usaha UMKM maka sebesar 74% premium bersubsidi dinikmati oleh rakyat menengah bawah.

Kasus orang kaya seperti pemilik Toyota Alphard yang menggunakan premium mungkin dianggap mengusik rasa keadilan. Namun, perlu diingat mereka juga memiliki kontribusi dalam membayar pajak karena kita ketahui dengan sistem ekonomi kapitalis pendapatan negara terbesar adalah pajak. Dalam APBN-P 2012 total penerimaan negara dari pajak sebesar Rp 1.101 T atau sekitar 82% dari total penerimaan APBN. Yang terbesar dari pajak tersebut adalah PPh (pajak penghasilan) non-migas sebesar Rp 445,7 T dan PPN sebesar Rp. 355,2 T. Orang kaya jelas memiliki kontribusi dalam membayar pajak tersebut. Karena itu, alasan subsidi hanya dinikmati oleh orang kaya saja sebenarnya hanya untuk menarik simpati masyarakat seolah-olah Pemerintah itu pro rakyat. Padahal kalau benar Pemerintah pro rakyat, terutama rakyat miskin, mengapa dalam kasus Lumpur Lapindo yang seharusya menjadi tanggung jawab perusahaan, Pemerintah dengan “ikhlasnya” mensubsisdi Rp 1,3 T tahun ini atau total menjadi 7,2 T. Padahal penerima bantuan/subsidi tersebut adalah pemilik perusahaan yang masuk dalam kategori 40 orang terkaya di Indonesia. Ironisnya, grup perusahaan tersebut sempat menunggak atau menggelapkan pajak.


3. Pengurangan subsidi untuk kesehatan APBN dan fiskal.

Sebenarnya alasan ini sama seperti alasan sebelumnya, bahwa subsidi membebani APBN sehingga akan mengganggu kesehatan fiskal dalam bentuk peningkatan defisit APBN. Cuma, yang harus juga dipahami, penyehatan fiskal bisa dilakukan bukan hanya dari aspek pengeluaran subsidi. Penyehatan fiskal bisa dilakukan dengan memperbaiki atau meningkatkan pendapatan Negara, atau melakukan efesiensi dan efektivitas pengeluaran APBN baik untuk belanja rutin maupun belanja modal. Dari sisi penerimaan banyak potensi negara yang hilang karena kebijakan Pemerintah yang tidak serius. Misal, menurut anggota BPH Migas, A. Qoyum Tjandranegara, potensi kerugian negara tahun 2006-2009 mencapai 410,4 T karena harga jual gas yang dijual ke Cina sangat murah sekali. Belum lagi ditambah kerugian tak langsung akibat PLN tidak bisa mendapat gas karena dijual ke luar negeri. PLN harus memakai BBM yang harganya mahal sehingga PLN harus melakukan pemborosan biaya sekitar Rp 37 triliun dalam jangka waktu 2 tahun yang lalu.

Padahal salah satu yang membuat APBN Indonesia tidak sehat adalah utang, baik SUN maupun utang luar negeri. Hampir 25% setiap tahun anggaran negara digunakan untuk membayar bunga uatng maupun pokoknya. Walaupun dari sisi total rasio utang Indonesia terhadap Gross Domestic Product (GDP) sekitar 30 persen relatif lebih rendah dibandingkan negara lain, Indonesia sudah masuk perangkap debt trap (jeratan utang). Misalnya, dalam APBN-P sudah ditetapkan defisit sekitar Rp 190,1 triliun atau 2,23% dengan rencana akan ditutupi dari pembiayaan (utang) dalam negeri sebesar Rp 194,5 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar minus Rp 4,4 triliun (artinya total pinjaman LN berkurang Rp 4,4 triliun). Ternyata jumlah itu habis dan tidak cukup untuk membayar cicilan utang. Pada tahun 2012 besarnya cicilan utang mencapai Rp 261,1 triliun (cician pokok Rp 139 triliun dan cicilan bunga Rp 122,13 triliun). Jadi seluruh utang yang ditarik di tahun 2012 sebenarnya bukan untuk membiayai pembangunan tetapi untuk membayar cicilan utang. Itu pun belum cukup dan harus mengurangi alokasi APBN yang seharusnya bisa untuk membiayai pembangunan.


4. Subsidi akan dialihkan untuk pendidikan dan kesehatan.

Salah satu alasan yang juga sering muncul ketika Pemerintah akan menaikkan BBM adalah pernyataan bahwa subsidi akan dialihkan untuk pendidikan dan kesehatan. Padahal sejak masa Pemerintahan SBY saja sudah tiga kali terjadi kenaikan BBM, yakni dimulai waktu harga BBM bersubsidi Rp 2100 naik menjadi Rp 2500, lalu dari Rp 2500 menjadi Rp 4500 pada tahun 2005, kemudian puncaknya pada tahun 2007 harga BBM bersubsidi bersubsidi menjadi Rp 6000.

Ironisnya, biaya pendidikan dan kesehatan tetap mahal. Sedih dan miris sekali rasanya ketika ada seorang nenek tua renta yang sedang mengemis bersama kedua cucunya. Saat ditanya mengapa nenek tersebut mengemis, beliau menjawab karena terpaksa; terpaksa demi menyokong biaya sekolah bagi kedua cucunya yang masih SD itu. Beliau menuturkan walau sudah dibantu dana BOS, tetap saja ditarik biaya lain-lain oleh sekolah, semisal biaya LKS, uang perpisahan dan lain-lain.

Begitu juga biaya pendidikan tingkat SMA. Seperti di salah satu SMA Negeri di pinggiran Jakarta Timur, siswa baru harus membayar uang pangkal yang disebut IPDB (iuran peserta didik baru) hingga Rp 3,6 juta dan iuran bulanan yang dulu disebut SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) Rp 200 ribu. Apalagi untuk sekolah yang kategori SMA Negeri favorit; biaya yang harus dibayar lebih tinggi: IPDB Rp 12,5 juta dan iuran bulanan Rp 400 ribu.

Biaya kesehatan juga tetap mahal. Wakil Presiden (Wapres) Boediono mengakui jika biaya kesehatan di Indonesia kian hari kian mahal. Pernyataan ini diungkapkan saat memberi sambutan dalam peringatan Hari Lanjut Usia (Lansia) Internasional. [Dr. Arim Nasim, M.Si., Ak.]


Penulis adalah Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FPEB Universitas Pendidikan Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*