HTI

Ta'rifat (Al Waie)

Mudharabah

Al-Fairuz Abadi di dalam al-Qâmûs al-Muhîth mengatakan: Mudhâra-bah secara bahasa: al-mudhârabah dari dharaba; dharabat ath-thayru tadhribu: pergi mencari rezeki; dharaba fi al-ardhi dharb[an] wa dharbân[an]: keluar berdagang atau berperang, atau bergegas atau pergi.

Dharaba fi al-ardhi bermakna safar (bepergian) seperti dinyatakan dalam QS an-Nisa’ [4]: 101. Adakalanya bepergian itu untuk mencari rezeki (QS al-Muzammil [73]: 20).

Menurut Ibn Manzhur di dalam Lisan al-‘Arab, kata mudharib digunakan untuk menyebut al-âmil, sebab dialah yang bepergian, datang dan pergi mencari rezeki. Mudhârabah adalah istilah penduduk Irak dan lebih banyak digunakan oleh mazhab Hanafi dan Hanbali. Penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan qirâdh atau muqâradhah, yang lebih banyak digunakan oleh ulama mazhab Syafii dan Maliki.

Secara istilah, mudhârabah atau qirâdh, adalah persekutuan badan dengan harta. Maknanya, seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain agar orang lain itu membisniskan harta tersebut dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi kepada mereka sesuai dengan kesepakatan (Lihat, an-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, hlm. 156; Ibn Qudamah, Al-Mughni, hlm. 134-135). Badan tersebut adalah kiasan dari tenaga yang menjadi andil salah satu pihak dalam mudharabah tersebut.

Mudharabah itu bisa dalam tiga bentuk. Pertama: mudharib ikut andil modal ditambah modal dari syarik (mitra) lainnya. Kedua: mudharib hanya andil tenaga, sementara modal dari syarik lainnya, misal antara satu orang pengelola dengan dua orang pemodal. Ketiga: dua orang sama-sama mengelola dengan modal berasal dari salah satu diantara mereka. Bentuk ketiga ini oleh Ibn Qudamah dalam Al-Mughni wa Syarh al-Kabîr dinilai sebagai bentuk mudharabah.

Mudharabah adalah syirkah (kemitraan) yang halal secara syar’i. Al-Kasani dalam Badâi’ ash-Shanâi’ menyatakan bahwa orang-orang biasa melakukan akad mudharabah dan Nabi saw. tidak mengingkari mereka sehingga hal itu merupakan persetujuan (taqrîr) dari Nabi atas kebolehan mudharabah.

Ad-Daraquthni meriwayatkan bahwa Hakim bin Hizam juga menyerahkan harta sebagai mudharabah dan mensyaratkan seperti syarat al-‘Abbas. Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub dari bapaknya dari kakeknya bahwa Utsman memberikan harta secara mudharabah. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya bahwa Umar ra. pernah menyerahkan harta anak yatim secara mudharabah. Imam asy-Syaukani dalam Nayl al-Awthar, setelah memaparkan sejumlah atsar itu, menyatakan, “Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa mudharabah dilakukan oleh para Sahabat tanpa ada seorang pun yang mengingkari sehingga hal itu menjadi ijmak mrereka bahwa mudharabah adalah boleh.”

Ibn al-Mundzir di dalam Al-Ijmâ’ menyatakan, “Para ahli ilmu telah berijmak atas kebolehan mudharabah secara keseluruhan.”


Beberapa Ketentuan

Rukun akad mudharabah ada tiga. Pertama: dua pihak yang berakad. Kedua: ash-shighat, yaitu ijab dan qabul. Ketiga: obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh), yaitu amal (aktivitas), modal dan keuntungan.

Akad mudharabah hanya sah dilakukan oleh mereka yang secara syar’i sah melakukan tasharruf, yaitu orang yang berakal, balig dan tidak sedang di-hijr (dilarang oleh hakim untuk melakukan tasharruf, termasuk melakukan transaksi finansial). Dua pihak yang berakad (al-‘âqidân) yang dimaksud bukan jumlahnya harus dua orang, melainkan dua pihak itu adalah satu pihak yang menjadi mûjib (menyampaikan ijab/ajakan) dan pihak yang menyampaikan qabul.

Ash-Shighat atau ijab dan qabul harus dilakukan terpaut antara ijab dan qabulnya atau harus dalam satu majelis akad. Di dalam ijab-qabul ini harus jelas andil dari masing-masing syarik (mitra), artinya harus jelas siapa yang menjadi mudharib (pengelola) dan siapa yang menjadi pemodal.

Obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh) mudharabah yaitu al-‘amal, ra’s al-mâl (modal) dan ar-ribhu (laba). Terkait al-‘amal, sebagai syirkah maka dalam mudharabah harus jelas aktivitas bisnis yang diakadkan. Harus dipahami dengan jelas batasan aktivitas yang termasuk dalam cakupan bisnis dalam syirkah itu, atau yang menjadi cakupan aktivitas mudharib (pengelola). Kejelasan ini penting sehingga semua pihak dapat menakar andil al-‘amal itu dalam bisnis dan hasilnya. Hal itu bisa menjadi pertimbangan penting untuk membuat kesepakatan tentang pembagian laba. Kejelasan itu juga penting untuk menentukan batasan pekerjaan yang masih dalam cakupan aktivitas pengelolaan syirkah dan mana yang tidak.

Terkait ra’s al-mâl atau modal maka ada beberapa ketentuan:

1. Modal haruslah ‘aynan (zat harta) dan ada pada waktu akad, tidak boleh berupa utang atau piutang yang ada di pihak lain.

2. Modal hendaknya dalam bentuk dinar (emas), dirham (perak) atau uang sehingga nilai nominalnya jelas. Ketentuan ini merupakan jumhur ulama.

3. Jika berupa barang, komidoti, jasa atau manfaat seperti manfaat ruko misalnya, maka para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Jika berupa barang, komoditi atau manfaat maka harus disepakati nilainya atau dinominalkan pada saat akad.

4. Jumlah modal harus jelas pada saat akad syirkah. Hal ini penting untuk mengetahui besarnya laba nantinya.

5. Mudharabah tidak sah kecuali modal seluruhnya diserahkan atau menjadi berada dalam kekuasaan mudharib pada saat akad syirkah. Tidak boleh ada sebagian modal yang diutang atau diserahkan kemudian. Akad mudharabah mengharuskan hal itu. Aktivitas finansial (bisnis) yang diakadkan itu dilakukan terhadap modal dan hal itu langsung berlaku sejak akad dilangsungkan sehingga modal yang diakadkan seluruhnya harus diserahkan kepada mudharib.


Adapun terkait ar-ribh (laba) maka harus diperhatikan:

1. Besarnya nisbah keuntungan yang menjadi bagian masing-masing syarik, baik pengelola maupun pemodal, harus disepakati. Besarnya nisbah laba itu bisa disepakati dengan memperhatikan porsi andil masing-masing baik tenaga maupun modal; bisa juga tanpa memperhatikan hal itu. Besarnya laba tidak boleh ditentukan nilai nominalnya, tetapi hanya berupa nisbah atau prosentase atas laba. Jika ditentukan nilai nominalnya, menurut Ibn Qudamah dalam Syarh al-Kabîr, membuat akad mudharabah itu batil.

2. Kerugian finansial hanya menjadi tanggu-ngan modal. Ali bin Abi Thalib berkata:

اَلْوَضِيْعَةُ عَلَى الْمَالِ، وَالرِّبْحُ عَلَى مَا اِصْطَلَحُوْا عَلَيْهِ

Kerugian itu berdasarkan harta (modal), sedangkan keuntungan berdasarkan kesepa-katan mereka (para mitra) (HR Abdurraqaq dan Ibn Abi Syaibah)

Syirkah itu mencakup wakalah dan wakil tidak menjamin dan kerugian hanya ditanggung pihak yang mewakilkan, kecuali kerugian itu karena kesengajaan wakil. Selain itu, bagian laba dan tanggungan kerugian itu mengikuti andil. Badan tidak menanggung kerugian harta, melainkan merugi tenaga, waktu dan pikiran yang dicurahkan saja.

3. Pembagian laba dilakukan setelah dihitung rugi-labanya dan modal disisihkan (dikembalikan ke pemodal). Untuk itu harus ditentukan periode syirkah, bisa pertransaksi, harian, mingguan, bulanan, tahunan; sesuai dengan fakta bisnis dan mempertimbangkan kemaslahatan pengelola sebab ia bisa jadi bergantung pada pembagian laba itu sebagai penghasilannya.


Jika akad mudharabah sempurna, maka konsekuensinya hak mengelola syirkah itu hanya dimiliki oleh mudharib. Ia berhak menjalankan syirkah itu sesuai pandangan dan pendapatnya sendiri. Pemodal tidak memiliki hak atas pengelolaan syirkah itu. Sebab, akad mudharabah itu terjadi atas badan pengelola dan harta pemodal, bukan atas badan pemodal jadi pemodal menjadi seperti orang asing dari syirkah itu sehingga ia tidak berhak atas pengelolaan syirkah tersebut.

Namun pemodal boleh menetapkan syarat-syarat atas pengelolaan syirkah itu pada saat akad. Mudharib wajib terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan itu dan tidak boleh menyalahinya sebab ia mengelola syirkah itu sesuai dengan izin sehingga ia terikat dengan izin yang diberikan.

Mudharib tidak boleh bekerja kepada syirkah yang ia kelola. Sebab, akad mudharabah itu terjadi atas badannya dan aktivitas pengelolaan syirkah itu menjadi konsekuensi dari akad tersebut. Namun, jika pekerjaan itu di luar cakupan aktivitas, pengelolaan syirkah dan tidak mengganggu pengelolaan syirkah maka orang yang menjadi mudharib itu boleh mengerjakannya dan mendapat upah. Misal, mengecat toko, sementara bisnis syirkah-nya adalah perdagangan. Adapun pemodal, ia boleh bekerja kepada syirkah yang ia modali itu. Sebab, badan pemodal itu tidak menjadi obyek akad syirkah dan ia seperti orang asing dari syirkah itu.

Syirkah termasuk ‘aqd[un] jâiz[un] sehingga masing-masing boleh membatalkan akad syirkah mudharabah kapan saja. Jika salah seorang syarik meninggal maka akad syirkah itu batal. Namun, harus diingat, akad syirkah termasuk ‘aqd[un] mustamirr[un], secara otomatis diperbaharui seiring waktu. Jika satu periode syirkah berakhir, atau ada yang menarik diri, maka secara otomatis akad syirkah itu diperbarui untuk semua syarik yang tidak menarik diri. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

One comment

  1. Dari ketentuan terkait ‘amal yg diuraikan di atas, nampaknya aqad mudharabah yg trjd antara nasabah dngn kebanyakan lembaga-2 keuangan syari’ah yang ada sekarang ini tidak sah; mengingat Bank-bank Syari’ah atau BMT -sebagai mudhorib- faktanya tdk melakukan amal (bisnis) apapun, selain melakukan mudhorobah “tingkat lanjut” bersama pihak ke-3 dengan memanfaatkan uang yg diinvestasikan oleh nasabah (shohibal maal yang asli). Jadi, amal bank adalah bisnis mudhorobah, yi melakukan aqad mudhorobah dengan nasabah untuk menjalankan mudhorobah dengan pihak ke-3. Di depan shohibul maal bank mengaku sebagai mudhorib, tapi didepan pengguna dana bank mengaku sbg shohibul maal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*