Pemerintah tak serius. Itulah kesimpulan perbincangan saya dengan sebagian tokoh beberapa waktu lalu. Sebagaimana diketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memberikan grasi kepada ‘Ratu Narkoba’ Corby. Saat ditangkap tahun 2004, Corby membawa mariyuana seberat 4,1 kg. Pengadilan memvonis dia 20 tahun penjara. Lalu SBY memberi dia grasi 5 tahun pada pertengahan Mei 2012. Perbincangan tentang hal ini pun tak berhenti.
Abdillah Thoha, mantan anggota Komisi I DPR RI dan Vice President Executive Committee dari Inter-Parliamentary Union (IPU), mengatakan kepada saya, “Walaupun itu hak prerogatif Kepala Negara, jelas itu merupakan keputusan yang keliru dan counter productive.”
Hal senada disampaikan oleh Sidarto Danusubroto (Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, anggota DPR). Ia menyatakan, “Hal ini patut disesalkan sebab merendahkan martabat Indonesia di mata Australia.”
Saya hanya menyampaikan kepada keduanya bahwa pemberian grasi itu menunjukkan betapa lemahnya Pemerintah Indonesia di hadapan negara asing. Kedaulatan tergadai.
Memang, kekuasaan hanya digunakan untuk main-main, bukan untuk rakyat. Kekuasaan hanya untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan itu sendiri agar tidak diutak-atik oleh negara asing penjajah. Kekuasaan hanya untuk mengabdi kepada pihak asing. Logika Mahendradatta dari Tim Pengacara Muslim (TPM) sangat sederhana. “Grasi itu pengampunan. Biasanya dihapus hukuman semuanya. Kalau separuh-separuh begini namanya main-main,” begitu ujarnya kepada saya.
Menanggapi kejanggalan grasi tersebut, Ichwan Syam, Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan bahwa kita perlu melihat apa sebenarnya motif diberikan grasi. Menurut beliau, setelah tahu motifnya, baru ditimbang mana yang lebih baik apakah memberikan grasi ataukah tetap menghukum Corby. Saya menyampaikan kepada Pak Ichwan, begitu saya biasa memanggil beliau, bahwa ada keanehan. SBY sedang gencar-gencarnya mengumandang-kan moratorium remisi (pengurangan hukuman). Namun, pada saat yang sama dia melanggar kebijakannya. Selain itu, grasi bagi pelaku narkoba belum pernah dilakukan. SBY berani melakukan. Pasti ada tekanan diplomasi dan politik dari luar. Beliau menanggapi bahwa itu yang harus ditelisik. Ada kemungkinan bantuan dana atau program, saling bebaskan tahanan, mungkin bagian dari perjanjian keamanan, dan mungkin soal nego minyak di Celah Timor. Intinya, memang keputusan memberikan grasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari tekanan asing.
Hal senada diyakini pula oleh tokoh lain. Dengan nada geram, salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anwar Abbas, menegaskan, “Pokoknya, pemimpin negeri ini takut sama ancaman pemimpin negara-negara maju.”
Saya katakan kepada beliau, seharusnya mereka lebih takut kepada Allah SWT daripada kepada pihak asing. Memberikan grasi kepada ratu narkoba berarti melanggar aturan Allah SWT.
Bukan sekadar itu. Sebelumnya, upaya liberalisasi pemikiran dan akidah melalui Irshad Manji dibiarkan Pemerintah begitu saja. Setelah itu, liberalisasi kebudayaan lewat konser Lady Gaga pun nyaris berjalan mulus. Andai saja tidak ada perlawanan masif dari berbagai kalangan Islam terhadap konser itu, niscaya konser simbol ‘pemuja setan’ tersebut benar-benar terjadi.
Dalam kedua kasus ini, Pemerintah diam. Coba, bayangkan, apabila Kepala Negara mengeluarkan larangan, niscaya hanya dalam sekejap mata upaya liberalisasi tersebut akan langsung berhenti.
Aneh memang. Terhadap kemaksiatan liberalisasi diam. Bahkan meringankan hukuman pelaku kemaksiatan dengan memberikan grasi. Pada sisi lain, ketundukan kepada pihak asing pun makin jelas terlihat.
Beberapa waktu lalu, laporan PBB menuding telah terjadi intoleransi beragama yang cukup signifikan di Indonesia. Intoleransi yang dimaksud di antaranya adalah tidak toleran kepada aliran sesat Ahmadiyah, pendirian calon gereja Yasmin yang sarat dengan tipuan, melarang Irshad Manji bicara, dan melarang konser Lady Gaga. LSM komprador menuding organisasi Islam sebagai penyebar ‘ideologi intoleran’. Pemerintah pun tampak bersikap senada dengan LSM komprador tersebut.
Semua ini lebih memberikan gambaran betapa sekarang ini sedang terjadi apa yang digambarkan dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 67 (yang artinya): Kaum munafik laki-laki dan perempuan sebagian mereka merupakan bagian dari sebagian lain; mereka memerintahkan kemungkaran dan melarang kemakrufan.
Kondisi sudah terbalik-balik. Persoalan menarik adalah ketika saya berbincang dengan beberapa tokoh dalam kesempatan lain. Lalu siapa yang bisa dijadikan pemimpin bagi umat Islam? Itu pertanyaan yang muncul. Beberapa tokoh saat itu kesulitan untuk menjawab pertanyaan penting tersebut. Beberapa nama disebut. Namun, semuanya berujung pada kesimpulan: ‘tidak berpihak pada Islam dan umatnya; tidak mau syariah’.
Dalam kesempatan itu saya mengatakan bahwa memang kalau mencari pemimpin dari orang-orang yang sekarang muncul di permukaan tidak akan ketemu. Nyaris tak ada yang secara sungguh-sungguh berjuang dan membela Islam dan umatnya. Saya tambahkan, Hizbut Tahrir punya profesor, banyak doktor di berbagai bidang, sarjana bertebaran. Mereka semua bukan hanya ahli dalam bidangnya, melainkan juga terbiasa setiap hari mengurusi urusan umat. Oleh karena itu, percayalah dan dukunglah perjuangan syariah dan Khilafah yang diemban oleh Hizbut Tahrir. Berikanlah dukungan pada perjuangan ini! Begitu saya katakan kepada mereka. Alhamdulillah, dukungan pun terus mengalir. Insya Allah.[MR Kurnia]