HTI

Afkar (Al Waie)

Ekonomi Yang Menyejahterakan

Dalam Kapitalisme, pembangunan ekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan pendapatan perkapita, dengan memperhitung-kan adanya pertambahan penduduk yang disertai dengan perubahan struktur ekonomi, serta terwujudnya pemerataan pendapatan bagi seluruh penduduknya (Humphreys, 1997). Dari definisi ini, kita dapat menarik dua hal penting dari pembangunan ekonomi, yaitu terjadinya kenaikan pendapatan perkapita dan terwujudnya pemerataan pendapatan.

Namun, kondisi Indonesia sebagai negara yang telah bersungguh-sungguh untuk mengamalkan semua ketentuan pembangunan ekonomi, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Kapitalisme selama lebih dari 60 tahun, ternyata sangat memprihatinkan. Saat ini beban utang Indonesia sampai Mei 2012 ini sudah menyentuh 1.900 triliun rupiah. Angka kemiskinan dengan standar Bank Dunia, yaitu pendapatan 2 USD perhari, ternyata mencapai 49% atau sekitar 110 juta penduduk Indonesia. Angka pengangguran tertutup sudah mencapai 40 juta angkatan kerja. Jumlah anak putus sekolah mencapai 11 juta siswa. Kesenjangan ekonomi pun tampak makin lebar. Globe Asia (Juni, 2010) telah mengkalkulasi bahwa akumulasi kekayaan dari 150 orang kaya di Indonesia ternyata telah mencapai porsi 12% dari PDB. Sudjana Royat dari Bappenas juga menginformasikan bahwa 80% aset ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh 2000 orang saja.


Beberapa Kesalahan Konsep Pembangunan Ekonomi


1. Konsep Pertumbuhan Ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi biasanya diartikan sebagai proses kenaikan output (PDB) perkapita dalam jangka waktu yang panjang (Boediono, 1999). Menurut Kapitalisme, ada beberapa faktor yang dapat menentukan keberhasilan pertumbuhan ekonomi, di antaranya adalah: ketersediaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ketersediaan modal (kapital), kemajuan teknologi dsb (Prayitno & Santosa, 1996). Menurut pendapat Adam Smith, di antara faktor-faktor di atas, yang paling penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah faktor kapital. Jika suatu negara ingin terus mengalami pertumbuhan ekonominya, maka syaratnya harus lebih fokus pada adanya akumulasi kapital (Deliarnov, 1997).

Kapitalisme mengajarkan bahwa akumulasi kapital di suatu negara dapat terjadi apabila masyarakatnya gemar menabung di bank. Bagi negara yang tingkat tabungan masyarakatnya masih rendah, permodalan ini akan selalu menjadi masalah bagi proses pembangunan ekonominya. Solusi yang mudah dan cepat untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mencari utang luar negeri atau menarik investasi modal asing. Solusi inilah yang dijadikan andalan utama negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia ini. Bagaimana hasilnya?

Setelah bertahun-tahun membangun dengan kucuran dana utang luar negeri dan investasi modal asing, ternyata ekonomi Indonesia tidak tambah membaik, namun justru sebaliknya; penduduknya makin melarat dan utang luar negerinya semakin menggunung. Mengapa hal itu dapat terjadi?

Sesungguhnya utang luar negeri dan investasi modal asing merupakan jebakan. Mengapa? Utang luar negeri yang diberikan negara Barat kepada Indonesia ternyata juga dibarengi dengan arahan dalam membuat model pembangunannya. Model pembangu-nan yang telah dilaksanakan ternyata tidak pernah membuat Indonesia menjadi negara yang madiri, kuat dan berdaulat secara ekonomi. Sebaliknya, Indonesia menjadi negara yang makin terjerembab dalam limbah utang dan makin membuat bergantung pada Barat, baik dalam bidang teknologi maupun ekonomi.

Kesalahannya adalah karena model pembangunannya disusun secara terbalik dari yang seharusnya. Model pembangunan yang dilakukan harus dimulai dari sektor hulu, baru kemudian bergerak menuju ke sektor hilir; yaitu pembangunan dari sektor pertanian dulu, baru kemudian bergerak menuju puncaknya, yaitu pembangunan industri berat.

Ketika Indonesia memulai pembangunan-nya dari sektor pertanian, untuk mencapai kemandirian pertanian saja diperlukan input-input pendukung lain yang jauh lebih banyak. Input-input tersebut meliputi: kebutuhan bibit yang unggul, alat-alat berat, peralatan bercocok tanam, kebutuhan pupuk, pestisida, insektisida, herbisida, kebutuhan program peningkatan keterampilan petani dsb.

Dari mana semua kebutuhan input itu dapat terpenuhi? Semua kebutuhan itu harus dipenuhi dengan cara mengimpor dari negara maju (Barat). Dari mana dana untuk mengimpor semua kebutuhan tersebut? Tidak lain dari utang luar negeri yang telah disiapkan oleh negara-negara Barat untuk Indonesia. Bagaimana hasilnya?

Ketika Indonesia telah berhasil dalam swasembada beras, beban utang luar negeri Indonesia sudah menggunung. Pemerintah Indonesia mulai disibukkan dengan beban pembayaran cicilan utang ditambah dengan bunganya. Akibatnya, APBN-nya lebih banyak tersedot untuk membayar cicilan utang ditambah bunganya, ketimbang untuk membiayai pembangunannnya. Akhirnya, impian untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri maju, yang dicirikan dari penguasaannya terhadap industri berat, hanya tinggal impian.

Ketika APBN sudah banyak tersedot untuk membayar utang, bagaimana Pemerintah harus membiayai pembangunannya? Ternyata jalan yang ditempuh Indonsia adalah dengan membuka lebar-lebar sektor keuangannya (liberalisasi sektor keuangan), yaitu dengan memberikan kebebasan untuk membuka bank bagi pihak swasta, membuka pasar modal, pasar valuta asing (valas), membuka arus lalu-lintas modal internasional dsb.

Upaya ini memang tampak memberikan hasil yang luar biasa pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi ini hanyalah pertumbuhan yang semu. Sebab, pertumbuhan ekonomi hanya menggelembung di sektor non riil saja. Fakta menunjukkan bahwa perputaran uang di sektor riil hanya menyerap 5%, sedangkan 95% sisanya berputar di sektor non-riil, yaitu hanya berputar-putar di lantai bursa saja, tanpa memberi dampak apa-apa terhadap ekonomi sektor riil.

Jika ekonomi hanya terus menggelembung di sektor non-riil, maka akibatnya mudah diduga, balon ekonomi (economic bubble) tersebut sewaktu-waktu bisa meledak dan menimbulkan krisis ekonomi. Fenomena itulah yang telah menimpa Indonesia pada tahun 1997/1998, yaitu ketika terjadi krisis ekonomi besar yang telah membuat ekonomi Indonesia runtuh. Krisis ekonomi yang diakibatkan oleh pembangunan ekonomi yang bertumpu pada sektor non-riil ini bersifat siklik. Artinya, krisis ekonomi akan terus-menerus muncul secara periodik dengan frekuensi yang semakin pendek. Jika dulu periode krisis terjadi setiap 20 tahunan, kemudian meningkat menjadi 10 tahunan, sekarang ini sudah mencapai 5 tahunan.


2. Konsep Pemerataan Ekonomi.

Pembangunan ekonomi yang telah dijalankan justru menghasilkan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar. Mengapa? Ini adalah akibat kesalahan konsep yang kedua, yaitu konsep pemerataan ekonomi.

Ekonomi Kapitalisme sangat mengandalkan mekanisme pasar bebas untuk menjamin pemerataan ekonomi. Diyakini, ada tangan yang tidak kelihatan (the invisible hands) yang akan senantisa mengatur perekonomian agar selalu berada pada posisi keseimbangan. Bagaimana kenyataannya? Ternyata mekanisme pasar bebas tidak pernah bekerja, kecuali hanya menyediakan “ring tinju” tanpa ada pembagian kelas. Siapapun boleh masuk. Lalu siapa yang akan senantiasa memenangkan pertandingan tersebut? Pemilik modal besarlah (kaum kapitalis) yang tentu akan senantiasa menjadi pemenangnya.

Kegagalan dalam pemerataan ekonomi ini memang jarang terungkap. Mengapa? Penyebabnya adalah karena masalah tolok ukur yang digunakan. Sesungguhnya penggunaan tolok ukur keberhasilan pembangunan hanya dengan melihat terjadinya kenaikan pendapatan perkapita sangatlah menipu. Jika terjadi kenaikan pendapatan perkapita maka itu hanyalah hasil perhitungan rata-ratanya saja. Bisa saja yang terjadi adalah naiknya pendapatan yang sangat tinggi dari segelintir penduduknya, sedangkan mayoritas penduduk yang lain tidak mengalami kenaikan pendapatan sama sekali, bahkan mungkin saja justru banyak yang mengalami penurunan. Fenomena inilah yang terjadi di Indonesia.


Kritik atas Konsep APBN

Menurut ekonomi Kapitalisme, sumber utama pendapatan negara yang utama hanyalah berasal dari pajak yang dipungut dari rakyatnya. Dalam menyusun APBN-nya, Pemerintah harus selalu merujuk pada prinsip anggaran berimbang, artinya belanja yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah harus seimbang (sebesar) dengan penerimaan dari pajak yang berasal dari rakyatnya. Jika Pemerintah harus mengeluarkan belanja yang besarnya melebihi dari sumber penerimaannya, maka inilah yang akan disebut sebagai anggaran defisit atau biasa dikenal dengan sebutan defisit fiskal. Jika anggaran Pemerintah mengalami defisit, maka biasanya akan ditutup dengan utang.

Pemerintah Indonesia senantiasa mengambil kebijakan anggaran defisit. Dalam APBN Indonesia tahun 2012 dapat diketahui bahwa defisit anggarannya sudah mencapai 1,5% terhadap PDB. Penerimaan APBN Indonesia tahun 2012 adalah sebesar Rp 1.311,4 triliun, sedangkan pembelanjaannya sebesar Rp 1.435,4 triliun. Selanjutnya, apa arti defisit APBN sebesar Rp 124 triliun ini bagi rakyat Indonesia?

Melihat postur APBN Indonesia yang tampak besar (karena nilainya sudah diatas 1000 triliun rupiah), rakyat Indonesia seharusnya cukup makmur. Namun, bagaimana kenyataannya? Besarnya nilai APBN tersebut ternyata tidak membawa berkah bagi rakyat Indonesia, sebaliknya seakan justru menjadi “kutukan” bagi rakyatnya. Sebab, besarnya nilai APBN tersebut tidak banyak digunakan untuk kepentingan rakyatnya, sebaliknya justru lebih banyak membebani rakyatnya. Mengapa? Paling tidak dapat kita lihat dalam beberapa alasan berikut ini:

1) Sebagian besar penerimaan APBN Indonesia adalah berasal dari pajak yang dipungut dari rakyatnya. Nilai penerimaan APBN tahun 2012, yaitu sebesar Rp 1.311,4 triliun, sekitar 80%-nya berasal dari pajak, yaitu sebesar Rp 1.032,6 triliun.

2) Sebagian besar pengeluaran APBN digunakan untuk belanja birokrasi, yaitu sebesar Rp 733 triliun. Padahal besarnya belanja birokrasi tersebut lebih banyak digunakan untuk pemborosan seperti untuk renovasi gedung, biaya kunjungan (plesiran), pembelian mobil mewah, pembelian seragam dinas, pesawat dinas dsb, yang tidak memiliki implikasi secara langsung terhadap kesejahteraan rakyatnya.

3) Pengeluaran yang cukup besar lainnya adalah untuk pembayaran cicilan hutang, yaitu sebesar Rp 170 triliun, yang terdiri dari Rp 46 triliun untuk membayar cicilan utang pokok dan Rp 124 triliun untuk membayar cicilan bunganya. Pembayaran cicilan utang ini pun tidak memiliki implikasi langsung terhadap kesejahteraan rakyat, sebaliknya justru sangat membebani, mengingat pembayaran cicilan bunganya yang sudah jauh melampaui cicilan utang pokoknya.

4) Penetapan kebijakan anggaran defisit sebesar 1,5% terhadap PDB atau sebesar Rp 124 triliun dapat diartikan sebagai penambahan utang baru, yang berarti penambahan beban baru pada rakyatnya, yang akan ditarik melalui pajak pada tahun-tahun berikutnya.


Akibat APBN yang tidak pro-rakyat inilah ekonomi rakyat Indonesia tidak pernah mengalami perbaikan.


Model Pembangunan yang Mensejahterakan Cara Islam

Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang tumbuh, stabil dan mensejahterakan, ekonomi Islam memiliki beberapa ketentuan dasar. Di antaranya adalah:


1. Pertumbuhan Ekonomi.

Sistem Ekonomi Islam, jika dijalankan, akan menjamin pertumbuhan ekonomi yang sehat dan kuat. Sebab, ekonomi Islam hanya memberi kesempatan pada para pelaku ekonomi untuk terjun dalam bidang ekonomi di sektor riil saja, yaitu dalam bidang pertanian, industri manufaktur, perdagangan dan jasa yang dihalalkan.

Ekonomi Islam melarang masyarakat mengembangkan ekonomi di sektor non-riil. Sebab, pengembangan ekonomi di sektor non-riil (sektor keuangan) banyak melanggar hukum-hukum Islam yang bersifat pasti (qath’i). Contohnya adalah adanya larangan riba nashi’ah, riba fadhl, judi atau spekulasi (maysir), gharar dsb. Praktik-praktik ekonomi yang terlarang tersebut pada saat inilah yang justru menjadi basis utama bagi tumbuhnya ekonomi di sektor non-riil tersebut.


2. Kestabilan Ekonomi.

Sistem ekonomi Islam juga akan menjamin kestabilan ekonomi. Kestabilan ekonomi akan mudah terwujud apabila sistem moneter Kapitalisme dirombak secara total menjadi sistem moneter Islam.

Basis utama dari sistem moneter Kapitalisme adalah uang kertas. Keberadaan uang kertas inilah yang menjadi penyumbang utama ketidakstabilan ekonomi. Sebab, uang kertas tidak memiliki nilai intrinsik sama sekali sehingga pengeluarannya harus dikontrol dengan ketat oleh otoritas moneter. Namun kenyataannya, kontrol dari otoritas moneter tidak pernah efektif. Akibatnya, fenomena inflasi selalu menjadi problem yang terus-menerus melanda perekonomian dunia saat ini, termasuk Indonesia.

Ekonomi Islam mewajibkan bagi negara untuk mencetak uang emas (dinar) dan perak (dirham) untuk kepentingan transaksi-transaksi ekonomi, baik dalam negeri maupun internasional. Uang emas dan perak ini sangat stabil, karena menyatukan nilai intrinsik dan nominal sekaligus. Oleh karena itu, peredaran mata uang Islam ini tidak memerlukan kendali dari otoritas moneter, namun dijamin bahwa mata uang ini akan tetap stabil, sehingga cerita inflasi insya Allah tidak akan pernah muncul lagi dalam kancah perekonomian.


3. Model Pembangunan Ekonomi.

Model pembangunan ekonomi yang benar menurut pandangan ekonomi Islam adalah dimulai dari sektor hilir, baru kemudian menuju ke sektor hulu. Tahapan pembangunan ekonomi tersebut harus dimulai dengan pembangunan industri berat dengan penguasaan teknologi yang tinggi, kemudian mengupayakan pembangunan industri pendukung, serta kemandirian dalam bidang pertanian.

Untuk mewujudkannya harus dengan pembiayaan negara (APBN) yang mandiri dan tidak boleh menggunakan utang luar negeri maupun investasi modal asing. Sumber-sumber pendapatan negara yang mandiri menurut pandangan ekonomi Islam ada 3, yaitu:

1. Sektor kepemilikan individu seperti: sedekah, hibah, zakat dsb.

2. Sektor kepemilikan umum seperti: tambang-tambang yang besar, sumber-sumber minyak bumi, gas, batubara yang besar, sektor kehutanan dsb.

3. Sektor kepemilikan negara seperti: jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, ‘usyur dsb.


Untuk fakta sekarang ini, sumber penerimaan terbesar yang dapat diandalkan Indonesia adalah dari sektor kepemilikan umum. Tentu dengan catatan, bahwa sektor kepemilikan umum ini harus benar-benar dikelola oleh negara. Negara harus melarang SDA tersebut dikuasai oleh individu atau swasta, apalagi oleh swasta asing, sebagaimana yang menimpa Indonesia saat ini. Peran negara hanyalah sebatas pengelola, kemudian mengembalikan hasilnya kepada rakyat sebagai pemilik asalnya, dengan mekanisme pengembalian yang sesuai dengan ketentuan Islam. Semua mekanisme itu telah diatur dengan tertib oleh APBN ekonomi Islam, yang dikenal dengan institusi Baitul Mal. Jika pengaturan ini dapat berjalan dengan penuh amanah, Insya Allah akan terwujud kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*