HTI

Ta'rifat (Al Waie)

Istishna’

Istishnâ’ adalah bentuk mashdar dari istashna’a. Jika dikatakan istashna’a asy-syay’a artinya thalab ash-shun’ihi (meminta agar sesuatu itu dibuat). Perbuatannya disebut ash-shinâ’ah, yaitu aktitivas pembuatan (making), pembentukan (performing), perakitan (manufacturing) atau pembangunan (constructing).

Adakalanya bahan pembuatan barang itu berasal dari orang yang meminta dibuatkan (al-mustashni’). Pembuat (ash-shâni’) hanya memberikan jasanya untuk membuat, merakit atau membangunnya. Bentuk ini termasuk kategori ijarah (kontrak jasa) dan secara tradisi tidak disebut istishnâ’.

Bahan pembuatan barang itu (al-mustashna’ fîhi) bisa juga berasal dari pembuat. Jadi itu adalah pemesanan barang shinâ’ah, yaitu barang harus dibuat, dibentuk, dirakit atau dibangun dulu. Jadi ini adalah membeli barang shinâ’ah dengan cara memesannya terlebih dulu. Karena barang tersebut harus dibuat atau dirakit dulu, penyerahan barang itu dilakukan kemudian setelah jangka waktu tertentu dari transaksi pemesanan atau pembelian itu. Secara tradisi istishnâ’ bentuk inilah yang disebut istishnâ’ dalam istilah para fukaha.

Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ mengartikan istishnâ’adalah jual-beli sesuatu yang dideskripsikan berada dalam tanggungan yang proses pembuatannya berlangsung dari penjual atau orang lainnya (sale in the form of a contract for manufacture). Menurut Dr. Muhammad Ahmad az-Zarqa dalam bukunya ‘Aqd al-Istishnâ wa Mudâ Ahammiyatihi fî al-Istitsmârât al-Mu’âshirah, istishnâ adalah akad pembelian langsung sesuatu yang termasuk apa yang harus dibuat/dirakit/dibentuk/dibangun (yushna’u shun’an) yang mengharuskan penjual menyerahkannya dalam bentuk yang sudah jadi dibuat dengan bahan-bahan yang berasal darinya dengan spesifikasi yang spesifik dan dengan harga tertentu.


Hukum Istishnâ

Pada masa Rasul saw. masyarakat melakukan istishnâ’ dan beliau mendiamkan mereka. Diamnya Rasul saw. adalah persetujuan kepada mereka atas akad istishnâ’. Persetujuan Rasul saw. dan perbuatan beliau adalah sama seperti ucapan beliau—merupakan dalil syar’i.

Bahkan bukan hanya mendiamkan praktik istishnâ’ yang ada, beliau sendiri juga melakukannya. Anas ra. berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِسْتَصْنَعَ خَاتَمًا فَقَالَ: إِنَّا قَدِ اتَّخَذْنَا خَاتَمًا وَنَقَشْنَا عَلَيْهِ نَقْشًا فَلاَ يَنْقُشْ عَلَيْهِ أَحَدٌ. وَإِنِّى لأَرَى بَرِيقَهُ فِى خِنْصَرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.

Nabi saw. pernah meminta dibuatkan sebuah cincin dan beliau bersabda, “Kami sudah mengambil cincin dan kami mengukirnya dengan sebuah ukiran maka hendaklah jangan seorang pun mengukir dengan ukiran yang sama.” Anas berkata: Sungguh aku melihat kilau sinarnya di jari kelingking Rasulullah saw. (HR an-Nasai).


Jadi Rasul saw meminta dibuatkan sebuah cincin dengan spesifikasi tertentu. Setelah itu, pembuat mengerjakan cincin tersebut sesuai dengan spesifikasi tertentu yang telah ditentukan oleh Rasul saw. itu. Lalu Rasul saw. mengambil cincin itu dan memakainya di jari kelingking beliau. Ini menunjukkan legalitas akad istishnâ’.

Rasul juga pernah memesan untuk dibuatkan mimbar. Sahal bin Said as-Saidi menuturkan: Rasulullah saw. pernah mengutus kepada Fulanah—Sahal menyebutkan namanya, “Suruhlah anakmu yang tukang kayu agar membuatkan bangku untuk aku duduk jika aku berbicara kepada orang-orang.” Wanita itu lalu menyuruh anaknya, dan anaknya membuatnya dari pohon hutan lalu dia bawa. Wanita itu pun mengirimkannya kepada Nabi saw., lalu beliau menyuruh agar diletakkan di situ dan aku lihat Rasulullah saw shalat di atasnya (HR al-Bukhari dan Abu Dawud).

Rasul saw memesan mimbar tanpa menjelaskan spesifikasinya secara spesifik, lalu pengrajin membuatnya dari kayu hutan dan mengirimkannya kepada Rasul saw. Tidak dijelaskannya spesifikasi secara khusus itu menunjukkan bahwa mimbar yang dipesan itu spesifikasinya seperti yang sudah biasa dan dikenal luas oleh masyarakat waktu itu.


Ketentuan Istishnâ’

Istishnâ’ yang dimaksudkan disini seperti dijelaskan oleh as-Sarakhsi dalam Al-Mabsûth (xv/84) merupakan jual-beli, yakni sebagai jenis jual-beli tersendiri yang berbeda dengan bentuk jual-beli lainnya, seperti sharf dan salam. Padanya berlaku hukum-hukum jual-beli secara umum disertai dengan ketentuan-ketentuan khusus tentangnya.

Sebagai akad jual-beli, akad istishnâ’ harus memenuhi rukun dan syarat-syaratnya sehingga sah. Rukunnya ada tiga. Pertama: al-‘aqidân (dua pihak yang berakad), yaitu al-mustashni’ (yang memesan barang itu sebagai pembeli) dan ash-shâni’ (pembuat sebagai penjual). Kedua: ijab dan qabul. Ketiga: al-‘ma’qûd ‘alayh (obyek akad), yaitu barang yang dipesan untuk dibuat (al-mustashna’ fîhi sebagai barang yang dijual).

Istishnâ’merupakan jual-beli. Yang menjadi obyek akad itu adalah barang yang dijual yang disebut al-mustashna’ fîhi atau al-mashnû’. Barang ini harus memenuhi beberapa syarat. Pertama: harus dijelaskan spesifikasinya secara jelas yang bisa menghilangkan perselisihan. Jual-beli itu terjadi dengan kesetaraan antara harga dan barang. Dalam istishnâ’, barang yang dijual itu berada dalam tanggungan diserahkan kemudian setelah jangka waktu tertentu. Semua spesifikasi atau sifat barang yang bisa menyebabkan perbedaan nilai atau harga harus disebutkan.

Kedua: barang itu (al-mashnû’) harus merupakan barang shinâ’ah, yaitu yang melalui proses pembuatan, perakitan, pembentukan atau pembangunan. Jadi barang yang dijual dalam istishnâ’ adalah barang jadi hasil proses pembuatan, perakitan, pembentukan atau pembangunan dari satu atau lebih bahan baku. Hadis pemesanan cincin dan mimbar dengan gamblang menjelaskan hal itu. Barang itu boleh dibuat sendiri oleh ash-shâni’ dan boleh juga oleh orang lain. Jadi barang (al-mustashna’ fîhi) itu tidak boleh berupa bahan baku atau bahan mentah seperti kayu gelondongan, beras, minyak, kain, produk pertanian dan buah, dan semisalnya. Produk-produk itu bisa dijual secara salam, tetapi tidak boleh dengan akad istishnâ’. Inilah yang membedakan jual-beli salam dengan jual beli istishnâ’.

Ketiga: bahan untuk membuat barang tersebut berasal dari penjual (ash-shâni’). Obyek akad adalah barang yang dibuat dengan semua penyusunnya dan itu adalah barang yang dijual. Seandainya bahan yang digunakan dari orang yang meminta dibuatkan barang, akad tersebut menjadi akad ijarah sebab obyek akadnya adalah hanya berupa kerja saja.

Harga dalam akad istishnâ’ tidak harus dibayarkan pada saat akad. Ini berbeda dengan bai’ as-salam karena harga harus dibayar pada saat akad. Harga istishnâ’ boleh dibayarkan saat akad, pada saat penyerahan barang dan boleh juga dibayar dengan tempo tertentu setelah itu, sekaligus ataupun secara angsuran. Hal itu dikecualkan dari pengharaman jual-beli utang dengan utang. Dasarnya adalah dalalah riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang pemesanan cincin oleh Rasul saw. yang menunjukkan bahwa akad al-istishnâ tersebar luas di Madinah. Rasul saw. sendiri meminta (memesan) dibuatkan cincin dari emas dan segera saja penduduk Madinah juga meminta (memesan) dibuatkan cincin (ini sebelum emas diharamkan untuk laki-laki). Mereka melangsungkan akad al-istishnâ berdasarkan yang biasa mereka lakukan. Ini menunjukkan bahwa syariah menyetujui akad al-istishnâ yang tersebar di tengah penduduk Madinah dan syariah tidak menambah hukum-hukum baru. Itu menunjukkan tidak wajibnya penyerahan harga di majelis akad. Sebaliknya, harga itu boleh berupa harga yang ditunda dengan tempo tertentu.

Jika akad istishnâ’ sempurna maka akad tersebut bersifat mengikat kedua pihak. Keduanya berhak membatalkannya selama belum berpisah majelis. Jika barang belum dibuat, keduanya juga boleh membatalkan akad tersebut asal dengan kesepakatan kedua pihak. Adapun jika barang sudah dibuat maka al-mustashni’ tidak boleh membatalkan akad tersebut sebab hal itu bisa menyebabkan dharar pada diri penjual.

Pada saat barang diserahkan, maka al-mustashni’ (yang memesan dibuatkan barang) memiliki khiyar ru’yah. Jika barang itu sesuai spesifikasi yang disepakati maka ia harus menerimanya. Jika tidak sesuai maka ia punya dua pilihan, antara menerimanya atau mengembalikan barang tersebut dan meminta barang yang sesuai spesifikasi atau meminta kembali harga yang sudah ia bayarkan.

Begitupun jika penjual (ash-shâni’) meninggal sebelum barang itu selesai, maka pemesan (al-mustashni’) memiliki khiyar, yaitu antara menerima diberikan barang dari pembuat (ash-shâni’) lainnya atau membatalkan akad tersebut.

Jual-beli mobil, furnitur, makanan olahan, pakaian, rumah, dan barang-barang shinâ’ah lainnya bisa dilakukan dengan akad istishnâ’ ini. Dalam hal ini ada kemudahan dan potensi untuk bergeraknya perekonomian secara dinamis. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*