(Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-30)
إنَّ الله فَرَضَ فرَائِضَ، فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ، فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ، فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا
Abu Tsa’labah al-Khusyaniyyu ra. menuturkan bahwa Nabi saw, pernah bersabda:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbagai kewajiban maka jangan kalian lalaikan; Allah telah menetapkan hudud maka jangan kalian lampaui; Allah telah mengharamkan sesuatu maka jangan kalian langgar; dan Allah diam dari sesuatu sebagai rahmat bagi kalian dan bukan karena lupa, maka jangan kalian bahas (HR ad-Daraquthni, ath-Thabarani dan Ibn Baththah)
Imam an-Nawawi mencantumkan hadis ini dalam Al-Arba’ûn an-Nawawiyah hadis ke-30. Beliau menilai hadis ini hasan. Sebelumnya, Al-Hafizh Abu Bakar ibn as-Sam’ani dalam Al-Amâli telah memberikan penilaian yang sama.
Dalam riwayat lainnya, Abu Darda’ ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ؛ فَاقْبَلُوْا مِنْ اللهِ عَافِيَتَهُ، فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ نَسِيًّا، وَتَلاَ: (وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا)
“Apa saja yang telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya adalah halal; apa saja yang telah Allah haramkan dalam Kitab-Nya adalah haram; apa saja yang Allah diamkan adalah dimaafkan maka terimalah yang dimaafkan dari Allah, dan sesungguhnya Allah tiadalah lupa.” Lalu Nabi saw. membaca: Tidaklah Tuhanmu lupa (TQS Maryam [19]: 64) (HR. al-Bazar, ath-Thabarani, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Al-Hakim menyatakan, “Sanad hadis ini sahih.” Al-Bazzar juga menyatakan hal yang sama.
Salman al-Farisi ra. juga meriwayatkan, Nabi saw. pernah ditanya tentang minyak samin, keju dan keledai liar. Lalu Nabi saw. bersabda:
الْحَلاَلُ مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ، وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا لَكُمْ
Halal adalah apa yang telah Allah halalkan di dalam Kitab-Nya; haram adalah apa yang telah Allah haramkan di dalam Kitab-Nya; dan apa yang didiamkan maka itu termasuk apa yang dimaafkan untuk kalian (HR Ibn Majah dan at-Tirmidzi).
Makna hadis di atas secara singkat adalah bahwa Allah telah menetapkan berbagai kewajiban. Kewajiban itu tidak boleh ditelantarkan, dilalaikan atau ditinggalkan. Allah SWT juga menetapkan hudud. Dari alur pembicaraan (siyâq al-kalâm), yang lebih tepat makna hudud dalam hadis di atas adalah sesuatu yang diizinkan. Hudud itu, yakni apa-apa yang Allah izinkan baik perbuatan atau benda, tidak boleh dilewati dengan melakukan atau mengambil yang haram. Allah SWT juga mengharamkan sesuatu atau perbuatan sehingga tidak boleh dilanggar dengan justru melakukan perbuatan atau mengambil sesuatu yang haram itu. Berikutnya, Allah SWT diam dari sesuatu, bukan karena Allah lupa, tetapi sebagai rahmat bagi hamba-Nya sehingga kita dilarang untuk membahasnya. Di dalam riwayat Abu Darda’ dan Salman al-Farisi, apa yang Allah diamkan itu merupakan al-’afwu (pemaafan).
Sesuatu yang didiamkan itu artinya tidak diwajibkan dan tidak dilarang. Itu menjadi al-‘afwu, yaitu sesuatu yang dimaafkan penggunaannya sebagai toleransi, keringanan dan kemudahan dalam beban taklif, pemaafan dalam penggunaannya. Al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzî, menjelaskan riwayat Salman al-Farisi: “fa huwa min mâ ‘afâ ‘anhu (itu termasuk yang telah Allah maafkan), yakni dari penggunaannya dan kebolehan memakannya, dan di dalamnya ada kaidah bahwa hukum asal sesuatu (benda) adalah mubah.”
Lalu bagaimana dengan perbuatan, tatacara dan muamalah yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh nas? Nas syariah kadangkala menjelaskan suatu perintah atau larangan berikut rincian, tatacara dan derivatnya sehingga itu termasuk hudud Allah. Perkara itu harus diambil dan dilaksanakan atau ditinggalkan berikut dengan rincian, tatacara dan derivatnya.
Nas syariah kadang menyatakan perintah bersifat umum atau global tanpa menjelaskan rincian, derivat, tatacara atau batasan-batasannya. Mukallaf diberi hak untuk memilih sarana dan cara untuk melaksanakan perintah itu. Di situlah, as-sukût (diam)-nya nas itu menjadi dalil atas kebolehan suatu rincian, derivat, sarana atau cara itu meski tidak secara spesifik dinyatakan, selama tidak ada nas khusus yang melarangnya. Itu merupakan keringanan, kelapangan, yakni rahmat, “wa sakata ‘an asyyâ`in rahmat[an] lakum” (Allah diam dari sesuatu sebagai rahmat bagi kalian).
Begitu juga masalah keduniaan, yaitu masalah sains, teknologi, teknis, deskripsi fakta, dsb; termasuk perkara yang didiamkan dan tidak dinyatakan secara rinci. Semua itu tercakup dalam ketentuan umum sabda Nabi saw.: Antum a’lamu bi umûri dunyâkum (Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian). Karena itu ia boleh diambil selama tidak dilarang.
Adapun muamalah yang belum dinyatakan eksplisit oleh nas bukan berarti otomatis boleh. Pasalnya, syariah telah mengatur muamalah itu dengan kaidah dan hukum tentang akad dan tasharrufat, termasuk di antaranya ketentuan tentang rukun, syarat, sah, batil, fasad dan sebagainya. Semua itu cukup untuk menganalisis dan menentukan status hukum muamalah baru tersebut.
Pertanyaan yang dilarang dalam hadits di atas adalah pertanyaan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dan tidak dituntut oleh perkaranya. Jawabannya kadang sudah tercakup oleh keumuman atau kemutlakan nas, seperti pertanyaan Bani Israel tentang rincian sifat sapi betina, atau pertanyaan tentang bilangan haji, dan sejenisnya; atau pertanyaan tentang sesuatu yang belum terjadi, “seandainya terjadi begini dan begitu”; atau pertanyaan tentag rincian hal gaib yang tidak dijelaskan nas. Pertanyaan semacam itulah yang dilarang.
Jadi yang dilarang bukan pertanyaan tentang hukum sesuatu yang akan diambil atau dilakukan. Sebab, seorang Muslim tidak boleh mengambil atau melakukan sesuatu yang belum ia ketahui hukumnya (QS. al-Isra’ [17]: 36). Pertanyaan yang kedua ini justru disyariatkan (QS an-Nahl [16]: 43).
Wallâh a’lam bi ash-shawâb wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]