HTI

Seputar Khilafah

Mekanisme Akad Khilafah

Pengantar

Khilafah adalah akad seperti halnya akad-akad syar’i lainnya yang dilakukan oleh dua pihak yang berakad. Oleh karena itu, akad Khilafah harus dilakukan atas dasar pilihan dan kerelaan dari kedua belah pihak. Lalu bagaimana mekanisme akad Khilafah ini bisa dikatakan sempurna sehingga Khilafah berpindah dari satu pihak ke pihak yang lain yang berakad, dan menjadikan dirinya memiliki wewenang jabatan Khilafah yang berhak untuk ditaati?

Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 28 yang berbunyi: “Tidak seorang pun berhak menjadi Khalifah kecuali setelah diangkat oleh kaum Muslim. Tidak seorang pun memiliki wewenang jabatan Khilafah, kecuali setelah sepurna akadnya berdasarkan hukum syariah, sebagaimana halnya pelaksanaan akad-akad lainnya di dalam Islam.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 127).


Mekanisme Akad Khilafah

Khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar pilihan dan kerelaan dari kedua belah pihak yang berakad. Khilafah adalah baiat untuk taat kepada seseorang yang mempunyai hak ditaati dalam kekuasaan. Jadi, dalam hal ini harus ada kerelaan dari pihak yang dibaiat untuk memegang tampuk kekuasaan dan kerelaan pihak yang membaiat dirinya.

Oleh karena itu, apabila seseorang tidak bersedia menjadi khalifah dan menolak jabatan Khilafah, maka ia tidak boleh dipaksa atau ditekan untuk meneriman jabatan itu, tetapi harus dicarikan orang lain untuk menduduki jabatan tersebut. Demikian pula tidak boleh mengambil baiat dari kaum Muslim dengan kekerasan dan pemaksaan, karena dalam keadaan demikian akad yang dilakukan tidak dianggap sah. Sebab, Khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan pilihan, tidak boleh ada unsur paksaan atau tekanan sebagaimana pada akad-akad dalam Islam yang lainnya.

Karena Khilafah merupakan akad, maka ia tidak akan sempurna tanpa adanya ‘aqid, yaitu pihak pertama yang menginginkan akad. Sebagaimana halnya dalam masalah pengadilan (al-qadha’), seseorang tidak sah menjadi qadhi kecuali setelah pihak berwenang menyerahkan jabatan tersebut kepada dirinya. Demikian pula dalam masalah pemerintahan, seorang amir (imam/khalifah) tidak sah kecuali setelah jabatan tersebut diserahkan kepada dirinya oleh pihak yang memiliki wewenang dalam hal ini.

Seseorang tidak akan menjadi khalifah kalau kaum Muslim, sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, tidak menyerahkan jabatan tersebut kepada dirinya. Dia akan memiliki wewenang pemerintahan hanya jika pelaksanaan akad Khilafah kepada dirinya berjalan secara sempurna. Akad ini tidak akan terlaksana kecuali adanya dua pihak yang berakad. Pihak pertama adalah orang yang mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan khalifah. Pihak kedua adalah kaum Muslim yang sepenuhnya rela kepada pihak pertama untuk menjadi khalifah mereka. Oleh karena itu, dalam hal pengangkatan khalifah harus ada baiat dari kaum Muslim (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 57; Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II, hlm. 23; Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 125).


Al-Istikhlâf atau al-‘Ahd

Tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa al-Istikhlâf atau al-‘Ahd merupakan mekanisme syar’i dalam akad Khilafah. al-Istikhlâf atau al-‘Ahd adalah menunjuk orang untuk menjadi khalifah pada saat khalifah sebelumnya masih hidup, kemudian setelah khalifah sebelumnya itu meninggal, maka ia (orang yang ditunjuk tersebut) langsung mengantikan dirinya. Mereka yang berpenda-pat seperti ini adalah al-Mawardi, an-Nawawi, Ibnu Hazm, al-Qalqasyandi, Ibnu Qutaibah ad-Dainuri, ar-Rafi’i dan lain-lainnya (Khalidi, Baiat dalam Persepektif Pemikiran Politik Islam, hlm. 146).

Argumentasi mereka yang berpendapat bahwa al-Istikhlâf atau al-‘Ahd merupakan mekanisme syar’i dalam akad Khilafah terfokus pada dua perkara. Pertama: tidak adanya nash syar’i atau ijmak yang melarang akad Khilafah dengan al-Istikhlâf. Bahkan akad Khilafah melalui wasiat imam (khalifah) sebelumnya yang telah meninggal merupakan cara yang paling utama dan baik dalam masalah tersebut (Ibnu Hazm, Al-Fashl fi al-Milal, IV/169). Kedua: adanya Ijmak Sahabat yang membolehkan akad khalifah melalui penunjukan atau janji (wasiat) dari khalifah sebelumnya. Dalam hal ini al-Mawardi berkata: “Adapun akad Khilafah berdasarkan penunjukkan atau janji (wasiat) dari khalifah sebelumnya, maka ia merupakan perkara yang telah disepakati kebolehannya serta telah terjadi konsesus (ijmak) mengenai keabsahannya. Bahkan kedua perkara ini telah dipraktikkan oleh kaum Muslim, dan tidak seorang pun yang mengingkari praktik kedua perkara ini.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 10).

Argumentasi pertama itu sangat lemah, bahkan tidak memiliki landasan sama sekali. Sebab, bagaimana dikatakan tidak ada nash, sementara nash-nash al-Quran dan as-Sunnah menjelaskan bahwa mengangkat khalifah merupakan kewajiban kaum Muslim secara syar’i. Dalam hal ini, baiat merupakan metode syar’i dalam mengangkat kepala Negara Islam (khalifah). Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) serta ulil amri di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).


Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفََرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ

Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah yang luas, kecuali mereka dipimpin oleh salah seorang dari mereka (HR Ahmad).


Rasulullah saw. pun bersabda:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بيَْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiat (kepada khalifah), maka dia mati (dalam keadaan berdosa) seperti mati jahiliyah (HR Muslim).


Nash-nash di atas menunjukkan tentang kewajiban kaum Muslim mengangkat seorang pemimpin (imam atau khalifah), serta menunjukkan bahwa metode syar’i satu-satunya dalam mengangkat pemimpin (imam atau khalifah) bukan dengan penunjukkan atau janji (wasiat), melainkan dengan baiat kaum Muslim yang dilakukan atas dasar pilihan dan kerelaan.

Adapun klaim tidak adanya ijmak yang melarang akad khilafah dengan al-Istikhlâf adalah klaim yang juga tidak memiliki hujjah. Sebab, Ijmak Sahabat terkait pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah melalui baiat tersebar luas di tengah kaum Muslim, dan tidak satu pun yang mengingkarinya, kecuali mereka yang keras kepala (Khalidi, Baiat dalam Persepektif Pemikiran Politik Islam, hlm. 151).

Lalu terkait klaim adanya Ijmak Sahabat yang membolehkan akad khalifah melalui penunjukan atau janji (wasiat) dari khalifah sebelumnya adalah tidak benar. Justru Ijmak Sahabat menegaskan bahwa mekanisme akad Khilafah harus melalui baiat kaum Muslim atas dasar kerelaan dan pilihan setelah musyawarah. Ini sebagaimana khutbah Umar ra. dalam pembaiatan Abu Bakar:

فَمَنْ بَايَعَ رَجُلاً عَنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ لاَ بَيْعَةَ لَهُ هُوَ وَلاَ الَّذِي بَايعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يَقْتُلاَ

Siapa saja yang membaiat seseorang tanpa musyawarah di antara kaum Muslim, maka tidak ada baiat bagi dirinya dan bagi yang membaiat dirinya, sebaliknya kedua orang tersebut layak untuk dibunuh (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, IV/226).


Hal ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya.

Dengan demikian, al-Istikhlâf atau al-‘Ahd itu tidak lain kecuali sekadar pencalonan, dan tidak dianggap sebagai mekanisme syar’i dalam akan Khilafah. Satu-satunya mekanisme akad Khilafah adalah mekanisme baiat kaum Muslim atas dasar kerelaan dan pilihan (Khalidi, Baiat dalam Persepektif Pemikiran Politik Islam, hlm. 156).


Penekanan, Pemaksaan dan Penguasaan

Dalam hal ini, beberapa fuqaha’ dan ulama telah menetapkan kebolehan akad Khilafah melalui penekanan, pemaksaan dan penguasaan. Abu Ya’la al-Farra’ mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya. “Siapa saja yang menguasai mereka dengan pedang, hingga ia menjadi khalifah dan dinamakan Amirul Mukminin, maka tidak halal bagi siapa pun yang mengimani Allah dan Hari Akhir bermalam sedang ia tidak melihat imam, baik imam itu baik (adil) atau buruk (zalim).” (al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 23).

Yang benar bahwa mekanisme akad Khilafah tidak dengan penekanan, pemaksaan dan penguasaan. Pasalnya, Khilafah merupakan akad yang dilakukan melalui baiat kaum Muslim atas dasar kerelaan dan pilihan. Hal itu tidak sah dilakukan dengan penekanan, pemaksaan dan penguasaan; tidak dengan memaksa orang yang dibaiat dan tidak pula memaksa orang yang membaiat (Al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 233). Rasululah saw. bersabda:

إِنَّ الله وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah menggugurkan dari umatku (dampak hukum akibat perbuatan yang dilakukan karena) kesalahan, lupa dan terpaksa (HR Ibnu Majah dari jalan Ibnu Abbas).


Begitu juga ketika Rasulullah saw. menawarkan dirinya kepada mereka yang diminta nushrah-nya, maka beliau bersabda:

لاَ أَكْرَهُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَلَى شَيْءٍ مَنْ رَضِيَ مِنْكُمْ بِالَّذِى أَدْعُوْهُ إِلَيْهِ فَذَلِكَ وَمَنْ كَرِهَ لَمْ أَكْرَهُهُ إِنَّماَ أُرِيْدُ أَنْ تَحْرُزُوْنِي فِيْمَا يُرَادُ لِى مِنَ القَتْلِ حَتىَّ أَبْلُغُ رِسَالَةَ رَبِّى

Saya tidak akan memaksa seorang pun di antara kalian untuk sesuatu. Siapa saja yang rela di antara kalian dengan apa yang saya serukan kepada dirinya, maka itu pilihannya. Siapa saja yang tidak menyukai itu, maka saya tidak akan memaksa dirinya. Sesungguhnya saya hanya ingin kalian menjaga saya dari pembunuhan yang ditujukan kepada saya hingga saya selesai menyampaikan risalah (misi) dari Tuhan saya.” (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, III/140).


Dengan demikian, tidak sah akad Khilafah yang diberikan kepada orang yang menekan umat, menguasai pemerintahan, dan memaksa umat dengan kekerasan agar tunduk pada perintahnya. Sebab, hal itu berarti menghancur-kan kaidah-kaidah sistem pemerintahan yang dibawa oleh akidah Islam. Hal itu juga merupakan perbuatan ghashab (pemaksaan), sedangkan menurut syariah ghashab itu haram, dan setiap sesuatu yang haram, kaum Muslim wajib menghilangkannya, dan tidak boleh rela dengannya (Khalidi, Baiat dalam Persepektif Pemikiran Politik Islam, hlm. 167).

Namun, jika orang yang menduduki pemerintahan dengan penekanan, pemaksaan dan penguasaan itu mampu menyakinkan masyarakat bahwa kemaslahatan kaum Muslim ada dalam pembaiatan diriya, serta penegakkan hukum-hukum Islam mengharuskan baiat kepada dirinya, kemudian masyarakat yakin dengan itu dan mereka pada akhirnya rela, selanjutnya mereka membaiatnya dengan kerelaan dan pilihan, maka sejak saat itu ia menjadi khalifah. Sebab, pada saat itu ia berarti telah dibaiat atas dasar kerelaan dan pilihan, sekalipun pada awalnya ia mengambil kekuasaan dengan penekanan, pemaksaan dan penguasaan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 128).

Dengan demikian, satu-satunya mekanisme akad Khilafah yang sesuai syariah adalah mekanisme baiat umat yang dilakukan atas dasar pilihan dan kerelaan dari kedua belah pihak. Intinya, seseorang tidak berhak menjadi khalifah, kecuali setelah diangkat dan dibaiat oleh umat, dan seseorang tidak memiliki wewenang jabatan khilafah, kecuali setelah sempurna akadnya berdasarkan hukum syariah, sebagaimana halnya pelaksanaan akad-akad lainnya di dalam Islam. WalLâhu a’lam bish-shawâb. []


Daftar Bacaan

Al-Farra’, Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000.

Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali bin Ahmad, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an Nihal. Beirut: Dar al-Ma’rifah, Cetakan II, 1975.

Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Baiat dalam Persepektif Pemikiran Politik Islam (Terjemahan Muhammad Bajuri). Bangil: Al-Izzah, Cetakan I, 2002.

Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm. Beirut: Maktabah al-Muhtasib, Cetakan II, 1983.

Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah. Beirut: Dar al-Fikr, Cetakan I, 1960.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I. Beirut: Darul Ummah, Cetakan II, 2009.

An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizham al-Hukm fi al-Islâm. Beirut: Darul Ummah, Cetakan VI, 2002.

An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II. Beirut: Darul Ummah, Cetakan VI, 2003.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*