HTI

Jejak Syariah

Mesjid Demak: Mercusuar Politik Islam

Berbicara tentang penyebaran Islam di Nusantara tidak akan bisa dilepaskan dengan peran sentral Masjid. Ini karena memang masjid bukan sekadar menjadi tempat peribadatan ritual semata seperti sekarang ini, namun juga menjadi pusat pemerintahan. Masjid digunakan juga sebagai sarana atau tempat mengurusi permasalahan umat, mulai dari perang, ekonomi maupun penyelesaian persengketaan antarmasyarakat.

Demikian juga Masjid Agung Demak. Masjid yang tergolong masjid tertua di Indonesia ini juga digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Demak. Masjid yang berada di Glagahwangi ini didirikan pada tahun 1388 Saka atau bertepatan dengan 1466 Masehi. Ini terlihat dari tulisan yang terukir di “Pintu Bledeg” masjid tersebut.

Kehadiran Masjid Demak tidak mungkin diabaikan begitu saja peranannya dalam sejarah penyebaran Islam pada masa itu. Pentingya kekuasaan politik bagi kelangsungan dakwah menyadarkan para walisongo untuk terlibat dalam percaturan politik;1 seperti Sunan Kudus sebagai panglima perang yang menggantikan Sunan Ngudung ketika menyerang Majapahit dan dibantu oleh para wali yang lain.2

Pemanfaatan jalur kekuasaan dalam dakwah dapat dilihat juga pada proses pendiriran masjid Demak yang didirikan oleh para wali sebagai pusat dakwah, namun tidak seperti dengan mesjid lain pada umumnya. Hal ini karena Masjid Demak adalah masjid Keraton yang pengelolaanya langsung di bawah sultan yang bertahta.3

Masjid Demak dijadikan pusat peradilan. Peranan Masjid Demak tampak terlihat dari peran Kesultanan Demak dalam usaha dakwah memanggil dan mengadili Syekh Siti Jenar yang menyebarkan ajaran sesat; ia mengajarkan penyatuan Pencipta dengan makhluk-Nya. Ujungnya, Syekh Siti Jenar mengklaim bahwa dirinya sebagai titisan dari sang Pencipta. Ajaran ini menimbulkan keresahan politis dan sesat dalam pandangan Islam. Proses peradilan Siti Jenar dilaksanakan di depan sidang walisongo yang berfungsi sebagai penasihat Sultan di Masjid Agung Demak.4

Peranan wali tampak sangat dominan pada masa Demak-Pajang hingga Mataram awal. Sunan Kudus yang sangat berpengaruh pada waktu itu menetapkan pengganti Sultan Hadawijaya bukan Pangeran Benawa (putra Sultan). Sunan Kudus justru menunjuk Arya Pangiri (seorang menantu Sultan yang pada saat itu menjabat adipati Demak) untuk menduduki tahta Pajang. Prosesi ini juga berlangsung di kompleks Masjid Agung Demak.5

Memang menjadi sebuah kebiasaan bahwa dalam struktur sejarah Kesultanan Islam, lokasi Masjid berdekatan dengan pusat pemerintahan dan alun-alun (Lapangan). Karena itu, Masjid Demak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari politik Islam. Bahkan walisongo sering bermusyawarah mengenai urusan masyarakat Demak di masjid ini.

Tatkala Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak sebagai pusat pemerintahan pada tahun 1479 M, Sang Sultan menjadikan Salokantara dan Jugul Muda Kitab Undang-undang Kesultanan yang berisi tentang hukum-hukum syariah Islam. Namun, sikap toleran ditunjukkan Kesultanan Demak kepada masyarakatnya yang non-Muslim. Bahkan Sunan Gunung Djati memberikan gelar kepada Raden Patah dengan nama Sultan Ahmad Abdul Arifin setelah terinspirasi oleh pengangkatan Khalifah Sultan Salim I saat menaklukkan Kesultanan Mesir. Sunan Gunung Djati melakukan ini tepat pasca kepulangannya dari berhaji di Masjidil Haram.

Dalam peranan dakwah, letak Masjid Agung Demak yang berada di barat alun-alun Kadipaten Demak menjadi pusat peradaban dan pendidikan. Di dalam kompleks Masjid ini pembinaan fikih islam, penyebaran tsaqafah dan penguatan diri untuk pembinaan tauhid Islam begitu kental. Lamban-laun budaya Hindu-Budha yang masih melekat di masyarakat—apalagi terkait takhayul, bid’ah dan khurafat—mulai berkurang.

Di dalam ruang utama masjid, para wali yang saat itu berfungsi sebagai penasihat keagamaan dan politik Sultan biasa berkumpul. Mereka berkumpul bukan saja dalam rangka taqarrub ilalLah, tetapi juga berusaha menuntaskan masalah-masalah ditengah umat. Kebijakan pemerintah, keputusan hukum dan peranan politik sangat kental melekat dengan Masjid Agung Demak. Kesultanan Demak tidak bisa terpisahkan dengan Masjid Agung. Siar dakwah yang semakin luas memberikan tekanan besar kepada raja-raja Hindu dan Budha. Tidak aneh, Kesultanan Demak melakukan futuhat atau pelebaran wilayah kekuasaan.

Namun, prinsip luar negeri Islam yang menyampaikan dakwah dan jihad telah mengantarkan peranan kejayaan yang besar bagi Kesultanan Demak. Pati Unus pernah dikirim untuk melakukan perlawanan terhadap Portugis di Perairan Selat Malaka. Bahkan meski masa pemerintahan Pati Unus singkat, waktu yang digunakan oleh Pati Unus banyak dihabiskan di medan pertempuran. Dampaknya, jangkauan wilayah Demak semakin luas. Hal ini pula yang membuat pemerintahan Portugis ketar-ketir menghadapi ketangguhan Kesultanan Demak.

Dalam bekerja, Dewan Wali atau biasa dikenal dengan Walisongo memiliki tugas pokok dan fungsi masing-masing. Mengenai pembagian kerja Dewan Wali secara struktural, menurut hasil penelitian Widji Saksono (1996: 97-100) adalah: Sunan Ampel mengurus susunan aturan syariah dan hukum perdata, khususnya berkenaan dengan masalah nikah, talak, rujuk. Sunan Bonang merapikan aturan-aturan, termasuk di dalamnya kaidah ilmu, selain menggubah lagu, nyanyian maupun gamelan Jawa. Sunan Gresik mengubah pola dan motif batik, lurik maupun perlengkapan berkuda. Sunan Drajat mengurus hal-ihwal pembangunan rumah maupun berbagai ragam alat angkut. Sunan Majagung mengurus hal-ihwal masakan (makanan) maupun alat tani dan barang pecah-belah lainnya. Sunan Gunung Jati, selain bertugas memperbaiki doa, memberantas hal-hal khurafat dan takhayul, ia juga mempunyai tugas untuk membuka hutan, mengurus transmigrasi atau membuka desa baru (perluasan wilayah). Sunan Giri bertugas menggubah perhitungan bulan, tahun, windu; lalu menyusun dan merapikan segala perundang-undangan, termasuk urusan protokolernya. Secara teknis Sunan Giri bertugas mengurusi administrasi. Sunan Kalijaga bertugas mengurus bidang seni-budaya, misalkan menggubah dan menciptakan langgam maupun gending. Sunan Kudus  bertanggungjawab atas perlengkapan persenjataan, perawatan bahan besi dan emas, juga membuat peradilan dengan undang-undang syariah. [Zain Rahman]


Catatan kaki:

1 Sejarah masing-masing wali dan keterlibatanya dalam tata politik di Jawa dapat dibaca misalnya dalam Amen Budiman, Walisanga: antara Legenda dan Fakta Sejarah (Semarang: Tanjung Sari, 1982); bandingkan dengan H. J. De Graaf, Awal Kebangkiatan Mataram, khususnya pada bab-bab awal; juga Wiji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hlm 116-143.

2 Amen Budiman, Walisanga, hlm 73-74.

3 Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri, Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, menurut penuturan Babad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm 118.

4 Lembaga ini terdiri dari delapan wali, sehingga berjumlah sembilan orang dengan sultan sebagai ketuanya. Dari sini kemudian muncul salah satu pandangan bahwa walisongo bukanlah sebutan untuk sembilan orang wali secara individual, tetapi lebih merupakan lembaga dengan anggota para wali tersebut. Lembaga ini juga berfungsi sebagai dewan penasihat Kesultanan, hanya saja lembaga ini kemudian dihapuskan pada masa pemerintahan Hadiwijaya dan fungsi kepenasihatan digantikan oleh dewan nayaka (dewan menteri), yang juga berjumlah delapan orang, yang diketuai oleh; Ki M A. Machfoeld, Sunan Kalijaga, hlm 60.

5 H. J.de Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, hlm. 90.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*