Gerakan penghematan yang digencarkan Pemerintah sepertinya hanya sekadar isapan jempol belaka. Instruksi Presiden terbaru mengharuskan seluruh lapisan utamanya para pejabat dan pegawai Pemerintah untuk memberlakukan pengetatan ikat pinggang. Kebijakan itu di antaranya penghematan energi, pengalihan fungsi BBM bersubsidi ke BBM non-subsidi hingga anggaran pengeluaran tiap departemen.
Pemerintah sudah berulang-ulang memprogramkan penghematan energi dan air melalui Inpres Nomor 10 Tahun 2005, Inpres No. 2/2008, dan 2 Agustus 2011. Hasilnya bisa kita tebak. Di antara Inpres itu tidak satu pun yang benar-benar berarti dalam penghematan.
Mengapa demikian? Karena tentu dalam dunia ekonomi liberalisme pengetatan anggaran ini tak sejalan dengan ideologi yang diemban negara. Jangan heran bila selama ini instruksi yang ada jalan di tempat. Bayangkan saja, Pemerintah sendiri tidak mengurangi anggaran rapat Presiden dan Wakil Presiden sebesar Rp 30,1 miliar. Jumlah yang cukup besar di tengah wacana penghematan anggaran dan energi yang terjadi.
Di lain sisi, DPR juga tak melakukan pengetatan anggaran dan penghematan biaya. Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi menjelaskan, bahwa untuk membiayai kunjungan kerja anggota DPR sebanyak enam kali selama setahun dianggarkan sebesar Rp102 miliar, kunjungan kerja masa reses sebanyak empat kali setahun sebesar Rp 357 miliar, dan kunjungan kerja perorangan sebanyak satu kali setahun sebesar Rp 22 miliar.
Oleh karena itu, tentu yang ada, rakyat disuruh menghemat, sementara Pemerintah dengan senang melakukan pemborosan anggaran. Jangan salah bila di kemudian hari, atau memang sudah menjadi kebiasaan, kita melihat kebijakan-kebijakan Presiden yang tajam ke bawah tetapi tumpul di atas. Seharusnya Pemerintah dan rakyat Indonesia menyadari, berbagai masalah ekonomi dan energi yang ada saat ini muncul karena sistem Kapitalisme. Sudah saatnya kita mengusung Islam sebagai ideologi negara dalam wujud Daulah Khilafah Islamiyah. [Ibnu Abdul Rahman (Sekretaris Umum DKM UNPAD)]