HTI

Tafsir (Al Waie)

Ujung Dua Jalan yang Kontradiktif

QS al-Balad [90]: 17-20

ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ * أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ * وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ * عَلَيْهِمْ نَارٌ مُؤْصَدَةٌ *

Dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman serta saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih-sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. Adapun orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami itu adalah golongan kiri; mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat (QS al-Balad [90]: 17-20).


Dalam ayat sebelumnya terdapat penjelasan mengenai jalan kebaikan yang sebaiknya ditempuh manusia. Untuk menempuh jalan tersebut, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh. Pasalnya, jalan tersebut sukar dan mendaki. Ayat itu menyebutnya sebagai al-‘aqabah. Beberapa perbuatan yang terkategori di dalamnya adalah membebaskan budak; memberikan makan pada masa kelaparan, baik kepada anak yatim yang memiliki hubungan kerabat maupun orang miskin yang amat miskin. Itulah kebaikan yang sulit lagi mendaki.

Kemudian dalam ayat ini dijelaskan mengenai jalan kebaikan yang wajib ditempuh manusia beserta pujian untuk mereka, yakni jalan keimanan dan dakwah. Setelah itu dilanjutkan tentang balasan bagi orang yang berlaku sebaliknya: orang-orang yang ingkar kepada ayat-ayat Allah. Mereka dimasukkan ke dalam neraka yang siksanya amat dahsyat.

Itulah dua jalan yang ditunjukkan Allah SWT kepada manusia sebagaimana dijelaskan dalam ayat sebelumnya (ayat 10), yakni jalan keimanan beserta amal salih dan jalan kekukufuran; jalan kebaikan dan jalan keburukan; jalan yang mengantarkan ke surga dan jalan yang menjerumuskan ke neraka.


Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Tsumma kâna min al-ladzîna âmanû wa tawâshaw bi ash-shabr wa tawâshaw bi al-marhamah (Dia [tidak pula] termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih-sayang). Pengertian al-îmân secara bahasa adalah at-tashdîq (membenarkan);1 sedangkan secara syar’i berarti at-tashdîq al-jâzim al-muthâbiq li al-wâqi’ ‘an dalîl (pembenaran yang pasti, sesuai dengan fakta, bersumber dari dalil).2 Dengan demikian kata al-ladzîna âmanû dalam ayat ini menunjuk kepada orang-orang yang mengimani emua perkara yang wajib diimani.

Dijelaskan ar-Razi, ayat ini memberikan penegasan bahwa orang-orang yang menempuh jalan sukar dan mendaki itu termasuk orang-orang yang beriman. Apabila tidak termasuk orang-orang yang beriman, maka tidak bermanfaat sedikit pun ketaatan tersebut dan tidak pula termasuk orang yang menempuh jalan sukar lagi mendaki.3

Menurut az-Zamakhsyari, kata tsumma dalam ayat ini menunjukkan li tarâkhi al-îmân wa tabâ’udihi (jarak dan jauhnya keimanan) dalam segi derajat dan keutamaan dibandingkan dengan membebaskan budak dan sedekah, bukan dari segi waktu. Alasannya, iman mendahului yang lainnya. Amal salih tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dasar iman.

Penjelasan senada juga dikemukakan Abu Hayyan al-Andalusi dan asy-Syaukani.4

Berdasarkan ayat ini, para ulama juga berkesimpulan bahwa keimanan merupakan syarat bagi diterimanya amal kebaikan yang diamalkan. Apabila tidak beriman, maka semua amal tersebut tidak diterima. Di antara yang berkesimpulan demikian adalah al-Qurthubi, al-Khazin, dan asy-Syaukani,5

Tak hanya beriman, mereka juga mengerjakan amal salih. Amal salih yang disebutkan ayat ini adalah: tawâshaw bi ash-shabr. Pengertian tawâshaw berarti awshâ ba’dhuhum ba’dh[an] (sebagian mereka menasihati sebagian yang lain).6 Adapun yang maksud ash-shabr adalah bersabar dalam ketaatan kepada Allah, dari maksiat kepada-Nya, dan terhadap musibah yang menimpa. Demikian penjelasan al-Qurthubi dan asy-Syaukani.7 Ibnu ‘Athiyah juga menafsirkan kata tersebut sebagai sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar atas ujian dan keputusan-Nya serta sabar dari godaan syahwat dan maksiat.8 Al-Khazin juga mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bersabar dalam menunaikan kewajiban serta seluruh perintah dan larangan Allah SWT.9 Dengan demikian, mereka saling menasihati satu sama lain untuk senantiasa taat terhadap syariah-Nya, kapan pun, di mana pun dan dalam keadaan apa pun. Itulah perkara yang saling mereka nasihatkan.

Sebagaimana mereka saling menasihati dalam kesabaran, mereka juga saling menasihati dalam kasih-sayang. Ditegaskan dalam frasa berikutnya: wa tawâshaw bi al-marhamah. Artinya, mereka saling berwasiat dalam kasih-sayang terhadap makhluk dan hamba Allah SWT. Jika mereka melakukan hal itu, mereka akan mengasihi anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Mereka juga akan memperbanyak perbuatan baik dengan bersedekah dan lain-lain.10

Menurut al-Khazin, ini memberikan isyarat ta’zhîm amril-Lâh wa syafaqah ‘alâ khalqil-Lâh (mengagungkan perintah Allah dan belas-kasihan kepada sesama makhluk Allah).11

Kemudian Allah SWT berfirman: Ulâika ash-hâb al-maymanah (Mereka [orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu] adalah golongan kanan). Kata ulâika menunjuk kepada orang-orang yang memiliki sifat sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Mereka yang memiliki sifat demikian dinyatakan sebagai ash-hâb al-maymanah. Dijelaskan al-Qurthubi, asy-Syaukani, dan as-Samarqandi, mereka adalah orang-orang yang diberi buku (yang berisi catatan mereka) dari tangan kanan.12 Dalam ayat lain diberitakan bahwa ash-hâb al-maymanah atau ash-hâb al-yamîn adalah para penghuni surga dengan aneka kenikmatan yang diberikan kepada mereka (lihat QS al-Waqi’ah [56]: 8, 27-28, 90-91).

Kemudian diterangkan mengenai orang-orang yang bersikap sebaliknya. Allah SWT berfirman: Wa al-ladzîna kafarû bi âyâtinâ hum ash-hâb al-masy’amah (orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri). Dijelaskan al-Qurthubi, kata âyâtinâ di sini bermakna al-Quran.13 Menurut as-Samarqandi, mereka mengingkari Nabi Muhammad saw. dan al-Quran.14 Ath-Thabari memberikan penafsiran lebih luas. Menurut ath-Thabari, kata âyâtinâ tersebut bermakna adillatinâ wa a’lâminâ wa hujjatinâ min al-Kitâb wa as-Sunnah wa ghayri dzâlika (dalil-dalil, tanda-tanda dan hujjah-hujjah Kami berupa al-Quran, as-Sunnah dan lain-lain).15

Dalam akidah, al-Quran termasuk menempati posisi sentral. Sebab, banyak perkara lainnya dalam akidah didasarkan pada al-Quran, terutama perkara yang bersifat gaib dan tidak dapat dijangkau indera manusia. Keimanan kepada malaikat, kitab-kitab selain al-Quran, para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad saw. dan Hari Kiamat dalilnya adalah al-Quran. Oleh karena itu, ketika al-Quran diingkari, maka berbagai perkara akidah lainnya yang didasarkan al-Quran juga akan diingkari.

Jika orang-orang yang beriman dan beramal salih disebut sebagai ash-hâb al-maymanah (golongan kanan), maka orang-orang yang kufur dinyatakan sebagai ash-hâb al-masy’amah (golongan kiri). Diterangkan asy-Syaukani, ash-hâb al-masy’amah adalah ash-hâb al-syimâl (golongan kiri), ash-hâb al-syu’m (golongan sial), atau orang-orang yang diberikan kitab dengan tangan kiri mereka.16 Al-Qurthubi mengatakan, ash-hâb al-maymanah adalah ash-hâb al-jannah (penghuni surga), dan ash-hâb al-masy’amah adalah ash-hâb al-nâr (penghuni nereka).17

Terhadap mereka, Allah SWT memberikan ancaman yang sangat keras dengan firman-Nya: Alayhim nâr[un] mu’shadah (mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat). Menurut Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Said bin Jubair, Mujahid, Muhammad bin Kaab, al-Qurthubi, Athiyyah al-Aufa, al-Hasan, Qatadah dan as-Sudi, pengertian mu’shadah adalah muthbaqah;18 muthbaqah mughlaqah (tertutup dan terkunci).19 Qatadah berkata, “Tidak ada cahaya di dalamnya, tidak ada celah, dan tidak bisa keluar selama-lamanya.20 As-Samarqandi juga menyatakan: Mereka dimasukkan ke dalam neraka, tidak keluar darinya panas terik, dan tidak masuk ke dalamnya angin sepoi-sepoi selamanya.21 Bahwa balasan bagi golongan kiri adalah neraka juga diberitakan dalam QS al-Waqi’ah [56]: 9 dan 41-56.

Siksaan tersebut tentu amat mengerikan. Dipastikan, tidak ada seorang pun yang kuat menghadapi siksaan neraka yang amat dahsyat tersebut. Mereka yang dimasukkan ke dalamnya tidak bisa menghindar dan keluar. Itulah balasan setimpal bagi orang-orang yang ingkar kepada ayat-ayat-Nya.


Motivasi bagi Orang Beriman dan Ancaman bagi Orang Kafir

Ada banyak pelajaran penting dari ayat ini. Pertama: eratnya hubungan antara iman dan amal salih. Iman menjadi dasar bagi amal salih. Iman juga menjadi syarat diterimanya amal salih. Sebaliknya, amal salih merupakan implementasi dari keimanan yang benar.

Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir juga mengatakan: Kemudian bersamaan dengan sifat-sifat indah lagi suci itu, dia adalah seorang Mukmin dengan hatinya dan mengharapkan pahala kepada Allah atas semua kebaikan itu, sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا

Siapa saja yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah Mukmin, mereka itulah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik (QS al-Isra’ [17]: 19).


Allah SWT juga berfiman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ …

Siapa saja yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman… (QS al-Nahl [16]: 97).22


Dalam kedua ayat itu disebutkan, wahuwa Mu’min (dan dia dalam keadaan Mukmin). Amal salih tersebut juga baru bermanfaat bagi pelakunya ketika disertai dengan keimanan. Sebaliknya, selama masih berada dalam kekufuran, maka infaknya tidak akan diterima (Lihat, misalnya: QS at-Taubah [9]: 54).

Kedua: kemuliaan dan keutamaan sikap belas kasihan sesama hamba Allah SWT. Dalam ayat ini disebutkan secara khusus perkara yang harus dijadikan sebagai tema dalam nasihat antarsesama: Wa tawâshaw bi al-marhamah. Penyebutan secara khusus amal salih tersebut menunjukkan adanya keistimewaan dan keutamaan sikap tersebut. Dengan dijadikan sebagai perkara yang dijadikan sebagai tema saling nasihat, maka sikap terpuji tersebut akan dapat terpelihara, berkembang dan membudaya dalam kehidupan manusia. Keistimewaan dan kemuliaan sikap tersebut juga tampak dari beberapa ayat sebelumnya. Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan mengenai beberapa perbuatan terpuji, yakni membebaskan budak, memberikan makan pada hari kelaparan, baik kepada anak yatim yang memiliki hubungan kerabat dan orang miskin yang sangat parah. Semua tindakan tersebut tercakup dalam sikap belas kasihan sesama hamba Allah SWT.

Oleh karena itu, sifat-sifat terpuji tersebut harus melekat pada diri orang Mukmin. Selain ayat ini, pujian dan dorongan untuk mengasihi dan menyayangi sesama hamba dan makhluk Allah SWT juga disebutkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah hadis dari penuturan Abdullah bin Amru ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda:

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

Para pengasih disayangi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah orang-orang di muka bumi, niscaya kalian dikasihi Zat Yang di langit (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).


Juga dari Jarir bin Abdullah ra., Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَرْحَمُ اللَّهُ مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ

Allah tidak mengasihi orang yang tidak mengasihi manusia (HR al-Bukhari dan al-Baihaqi).


Ketiga: ujung dari dua jalan yang telah ditunjukkan Allah SWT kepada manusia. Bagian akhir dari surat ini memberitakan akibat dan kesudahan nasib orang yang memilih di antara dua jalan yang ditunjukkan Allah SWT. Orang-orang yang memilih jalan keimanan dan amal salih, dimasukkan ke dalam ash-hâb al-maymanah (golongan kanan). Golongan yang ditetapkan menjadi penghuni surga. Surga adalah tempat tinggal yang penuh dengan kenikmatan. Sebaliknya, orang-orang yang memilih jalan kekufuran dimasukkan ke dalam ash-hâb al-maymanah (golongan kiri); golongan yang ditetapkan menjadi penghuni neraka. Neraka adalah tempat tinggal di akhirat yang penuh dengan azab yang mengerikan.

Itulah ujung dan kesudahan dari dua jalan yang telah ditunjukkan Allah kepada manusia, yakni: jalan keimanan yang berujung surga dan jalan kekufuran berujung neraka. Ayat ini memberikan motivasi bagi orang-orang yang telah memilih jalan keimanan agar tetap istiqamah di jalannya. Sebaliknya, ayat ini memberikan ancaman keras bagi orang-orang yang ingkar agar mereka tidak melanjutkan jalannya, dan segera berbalik ke jalan keimanan. Semoga kita diberi kekuatan untuk tetap istiqamah dalam jalan keimanan, amal salih, dakwah hingga ajal menjemput kita. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []


Catatan kaki:

1 Abu Bakar ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihhah. Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999, 22.

2 An-Nabhani, Ash-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1. Beirut: Dar al-Ummah, 2003, 29.

3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31. Beirut: Dar Ihya‘ at-Turats al-‘Arabi, 1430 H, 170.

4 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987, 757. Penjelasan serupa juga dinyatakan Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10. Beirut: Dar al-Fikr, 14320 H, 483; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5. Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994, 542.

5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20. Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964, 71; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995, 431; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 542.

6 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 431; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 542; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5. Beirut; Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1999, 314. Lihat juga ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassah al-Risalah, 2000), 446.

7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20. Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964, 71; Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 542

8 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001, 486.

9 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 431.

10 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 542.

11 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 431.

12 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 72; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 542; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993, 481.

13 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 72.

14 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 481.

15 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 446.

16 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 543.

17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 72.

18 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999, 298.

19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 72. Lihat juga: at-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 446.

20 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 447.

21 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 481.

22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 297.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*