HTI

Ta'rifat (Al Waie)

al-Ghabn al-Fâhisy

Ghabn berasal dari ghabana–yaghbinu–ghabn[an]. Menurut al-Jawhari dalam Ash-Shihâh fi al-Lughah, ar-Razi dalam Mukhtâr ash-Shihâh dan Ibn Manzhur di Lisân al-‘Arab, ghabana secara bahasa artinya khada’a (menipu/memperdaya). Menurut Ibn Duraid dalam Jumhurah al-Lughah dan Sa’di Abu Habib dalam Al-Qâmûsh al-Fiqhi, ghabana artinya naqasha (mengurangi). Menurut Rawwas Qal’ah Ji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha ghabana artinya ghalabahu wa naqashahu (mengalahkannya dan menguranginya).

Jika dikatakan ghabanahu fi al-bay’i wa asy-syirâ’ maknanya khada’ahu wa ghalabahu (memperdayanya dan mengalahkannya). Jika dikatakan ghabana fulân[an] maknanya naqashahu fi ats-tsaman wa ghayyarahu (menguranginya dalam hal harga dan mengubahnya).

Istilah ghabn digunakan dalam jual-beli. Secara istilah menurut ulama Syafiiyah ghabn adalah kelebihan atas harga yang sepadan, tsaman al-mitsli (Sa’di Abu Habib, Al-Qâmûsh al-Fiqhi). Menurut Ibn Najim ghabn adalah kekurangan dalam harga di dalam jual-beli (Mawsu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah, bahasan khiyâr al-ghabn). Adapun Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, ghabn adalah menjual/membeli sesuatu denan harga lebih dari yang sebanding atau kurang dari yang sebanding (Nizhâm al-Iqtishâdî, hlm. 193).

Ghabn sendiri ada dua: al-ghabn al-yasîr dan al-ghabn al-fâhisy. Al-Ghabn al-Yasîr menurut ulama Hanafiyah adalah harga atau kelebihan/kekurangan yang masih masuk dalam rentang nilai yang ditentukan oleh para pengestimasi nilai, sedangkan menurut ulama Syafiiyah adalah apa yang dimungkinkan terjadi dan itu diampuni.

Adapun al-ghabn al-fâhisy, menurut ulama Hanafiyah adalah harga kelebihan/kekurangan yang tidak masuk dalam rentang nilai yang ditentukan oleh para pengestimasi nilai, sedangkan menurut ulama Syafiiyah adalah apa yang pada galibnya tidak dimungkinkan terjadi. Abu al’Abbas al-Fayyumi di dalam Mishbâh al-Munîr dan Al-Minawi dalam At-Ta’ârif menjelaskan, ghabn fahisy itu jika tambahannya melebihi apa yang biasa semisalnya.


Al-Ghabn al-Fâhisy Haram

Al-Ghabn al-Fahisy (penipuan/kecurangan yang zalim) haram secara syar’i, karena di dalam hadis sahih ada tuntutan untuk meninggalkan ghabn dengan tuntutan yang tegas. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. dan Anas ra. bahwa seorang laki-laki menyatakan kepada Nabi saw. bahwa ia ditipu (yukhda’u) di dalam jual-beli, lalu Nabi saw. bersabda:

إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ

Jika engkau berjual-beli maka katakanlah, “Lâ khilâbah” (tidak ada penipuan) (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibn Hibban dari Ibn Umar dan Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Hakim).


Nabi saw. juga bersabda:

بَيْعُ الْمُحَفَّلاَتِ خِلاَبَةٌ وَلاَ تَحِلُّ الخِْلاَبَةُ لِمُسْلِمٍ

Jual-beli muhaffalah adalah khilâbah (penipuan) dan penipuan itu tidak halal bagi seorang Muslim (HR Ibn Majah, Ahmad dan Abdurrazaq)


Al-Khilâbah adalah al-khadî’ah (penipuan). Hadis-hadis ini telah menuntut agar al-khilâbah (penipuan) ditinggalkan. Tuntutan itu ditegaskan dengan sabda Nabi saw. “lâ tahillu (tidak halal) alias haram. Dari sini maka al-ghabn (penipuan) hukumnya adalah haram.

Hanya saja, ghabn (penipuan) yang haram itu harus memenuhi dua hal. Pertama: harus berupa ghabn fâhisy (penipuan yang zalim) karena ’illat pengharaman ghabn adalah karena realitanya sebagai penipuan dalam hal harga. Tidak akan disebut penipuan jika hanya sedikit, yaitu masih masuk dalam rentang harga yang biasa terjadi di pasar. Sebab, selisih harga yang sedikit itu merupakan kemahiran dalam tawar-menawar. Ghabn itu disebut penipuan hanya jika hisy (zalim/keji), yaitu jika sudah melebihi kebiasaan, atau harganya berada di luar rentang harga yang biasa di pasar. Kedua: orang yang ditipu itu pada saat akad tidak tahu harga yang biasa berlaku di pasar. Sebab, jika ia tahu dan tetap menerima transaksi itu, maka artinya ia tidak tertipu atau dicurangi dan ia menerima harga yang lebih tinggi atau lebih rendah itu disertai dengan pengetahuannya; dengan itu artinya ia ridha dengan harga itu disertai pengetahuan dia.

Penentuan kadar ghabn yang termasuk ghabn fâhisy itu mengikuti apa yang berlaku di pasar, yakni mengikuti penentuan para pelaku pasar atau para pedagang. Kelebihan atau kekurangan harga ghabn hisy dari harga pasar itu tidak ditentukan dengan kadar sepertiga, seperlima atau lainnya, melainkan tetap dikembalikan menurut istilah para pedagang, yaitu para pelaku pasar. Jika terjadi perselisihan tentang apakah terjadi ghabn fâhisy atau tidak, maka hal itu dikembalikan pada penentuan nilai oleh para ahli pengestimasi (ahlu al-hibrah). Hal itu seperti penentuan harga yang sepadan (tsaman mitsli) atau upah yang sepadan (ajru al-mitsli).

Jika memenuhi dua ketentuan tersebut, yaitu terjadi ghabn hisy dan pihak yang ditipu tidak mengetahui hal itu pada saat transaksi, maka pihak yang tertipu itu memiliki khiyar (opsi). Hal itu karena Muhammad bin Yahya bin Habban menuturkan bahwa kakeknya, yaitu Munqidz bin Amru, sering tertipu dalam jual-beli lalu mengadu kepada Nabi saw, maka Nabi saw. bersabda:

إِذَا أَنْتَ بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ. ثُمَّ أَنْتَ فِى كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا بِالْخِيَارِ ثَلاَثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَضِيْتَ فَأَمْسِكْ وَإِنْ سَخِطْتَ فَارْدُدْهَا عَلَى صَاحِبِهَا

Jika engkau berjual-beli maka katakanlah, “Tidak ada penipuan.” Kemudian dalam setiap barang yang engkau beli, engkau memiliki khiyar tiga malam. Jika engkau ridha, pertahankan; jika engkau tidak suka maka kembalikanlah kepada pemiliknya (HR Ibn Majah, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni).


Ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menyatakan bahwa hadis lâ khilâbah (tidak ada penipuan) itu merupakan dalil adanya khiyar di dalam jual-beli jika terjadi ghabn (kecurangan).

Sesuai hadis di atas, opsi yang diberikan kepada pihak yang tertipu itu adalah satu di antara dua hal: Opsi pertama, jika ia ridha ia boleh melanjutkan transaksi itu, artinya ia pertahankan barang atau harga yang dia dapat. Opsi kedua, jika ia tidak ridha dengan transaksi itu, ia boleh membatalkannya. Jika ia penjual, maka ia meminta kembali barangnya dan ia kembalikan harganya, sementara jika ia pembeli ia kembalikan barangnya dan ia meminta kembali harga yang sudah dia bayarkan. Pihak yang ditipu (al-maghbûn) tidak memiliki opsi ketiga selain dua opsi itu. Jadi ia tidak boleh meminta selisih harga transaksi itu dengan harga normal atau meminta kompensasi. Sebab, Rasul saw. hanya memberikan dua opsi itu dan tidak memberikan opsi lainnya.

Konsekuensi dari keharaman ghabn fâhisy itu maka harta yang diperoleh dengan melakukan ghabn fâhisy, yaitu melakukan khidâ’ah (penipuan/kecurangan) merupakan harta yang haram. Selain itu, tindakan ghabn fâhisy merupakan pelanggaran syariah yang masuk dalam kategori ta’zir. Untuk memberantasnya supaya tidak berkembang di pasar maka terhadap pelakunya bisa dikenai sanksi ta’zir yang jenis dan kadarnya menurut ijtihad qadhi, yang mungkin dalam hal ini adalah qadhi hisbah, tentu dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pasar dan perekonomian.

Ghabn hisy (kecurangan yang zalim) itu biasanya terjadi karena adanya informasi asimetris, yaitu informasi pasar, khususnya tentang harga, yang hanya dimiliki oleh salah satu pihak dan pihak lain tidak mengetahuinya. Jika informasi itu simetris (sama-sama diketahui oleh kedua pihak) niscaya tidak akan terjadi ghabn hisy. Kalaupun terjadi transaksi dengan harga di luar harga pasar maka itu memang disertai keridhaan dan pengetahuan kedua pihak.

Syariah meminimalkan peluang terjadinya hal itu. Di antaranya, syariah melarang orang kota berjual-beli dengan orang kampung/pedalaman; orang kota dilarang menjadi makelar untuk orang kampung. Begitu juga syariah melarang talaqu al-jalab. Abu Hurairah menuturkan:

أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ فَإِنْ تَلَقَّاهُ إِنْسَانٌ فَابْتَاعَهُ فَصَاحِبُ السِّلْعَةِ فِيهَا بِالْخِيَارِ إِذَا وَرَدَ السُّوْقَ

Nabi saw. melarang orang yang mendatang-kan barang dicegat sebelum sampai ke pasar. Jika seseorang mencegatnya sebelum sampai pasar, lalu ia membeli darinya, maka pemilik barang memiliki khiyar jika ia sampai pasar (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).


Imam at-Tirmidzi mengomentari hadis ini, “Orang-orang yang berilmu (ulama) tidak suka membeli barang sebelum sampai di pasar, dan itu adalah salah satu bentuk tipudaya (kecurangan).

Berkembangnya informasi asimetris, selain memberi peluang terjadinya ghabn hisy, juga akan menyebabkan distorsi pasar. Akibatnya, perekonomian bisa terpengaruh. Karena itu, sebagai bagian dari pelaksanaan ri’ayah syu’un maka hendaknya negara menaruh perhatian besar untuk menghilangkan atau meminimal-kan berkembangnya informasi asimetris itu. Untuk itu, negara hendaknya membentuk badan/lembaga yang memantau perkemba-ngan pasar dan menampilkannya sebagai informasi yang terbuka untuk semua pihak. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*