Semakin tinggi gunung yang didaki, semakin besar enerji yang harus dicurahkan. Pemeo ini ada benarnya. Cita-cita yang besar memang membutuhkan curahan tenaga, perhatian dan pastinya pengorbanan yang juga besar. Tanpa itu semua, keinginan menggapai kemuliaan hidup adalah mimpi di siang bolong.
Pada tahun 1896, seorang Yahudi bernama Theodore Hertzl bekerja keras mewujudkan mimpi mendirikan negara Yahudi. Berawal dari tulisannya, Dar Judenstaat (Negara Yahudi), Hertzl yang wartawan ini harus bekerja keras menggalang opini di tengah kaum Yahudi dan meyakinkan mereka tentang arti penting sebuah negara bagi komunitas Yahudi. Pasalnya, tidak semua Yahudi percaya akan pentingnya negara bagi bangsa Yahudi, khususnya para rabi. Mereka tidak melihat ada janji Tuhan akan adanya ‘the promised land’ dalam Talmud, kitab suci agama Yahudi.
Ia pun mendekati para pemimpin Eropa hingga akhirnya mendapat dukungan besar dari Inggris. Meski akhirnya Hertzl sendiri menemui kematiannya pada tahun 1904 dan tidak sempat melihat berdirinya Negara Yahudi Raya, kerja kerasnya menanamkan embrio negara Yahudi membuahkan tegaknya Israel pada tahun 1948.
Dalam sebuah pernyataannya ia mengatakan, “Four years ago in speaking of a Jewish nation one ran the risk of being regarded ridiculous. Today he makes himself ridiculous who denies the existence of a Jewish nation.”
Bila seorang Yahudi dengan cita-cita kejinya bisa demikian yakin dan mau bekerja luar biasa keras, lalu bagaimana dengan kaum Muslim, khususnya mereka yang telah meng-’azam-kan jiwanya sebagai da’i bagi umat dan agama ini? Bukankah mengibarkan panji-panji Islam adalah puncak pencapaian tertinggi bagi seorang Muslim di dunia?
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS Fushshilat [41]: 33).
Pastinya, jalan dakwah tidak selamanya semerbak harum. Perjuangan yang dipancangkan tidak selamanya dilalui dengan kegembiraan. Sebabnya, Allah SWT ingin menjadikan ladang dakwah sebagai ujian bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sementara mereka tidak diuji lagi? (QS al-Ankabut [29]: 2).
Allah SWT juga berfirman:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kalian dan belum nyata orang-orang yang sabar (QS Ali Imran [3]: 142).
Selain ujian yang menghadang setiap Mukmin yang berjuang, Allah SWT juga mengingatkan anak keturunan Adam as. akan rintangan dan tipudaya yang ditebarkan setan untuk menyesatkan mereka dari jalan-Nya. Tidak henti-hentinya iblis dan balatentaranya berusaha memalingkan setiap Muslim agar tidak berjuang atau tidak total dalam berdakwah.
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ * ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ *
Iblis berkata, “Karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan-Mu yang lurus; kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat) (QS al-A’raf [7]: 16-17).
Sayang, tidak semua orang yang bibirnya telah ber-’azam untuk meniti jalan dakwah memahami realitas ujian dari Allah dan godaan setan dalam kehidupan mereka. Mereka tidak menyadari kalau hidupnya belum total dikerahkan untuk memuliakan agama Allah dengan dakwah. Inilah tantangan sekaligus perangkap setan yang ditebarkan untuk menjerumuskan para pengemban dakwah sehingga mereka menjauh dari medan dakwah.
Persoalan Internal
Persoalan pertama yang menghadang para pengemban dakwah sering justru datang dari dalam diri mereka sendiri, yakni soal motivasi diri dalam berdakwah. Lemahnya motivasi berdakwah akan menyebabkan para pejuang dakwah keliru dalam meletakkan prioritas amal. Keliru dalam prioritas amal akan mengakibatkan kesalahan dalam upaya pengerahan tenaga dan pengorbanan. Energi dan pengorbanan yang harusnya dicurahkan untuk perjuangan sering malah dialihkan pada kegiatan lain yang derajatnya lebih rendah, bahkan mubah.
Ada sebagian orang yang menganggap dakwah adalah kegiatan ‘sampingan’, bukan utama. Karena itu, mereka hanya mengerahkan energi ‘sisa’ di jalan perjuangan ini. Bukannya menyempatkan diri untuk berdakwah, tetapi berdakwah bila sempat. Mereka berkumpul bersama ribuan atau ratusan ribu pendakwah hanya sebagai penggembira tanpa sumbangsih energi yang lebih besar lagi untuk dakwah. Sayang, ada di antara mereka yang telah merasa menggugurkan kewajiban berdakwah di jalan Allah. Lalu mereka merasa qona’ah dengan apa yang mereka kerjakan.
Dengan motivasi diri yang lemah, wajar bila kemalasan akhirnya membelit diri. Jangankan untuk melakukan kontak dakwah atau mengisi durusul-masajid, khutbah Jumat, yang di dalamnya mereka bisa mengobarkan semangat perjuangan dan menyadarkan umat, untuk sekadar mengikuti dan mengkaji kabar Dunia Islam pun tidak mereka lakukan. Sungguh, tragedi yang memilukan melihat pengemban dakwah yang tidak paham apa yang terjadi di Suriah, Teluk Hormuz, Mesir, isu terorisme, dsb.
Ironinya, ada syabab dakwah yang tergila-gila sepakbola hingga mau merogoh kocek untuk membeli tabloid olahraga, atau kuat berjam-jam di televisi menonton pertandingan sepakbola. Sebaliknya, mereka malas membaca buku tsaqafah Islam, buletin dakwah, atau majalah dan tabloid dakwah. Ada juga Muslimah yang menjadi pengemban dakwah yang begitu bersemangat mengikuti perkembangan tren musik dan idolanya ketimbang pergolakan politik dan pemikiran umat.
Motivasi yang lemah membuat mereka mudah dihinggapi perasaan takut menghadapi kesulitan hidup. Mereka cemas bila masa depan istri dan anak-anak suram akibat dakwah hingga akhirnya ia memilih berada di ‘zona aman’. Ia bekerja serius mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dan sekadarnya saja untuk berdakwah; sekadar hadir halaqah, sekedar hadir dalam acara-acara kajian tetapi minus ghirah berdakwah. Kehadiran mereka dalam acara itu pun sekadar karena malu pada mushrif dan pengurus, lalu disambung temu kangen dengan teman kuliah sambil tak lupa mencari info usaha dan lowongan kerja. Mereka begitu cemas akan masa depan seolah-olah lupa bahwa mereka punya Allah, Zat Yang Mahaperkasa dan Maha Pemberi Pertolongan.
Tantangan Eksternal
Kondisi mental para pengemban dakwah yang lemah ini kian kalut menghadapi realita kehidupan yang carut-marut. Biaya hidup yang semakin tinggi membuat sebagian pengemban dakwah teralihkan perhatian dan energinya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tidak bisa dipungkiri Kapitalisme dengan prinsip hidup ‘survival of the fittest’-nya, saat negara berlepas diri dari jaminan masyarakat, membuat rakyat harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, termasuk para juru dakwah.
Keinginan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak serta pendidikan yang layak dan islami bagi anak-anak mereka harus berbenturan dengan realita biaya pendidikan yang mahal. Jaminan kesehatan yang layak pun tak bisa ditebus kecuali dengan nilai rupiah yang tinggi.
Hal ini membuat sebagian pengemban dakwah kian ciut nyalinya, lalu menghabiskan banyak waktunya untuk mencari nafkah yang layak; tidak sekadar cukup, tetapi harus berlebih mengingat biaya kehidupan yang tinggi.
Malangnya, tidak sedikit di antara para pengemban dakwah yang juga terperangkap dalam gaya hidup high class. Entah karena terbawa arus hidup yang glamor atau merasa sok butuh, maka asesoris hidup yang berkelas dan branded pun mereka buru. Gadget yang canggih dan mahal, kendaraan yang wah hingga urusan menu makan pun harus berkelas. Mereka pun dipaksa untuk terus bekerja lebih keras untuk membiayai gaya hidup tingkat tinggi itu. Dampaknya, dakwah kian dipinggirkan dan dunia kerja jadi perhatian utama.
Akhirnya, sebagian juru dakwah masuk dalam perangkap Kapitalisme. Nyaris hilang perasaan malu atau bersalah ketika mereka lebih bersemangat memburu proyek bisnis, bekerja keras mengejar target perusahaan, atau menawarkan aneka produk usaha mereka, tetapi lidah kelu untuk berdakwah. Urusan bisnis tidak pernah telat, tetapi halaqah sering dibatalkan. Bersemangat menjajakan proposal usaha, jasa dan barang dagangan kepada customer, tetapi lesu merekrut kader dakwah.
Dari pola hidup demikian, fenomena berikutnya pun bermunculan; getol mengikuti berbagai training motivasi diri, kebebasan finansial, wirausaha, tetapi berat mengkaji tsaqafah Islam. Forum-forum yang bertebaran pemikiran Islam pun sepi dari kehadiran orang yang mengaku pengemban dakwah. Tidak ada perasaan bersalah tidak menguasai bahasa Arab, tetapi merasa ‘bersalah’ bila tidak mengikuti aneka pelatihan bisnis dan keuangan.
Hal ini mendorong para syabab dakwah terjatuh pada perangkap duniawi: berbangga dengan keunggulan materi; kendaraan mewah, penghasilan, omzet usaha, bahkan jumlah istri! Lalu entah disadari atau tidak, kebanggaan itu mereka cetuskan di jejaring sosial. Ada yang menceritakan bahwa ia sudah berhasil membeli sedan mewah untuk keluarganya (tentu dibarengi ucapan hamdalah). Ada yang mengungkapkan kalau omzet bisnisnya telah mencapai ratusan juga rupiah bahkan miliaran. Ada yang berfoto di samping rumah mewah atau kendaraan mewahnya. Ada juga yang memajang istri barunya yang ke sekian, dsb.
Mirisnya, berbagai alasan bisa dikemukakan untuk menghindari kewajiban berdakwah; sakit, capek, urusan keluarga, urusan kerja, dsb. Namun, bila kantor meminta lembur, atau bisnis menuntut target, begadang bermalam-malam pun siap mereka kerjakan. Bahkan anak-istri pun siap ditinggalkan untuk kepentingan finansial. Untuk dakwah? Nanti dulu.
‘Pseudo-Dakwah’
Para ulama nan bijak menyebutkan: Beruntunglah orang yang nafsunya dikuasai akalnya dan celakalah orang yang akalnya dikuasai nafsunya. Hawa nafsu yang telah merajalela akan mempermainkan akal dengan segudang logika. Pengemban dakwah yang di lubuk hatinya merasa bersalah karena tidak merasa optimal menggapai ridha Allah, pada akhirnya memang akan merasa galau. Keresahan itu tetap akan terasa dalam diri orang beriman.
Namun demikian, kembali hawa nafsu meruntuhkan akal sehat. Berbagai justifikasi dicari untuk membenarkan perilaku tak terpuji tersebut. Ada yang merasa qana’ah hanya dengan menghadiri halaqah; selain itu tidak walau sekadar menyebarkan buletin, mengajak kawan atau kerabat ke acara-acara dakwah, dsb.
Sebagian orang merasa puas berdakwah dengan menyebarkan opini lewat jejaring sosial atau membuat tulisan-tulisan di blog atau situs. Meski tulisan-tulisan itu memang bermanfaat, langkah tersebut belumlah mencukupi untuk disebut sebagai dakwah karena tidak terjadi kontak antarpersonal dan feedback yang memadai karena keterbatasan ruang dan waktu. Beda dengan kegiatan durusul-masajid maupun kontak yang responnya dapat segera diketahui dan disikapi.
Ada juga yang menutupi rasa bersalah mereka dengan berinfak dalam jumlah besar untuk kepentingan dakwah. “Biarlah saya tak bisa berdakwah dengan lisan, tapi harta saya akan saya pakai di jalan dakwah,” demikian pikir mereka. Mereka lupa bahwa dakwah adalah aktivitas lisan untuk mengubah pemikiran masyarakat, bukan investasi usaha. Infak di jalan dakwah memang bermanfaat untuk operasional dakwah maupun infrastruktur dakwah, tetapi tidak menghasilkan pergolakan pemikiran, membongkar kebusukan penguasa ataupun mengadopsi kemaslahatan umat. Lalu dimana letak dakwahnya?
Inilah pseudo-dakwah (dakwah ‘semu’) yang menyelusup ke dalam pikiran aktivitas para pengemban dakwah. Inilah yang membuat mereka sudah terpuaskan dan merasa telah mengerahkan energi yang optimal, padahal menyalurkannya di jalan yang keliru.
Dalam kegalauan itu, tidak jarang godaan lebih besar menyergap para pengemban dakwah. Ada di antara mereka lalu melemparkan kesalahan kepada orang lain, pembina atau pengurus. Ada juga yang kemudian memilih untuk meninggalkan medan dakwah. Sebaliknya, mereka sendiri lupa melakukan introspeksi atas kelemahan dan kesalahan diri. Uniknya, mereka bisa mentoleransi kekurangan perusahaan tempat mereka bekerja atau kelemahan rekan kerja atau atasan mereka, tetapi menutup pintu maaf untuk rekan sesama juru dakwah.
Ada baiknya kita semua mengingat kembali sabda Nabi saw. akan halusnya tipudaya setan terhadap umat manusia; amat halus sehingga mengalir lewat jaringan pembuluh darah. Tidak kita sadari, tetapi sebenarnya kita telah terperangkap di dalamnya.
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
Sesungguhnya setan mendatangi anak Adam mengalir melewati pembuluh darah (HR Muslim).
Saatnya seluruh pengemban dakwah melakukan muhasabah terhadap diri sendiri dan jamaah. Saatnya kita dengan jujur mengakui kelemahan dan kekurangan curahan usaha dan perhatian terhadap dakwah, tenggelam dalam kesibukan diri dan selalu mencari-cari jalan untuk membenarkan itu semua. Saatnya kita meluruskan kembali keikhlasan diri, memantapkan langkah dan menata diri agar lebih bersemangat dalam menapaki jalan dakwah. Yakinlah bahwa Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan dan perjuangan hamba-hamba-Nya. Pertolongan dan keberka-han hidup akan dilimpahkan kepada mereka yang bersungguh-sungguh menegakkan agama-Nya.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi dirinya jalan keluar dan memberi dia rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) dirinya (QS ath-Thalaq [65]: 2-3).
WalLahu a’lam. [Iwan Januar]
Sungguh Luar biasa nasihat nya Ustadz.. Semoga tulisan itu menyadarkan qt semua. Aamiin
SubhanAllah.. Terimakasih.. :D sudah di ingatkan.. artikel ini seperti tamparan di saat ngantuk :)
Alhmadulillah. jzk