Mesir dan umat Islam pada umumnya—setidaknya yang memiliki sentimen Islam—merayakan kemenangan pada saat ini setelah bertahun-tahun terjadi penganiayaan terhadap sebuah kelompok Islam. Apakah akhirnya hal ini merupakan nushrah (kemenangan) atau bukan?
Dr. Muhammad Mursi telah menjadi berita utama setelah menjadi presiden Mesir pertama dari Ikhwanul Muslimin, sebuah gerakan yang didirikan di Mesir sekitar tahun 1928. Dalam tulisan ini kita akan memeriksa kemajuan terakhir (atau tidak adanya kemajuan). Tentu ha; demikian tidak dilihat melalui kacamata untuk memenuhi tuntutan pragmatis retorika dari sebuah kelompok Islam, melainkan dilihat melalui kacamata yang lebih strategis dan berprinsip.
Untuk memahami masalah-masalah yang dihadapi tanpa jatuh ke dalam retorika mengenai konspirasi dan tetap berpikir rasional, kita harus memahami keuntungan-keuntungan yang didapatkan baru-baru ini dalam tiga premis berikut.
Kemenangan ini adalah sejalan dengan suasana politik Mesir. Kelompok-kelompok Islam yang menakutkan dan Islam politik di Barat adalah menang dengan disengaja, baik untuk mengakhiri kelompok-kelompok Islam maupun merupakan akhir itu sendiri.
Ketika berbicara secara ideologis, satu sistem yang berkuasa tidak pernah secara naif membolehkan sistem lain untuk mengambil kontrol dan kekuasaan yang menimbulkan ancaman yang nyata dan serius bagi keberadaan sistem yang berkuasa. Dalam hal ini, hukum militer secara de facto memerintah Mesir, yang memiliki kekuasaan diktator, tidak akan mengizinkan Ikhwan untuk meraih kekuasaan jika mereka melihat itu sebagai ancaman, saat tujuan Ikhwan adalah melakukan Islamisasi Mesir. Ini adalah warisan dari suatu perubahan yang benar, baik dilakukan melalui revolusi atau kudeta. Kaum komunis tidak berupaya untuk membongkar sistem (jika ini adalah tujuan dari Ikhwan) dari dalam. Khomeini tidak melakukan barter dengan Shah Iran untuk mengubah konstitusi. Demikian seterusny. Apalagi jika Ikhwan, dan dunia, sebagaimana tampak jelas, telah menerima hal ini sebagai kemenangan dirinya sendiri. Maka dari itu, perubahan (dari dalam) ini pasti akan gagal. Hal ini karena Ikhwanul Muslimin tidak sama artinya dengan model pemerintahan Islam jika menganut politik pragmatis. Dengan demikian terpilihnya Mursi sebagai presiden tidak dengan sendirinya berarti kemenangan.
Jika ini adalah alat untuk mencapai tujuan, maka kemenangan itu sendiri tidak bisa dianggap sebagai kemenangan bagi siapa saja, apalagi kemenangan kelompok Islam pragmatis romantis. Tujuan kemenangan itu harus ditetapkan oleh Ikhwan. Dengan begitu kita dapat menentukan sampai sejauh mana keuntungan-keuntungan itu menghasilkan kemajuan atau kemunduran? Apa pula yang mereka usahakan untuk dicapai? Apakah mereka tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh pendiri kelompok itu, Hassan al-Banna? Ataukah mereka akan melakukannya sesuai dengan pragmatisme?
Jika ada reformasi substansial (pada tingkat yang tidak pernah ditentukan oleh mereka sendiri) merupakan akhir, yang tampaknya sangat mungkin demikian, maka langkah terakhir itu merupakan suatu kemunduran karena mereka melegitimasi, mengontrol dan melestarikan sistem yang sama dengan sebelumnya. Padahal sistem ini terus-menerus menghasilkan ketimpangan ekonomi dan politik (baik internal dan eksternal). Dengan demikian, apa-apa yang berbau Islam hanyalah sebuah nama dan definisi sejarah, tidak membawa atau ditujukan untuk mengakhiri rezim diktator Mubarak.
Jika kemenangan ini adalah akhir itu sendiri, maka kita memiliki tiga dilema. Pertama: kekuasaan demi kekuasaan adalah sesuatu yang tidak sah dari setiap perspektif konseptual dan perspektif yang berprinsip (jika hal ini tidak menjadi lebih ‘baik’). Oleh karena itu, argumen atas ‘kebaikan yang lebih sedikit’ yang kecil adalah sia-sia, karena jika tidak ada perubahan maka ‘kebaikan yang lebih sedikit’ itu tidak ada.
Kedua: jika definisi dari ‘kebaikan yang lebih sedikit’ cukup dangkal untuk memiliki arti nominal dan label yang tidak jelas, maka hal ini telah dicapai.
Selain itu, Ikhwanul Muslimin menggantikan akhir yang ditetapkan oleh pendirinya dan ‘akhir’ yang membenarkan (dari pandangan syar’i) atas partisipasi mereka (untuk tidak menyebutkan bahwa suatu gerakan ditentukan oleh akhirnya). Kalau itu terjadi, kita tidak dapat mengharapkan kerendahan hati dan ketulusan tujuan-tujuan dari Hassan al-Banna bisa diwujudkan, setelah 84 tahun, karena Ikhwan kini telah meninggalkan model pemerintahan yang diambil oleh cendekiawan Islam itu.
Ketiga: jika akhir berarti ‘kekuasaan’ maka semua yang mereka telah capai adalah ‘kekuasaan’ paradoks yang akan dinetralisasi oleh lembaga-lembaga formal (baik lembaga Parlemen maupun lembaga Kepresidenan) yang keduanya sama-sama mempertahankan status-quo dan tidak bertindak untuk mengubahnya. Dengan demikian mereka dipaksa, menyusul kemenangan mereka, untuk menggunakan jalur-jalur politik informal; Lapangan Tahrir, sebagai protes atas kudeta halus oleh militer.
Terakhir, menyatakan hal itu sebagai sebuah sarana, memunculkan pertanyaan, apakah lembaga-lembaga sekular-kapitalis itu adalah sah untuk tetap ada dalam diri mereka, bagaimana jika mereka tidak ada, maka penghapusan lembaga-lembaga ini menjadi suatu tujuan dalam dirinya sendiri dan karenanya, sekali lagi, “keuntungan” terbaru itu merupakan suatu kemunduran yang sangat buruk.
Platform politik Mesir dibuat sedemikian rupa sehingga kekuasaan yang sesungguhnya ada pada militer. Sejarah Mesir merupakan bukti tentang hal ini dan mereka yang memiliki kendali atas militer akan berada dalam posisi kekuasaan yang sempurna. Bahkan sebelum Mursi ditunjuk sebagai presiden, perdebatan-perdebatan seperti itu yang membahas batas kekuasaan presiden telah memenuhi media. Mursi sendiri telah disadari cukup dini ketika dia berkomentar, “Saya akan menjaga perjanjian damai antara Mesir dan Israel, atas dasar saling menghormati…Suatu negara [Israel] yang berpenduduk 5 juta orang tidak dapat menjadi ancaman terhadap negara yang berpenduduk 95 juta orang [Mesir].” (CBC TV, 9 Mei 2012).
Ia juga menyatakan, “Kami tidak menyatakan perang terhadap siapa pun, dan kami tidak berniat untuk memutuskan hubungan dengan siapa pun di masa depan, kecuali dengan mereka yang memerangi rakyat Mesir atau menyerang Mesir.” (Al-Arabiya TV, 23 November 2011).
Akhirnya, kami ingin menyebutkan bahwa kemenangan atas apa yang dianggap sebagai kelompok ‘Islam’ tidaklah sebaru seperti yang terdengar dengan histeria massa. Kemenangan-kemenangan seperti itu telah terjadi di Aljazair, Kuwait, Sudan, Turki dan Gaza. Mereka yang menganggap kemenangan-kemenangan itu sebagai kemenangan kecil dari kelompok-kelompok Islam yang naif menciptakan histeria yang sama seperti yang mereka buat pada hari ini. Namun, suara hiruk-pikuk itu perlahan lenyap ketika disadari bahwa kemenangan-kemenangan itu memang dibiarkan terjadi oleh institusi-institusi tersebut. Sebab, mungkin partai-partai itu cukup pragmatis untuk dibuat untuk bersikap demokratis atau karena kekuasaan mereka dapat dikendalikan hingga ke tingkat nilai nominalnya. Bisa dikatakan, masing-masing skenario itu mengecewakan dan menghina harapan seorang Muslim yang tulus sebagaimana juga skenario yang lain.
Sebagai kesimpulan, kekuatan sebenarnya di Mesir terletak pada Dewan Militer. Ikhwan tidak mendapatkan kekuasaan melalui penumbangan lembaga-lembaga status quo dan sistem yang ada. Dengan demikian tidak ada jaminan akan adanya perubahan yang berakar. Kemenangan Mursi sama sekali bukan kemenangan. Itu hanyalah seperti suntikan morfin bagi rakyat Mesir yang merasa berkecil hati selama beberapa dekade setelah pilihan mereka dirampas dan menjadi takdir politik mereka. Di sini, mereka diberi ilusi pilihan, tetapi perubahan itu harus dikurangi dari yang diharapkan. Apa yang dapat kita harapkan adalah bahwa Ikhwan mereformasi lebih lanjut dari partai yang moderat dan pragmatis, menjadi partai yang mencari silsilah keislamannya dengan keharusan kembali pada akhir kemenangan Islam (yang sesungguhnya) yang diadopsi oleh Hassan al-Banna. [Riza Aulia/Sumber: http://www.newcivilisation.com/home/international-affairs/the-illusion-of-islamic-victory-in-egypts-presidential-elections/8 Juli 2012]
Betul, sulit sekali melakukan tambal sulam , atas sistem yang sudah mencengkeram.