Dakwah sejatinya bukan hanya tugas dan kewajiban para ulama, kiai atau ustadz saja. Dakwah adalah kewajiban setiap Muslim. Maka dari itu, dakwah seharusnya menjadi pilihan hidup setiap orang yang mengaku beragama Islam. Masalahnya, realitasnya tidak menunjukkan demikian. Di tengah pemahaman kebanyakan kaum Muslim yang minim, ditambah dengan dunia yang makin materialistis dan pragmatis, dakwah bukanlah pilihan populer bagi kebanyakan kaum Muslim. Bahkan tak sedikit da’i, mubalig atau aktivis dakwah yang mulai kehilangan orientasi hidup. Dakwah yang mereka lakukan tak lagi bernilai ukhrawi, tetapi sudah sarat dengan kepentingan duniawi. Yang tak kalah menyedihkan, karena begitu beratnya tekanan hidup, kadang dakwah pun dinomorduakan, bahkan mungkin ditinggalkan.
Mengapa bisa begitu? Apa saja yang menjadi penyebabnya? Apa pula solusinya? Inilah di antara persoalan yang coba ditanyakan langsung oleh Redaksi kepada KH Hafidz Abdurrahman dari Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (DPP HTI). Berikut petikan wawancaranya.
Ustadz, bagaimana pentingnya dakwah saat ini jika dikaitkan dengan iman, perintah syariah, kondisi masyarakat sekarang dan tanggung jawab kita terhadap nasib umat dan generasi ke depan?
Dakwah adalah perintah yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada kita, baik sebagai pribadi, jamaah maupun negara. Allah SWT berfirman, “Kuntum khayra ummatin ukhrijat li an-nasi, ta’muruna bi al-ma’rufi wa tanhawna ‘an al-munkari, wa tu’minuna billah (Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia, maka kalian harus memerintahkan kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah SWT.).” (QS Ali ‘Imran [3]: 110). Ayat ini berisi madh (pujian) kepada umat Nabi Muhammad saw. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, menyatakan, jika pujian (madh) tersebut berdampak pada tegak dan tidaknya hukum syariah, maka pujian (madh) ini mempunyai konotasi wajib. Pujian yang dialamatkan oleh Allah kepada umat ini, yang dipuji sebagai umat terbaik (khayra ummah) terkait dengan aktivitas mereka, yaitu amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah. Kita tahu, ketiganya merupakan pilar tegak dan tidaknya hukum Allah. Karena itu, ayat ini bukan hanya berisi pujian (madh), tetapi juga perintah tentang kewajiban dakwah.
Ini diperkuat oleh sabda Nabi saw. yang menyatakan, “Man ra’a minkum munkaran falyughayyirhu bi yadih, fa in lam yastati’ fa bilasanihi, fa in lam yastati’ fa biqalbihi wa dzalika adh’afu al-iman (Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Itu merupakan selemah-lemah iman).” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibn Majah dari Abu Said al-Khudri).
Selain tuntutan keimanan dan syariah, sebagaimana yang dinyatakan di atas, Allah mengingatkan, “Wattaqu fitnatan la tushibanna-ladzina zhalamu minkum khashshah (Takutlah kalian terhadap fitnah, yang tidak hanya akan menimpa orang zalim di antara kalian saja–tetapi juga orang yang tidak zalim).” (QS al-Anfal [8]: 25). Fitnah ditimbulkan oleh orang zalim karena kemaksiatan yang mereka lakukan. Pada saat seperti itu, kewajiban dakwah—amar makruf dan nahi munkar—memanggil kita. Panggilan ini berlaku untuk pribadi, jamaah dan negara karena seruan (khithab)-nya umum. Bahkan, di sana disertai ancaman, bahwa jika kita tidak melakukan apapun untuk mengubah kemaksiatan tersebut, maka kita pun akan terkena dampaknya meski kita tidak ikut melakukannya.
Inilah kondisi yang dialami oleh umat Islam saat ini. Di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim, dan negerinya memiliki kekayaan alam yang luar biasa ini, ternyata rakyatnya hidup miskin. Mereka semua menjadi korban dari kejahatan yang tidak mereka lakukan, tetapi dilakukan oleh orang lain. Mereka adalah para penguasa boneka yang menjadi antek negara-negara penjajah. Kesalahan mereka mungkin hanya satu, karena diam dan tidak berjuang untuk menghentikan kejahatan ini. Akibatnya, kondisi ini terus-menerus mendera mereka. Realitas ini menjadi bukti yang sahih, bahwa dakwah ini bukan hanya tuntutan keimanan dan kewajiban syariah, tetapi juga tanggung jawab kemanusiaan yang harus dipikul setiap orang.
Ustadz, jika dakwah itu sedemikian penting artinya semestinya menjadi pilihan hidup dan mendapat prioritas tinggi?
Iya. Dakwah seharusnya menjadi mainstream (arus utama) hidup kita. Adapun yang lain mengikuti arus utama ini. Itulah mengapa, ketika Nabi saw. mendapatkan wahyu pertama, surat al-‘Alaq, beliau langsung menyatakan kepada Khadijah, “La rahata ba’da al-yawma, ya Khadijah.. (Tidak ada lagi waktu berleha-leha setelah hari ini, wahai Khadijah).” Dalam riwayat lain dinyatakan, “Qad dha’a waqtu an-nawm, ya Khadijah (Waktu tidur telah hilang, wahai Khadijah).” Ini menunjukkan, bahwa prioritas dakwah ini telah menjadi prioritas hidup Nabi saw. hingga menyita seluruh waktu beliau.
Bagaimana tentang hal itu agar dakwah bisa menjadi pilihan hidup?
Ya, semuanya harus dikembalikan pada orientasi hidup kita. Semestinya, orientasi hidup kita adalah akhirat, karena perintah-Nya, “Wabtaghi fima ataka-Llahu dara al-akhirah.. (Carilah apa yang Allah berikan kepada dirimu untuk negeri akhirat)” (QS al-Qashash: 77). “Wa lalakhiratu khayrun laka min al-ula (Akhirat itu lebih baik bagi dirimu ketimbang dunia)” (QS ad-Dhuha: 4). Pada saat yang sama, karena kita hidup di dunia, maka kehidupan ini juga tidak boleh diabaikan, meski itu hanya alat atau sarana (al-wasail) menuju ke akhirat yang abadi dan lebih baik. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa ada arus utama (mainstream) dan bukan. Arus utama hidup kita adalah akhirat dan semuanya harus diarahkan ke sana. Yang lain harus mengikuti arus utama ini. Inilah yang menentukan ke mana arah hidup kita.
Jadi, apa sebetulnya yang dimaksud dengan dakwah sebagai pilihan hidup itu?
Maksudnya, menjadikan dakwah sebagai mainstream (arus utama) hidup kita.
Seperti apa gambarannya?
Menjadikan dakwah sebagai mainstream (arus utama), artinya semua urusan kehidupan kita yang lain, seperti bisnis, materi maupun yang lain menyesuaikan dengan kehidupan kita sebagai pengemban dakwah. Bukan sebaliknya. Seorang pengemban dakwah boleh saja mempunyai bisnis atau kehidupan pribadi, tetapi itu semua tidak menghalangi apalagi memalingkan dirinya dari orientasi utama hidupnya, akhirat.
Kadang kegalauan datang. Di satu sisi dakwah harus menjadi poros dan pilihan hidup. Di sisi lain juga dituntut untuk mencari penghasilan karena beban hidup makin berat, ditambah lagi gempuran propaganda kosumerisme dan gaya hidup begitu hebat. Bagaimana mengatasi kegalauan seperti itu?
Semuanya berpulang pada prinsip dan daya tahan kita. Semua orang mempunyai masalah dengan kadar dan tingkatan yang berbeda. Namun, bukan di situ masalahnya, karena semua orang pasti akan mengalaminya. Masalahnya justru terletak pada bagaimana sikap kita dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah itu. Ketika kita menentukan pilihan hidup untuk berdakwah, dan akhirat menjadi orientasi hidup kita, maka setiap konsekuensi yang menghampiri kehidupan kita harus bisa kita sikapi dengan benar. Misalnya, kadang kita mengalami kekurangan. Sebenarnya tidak ada masalah, asal kita bisa menyikapinya dengan benar. Kita tidak mengeluh, tidak meminjam kepada orang lain tetapi tidak jelas kapan bayarnya, tidak meminta-minta atau iri dengan nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Pada saat yang sama, kita terus berusaha untuk bisa hidup dengan kedua tangan dan kaki kita. Dengan cara seperti itu, Allah pasti akan memuliakan kita, meski secara materi kita kekurangan. Rasulullah saw. bersabda, “Man ista’affa, ‘affahu-Llah (Siapa saja yang berusaha menjaga kehormatan dirinya, dengan tidak meminta-minta, maka Allah akan memuliakannya).”
Jangan sampai seorang pengemban dakwah ini hidup pas-pasan atau bahkan miskin, pada saat yang sama tidak mempunyai harga diri. Kalau ini terjadi, maka ini bukan karena dia memilih berdakwah atau hidup miskin, tetapi salah dalam menyikapi pilihan hidupnya. Hal yang sama juga bisa terjadi pada orang yang memilih hidup kaya karena belum tentu kekayaan itu membuatnya terhormat. Semuanya tetap kembali pada sikap masing-masing dalam menghadapi pilihan hidupnya.
Kadang godaan itu datang dari sisi lain, misal berupa tuntutan keluarga atau kekhawatiran masa depan anak-anak; bisa juga dari tuntutan istri atau suami. Bagaimana mengatasinya?
Memang. Karena itu, selain faktor keyakinan, sikap yang benar, juga masalah memenej persoalan. Kita harus yakin, bahwa rezeki di tangan Allah. Kita harus yakin, bahwa kita tidak mati, sebelum rezeki kita sempurna. Kita harus yakin, bahwa setiap dari kita, semuanya sudah dijamin rezekinya oleh Allah SWT. Kita juga harus yakin, bahwa Allah memberikan anugerah-Nya yang berbeda-beda kepada kita, sesuai dengan kehendak-Nya. Kita harus yakin, bahwa dengan menolong Allah, pasti Allah akan menolong kita. Inilah faktor keyakinan. Keyakinan inilah yang membentuk sikap kita, yang membuat kita bisa bertahan. Selain itu, kita tetap harus bersabar dengan qadha’ Allah. Karena sering kita tidak sabar, kkhirnya, memaksakan diri (takalluf). Akibatnya, kita terjerumus dalam sikap yang salah, termasuk dalam memenej persoalan yang kita hadapi. Ketika belum mempunyai rumah, tidak mempunyai motor, atau memasukkan sekolah anaknya, lalu mengambil jalan pintas. Dengan alasan terpaksa. Padahal ini kembali pada sikap dan soal menejemen masalah.
Apa saja yang harus diwujudkan dalam aspek pemikiran dan pola sikap (nafsiyah) untuk memantapkan dakwah sebagai pilihan hidup?
Mempertebal keyakinan, tetap fokus pada orientasi hidup, yaitu akhirat, dan senantiasa memupuk nafsiyah dengan menghadirkan kehidupan Nabi saw. dan para Sahabat dalam kehidupanya. Di sinilah perlunya kita membaca sirah, bukan hanya produk jadinya. Kita membutuhkan sirah seolah kita terlibat dalam kehidupan mereka, menyelami dialog mereka, mempelajari bagaimana pergolakan batin mereka, suka dan duka mereka ketika berdakwah, hidup berkeluarga dan sebagainya. Ini penting, agar kita tetap mempunyai pegangan, dan tidak seolah-olah kita hidup sendiri, kemudian merasa seolah-olah hanya kita yang mempunyai problem seperti itu. Dengan begitu, kita akan merasa lebih tenang dan bijak dalam menyikapi dan memenej masalah yang kita hadapi.
Bagaimana kiat-kiat praktis untuk mewujudkan hal itu?
Terus belajar dan memperbaiki diri, termasuk terus-menerus membaca; mendengar dan merenungkan al-Quran, Hadis Nabi saw., serta perjalanan hidup Nabi saw. dan para Sahabat, serta orang-orang shalih. Sebagai contoh, dengan kita membaca kitab Musnad Fatimah, yang ditulis oleh Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, kita akan bisa merasakan bagaimana onak dan duri kehidupan Nabi saw., putri dan menantu tercintanya, Fatimah dan ‘Ali bin Abi Thalib; seolah kita hidup di tengah-tengah mereka. Tanpa terasa, kita akan berderai air mata, pada saat yang sama kita bisa menginsyafi sikap kita. Betapa manusia terbaik seperti mereka hidup begitu sederhana, bersahaja, tetapi jangan ditanya bagaimana kedudukan mereka di mata Allah SWT.
Kisah-kisah mereka selalu menginspirasi kita. Selain kisah-kisah hidup mereka, kita bisa menghapal ungkapan-ungkapan pendek yang penuh hikmah. Misalnya, ungkapan al-Bushiri dalam Qasidah Burdah-nya, mengatakan, “Kam hasanat ladzdzatan li al-mar’i qatilatan (Betapa banyak kebaikan itu memang menyenangkan, tetapi justru bisa menjadi pembunuh bagi seseorang).” Istri yang cantik, harta yang melim-pah, jabatan yang tinggi, termasuk nama beken adalah kebaikan yang menyenangkan, tetapi ini bisa menjadi “pembunuh” bagi kita—jika kita kehilangan orientasi. Semuanya itu bisa mem-buat kita terlena dan meninggalkan dakwah.
Demikian juga, ketika kita tengah ditimpa musibah, kita sering merasa lemah. Kita pun sering meratapi nasib kita. Di saat seperti itu, ungkapan Wazir ‘Ali bin Musa al-Jarrah, tepat untuk kita renungkan, “Musibatun qad wajaba ajruha khayrun min ni’matin la yu’adda syukruha (Musibah yang pahalanya sudah pasti lebih baik ketimbang nikmat yang tidak disyukuri).” Kita pun tersadarkan, bahwa nasib buruk yang kita alami justru lebih baik, karena pahalanya mengalir kepada kita. Kita pun tidak akan ditanya tentang musibah itu. Sebaliknya, nikmat yang kita terima, justru belum tentu menyelamatkan kita, karena itu akan dipersoalkan oleh Allah SWT.
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []