Dakwah bukanlah jalan tol yang bebas hambatan. Dakwah adalah jalan perjuangan yang terjal, namun di dalamnya banyak kemuliaan. Apalagi di era cengkeraman penjajahan Kapitalisme sudah demikian menggurita, tantangan dakwah terasa makin jelas. Tidak mengherankan apabila di sana-sini terdapat pengemban dakwah yang gugur di tengah jalan. Lantas, apa yang harus dilakukan?
Dakwah: Pilihan Hidup
Hal pertama yang penting dilakukan adalah pengokohan sikap bahwa dakwah ini merupakan pilihan dan poros kehidupan. Kita telah memilih dakwah sebagai poros kehidupan. Rasulullah saw. mencontohkan betapa dakwah menjadi poros hidup beliau. Ketika para pembesar Quraisy mendatangi pamannya untuk meminta beliau menghentikan aktivitas dakwah, beliau menyatakan dengan tegas, “Andai mereka dapat meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku menghentikan dakwah ini maka hingga Allah memenangkannya atau aku binasa di jalannya, aku tak akan meninggalkan dakwah ini.” (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, I/266).
Sejatinya, umat Islam menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan mereka. Dengan demikian rintangan, tantangan dan hambatan apapun di jalan dakwah akan disikapi sebagai bunga-bunga perjuangan.
Dakwah sangat urgen dan merupakan kewajiban. Tidak melakukan dakwah berarti meninggalkan kewajiban. Orang yang melakukan dakwah akan terpagari perilakunya. Dakwah akan membentuk diri pelakunya bertambah salih. Dakwah juga sangat urgen dalam membangun keluarga pejuang. Allah SWT memerintahkan kepada umat Nabi Muhammad saw. untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka (TQS at-Tahrim [66]: 6). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Rasulullah saw. melakukan dakwah pertama kali kepada istrinya, keponakannya, pembantunya dan kawan terdekatnya. Tanpa dakwah, Islam tidak akan tegak. Rasulullah saw. menyampaikan bahwa bila dakwah tidak dilakukan maka akan turun azab, doa tidak dikabulkan (HR Ahmad, at-Tirmidzi) serta umat dikuasai oleh orang zalim dan buruk (HR Abu Dawud). Berdasarkan hal ini jelas bahwa dakwah merupakan pilar kebaikan individu, keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan merupakan suatu keniscayaan.
Dakwah merupakan aktivitas besar untuk membangun peradaban agung. Pada sisi lain, kewajiban menafkahi, mendidik anak, dll pun harus dilakukan. Untuk memadukan hal tersebut diperlukan manajemen aktivitas kehidupan. Bahkan dakwah kadang harus mengerem yang lain untuk kepentingan yang lebih besar.
Mengatasi Tantangan
Tantangan dalam diri pengemban dakwah yang umumnya dirasakan dalam era Kapitalisme saat ini adalah masalah rezeki. Apalagi ketika melihat orang lain yang sebaya sudah banyak yang sukses dan mapan dari segi ekonomi. Anak-anak pun mulai besar sehingga membutuhkan biaya yang semakin besar. Hati kadang ciut. Namun, bagi seorang beriman, hal itu tidak menjadi penghambat dakwah. Mengapa? Sebab, dia meyakini bahwa rezeki itu dari Allah SWT. Dialah Yang memberikan rezeki kepada orang yang Dia kehendaki tanpa ada hitung-hitungan (TQS al-Baqarah [2]: 212; an-Nur [24]: 38). Kita semua tentu pernah mengalami saat rezeki datang tanpa disangka-sangka dan dari arah yang tidak terduga-duga. Tidak jarang, ada pengemban dakwah yang hidupnya biasa-biasa saja, tetapi dia mendapatkan rezeki sehingga bisa haji dan umrah. Ada juga pengemban dakwah kesulitan rumah, tiba-tiba ada yang meminjamkan rumahnya dengan gratis. Memang, ada juga kesulitan. Namun, bukankah Allah SWT telah menggariskan bahwa kesulitan selalu bergandengan dengan kemudahan?
Para Sahabat adalah contoh terbaik dalam hal ini. Salah satu contoh yang jelas adalah saat mereka berhijrah dari Makkah ke Madinah. Mereka tidak tahu kelak akan tinggal dimana, bisa bekerja atau tidak, makan apa, dsb. Namun, dengan dorongan iman dan ketaatan, mereka berangkat meninggalkan kampung halaman, handai taulan dan harta kekayaan. Demi ketaatan kaum Muhajirin rela hidup dalam kefakiran (TQS al-Hasyr [59]: 8). Lalu apa yang terjadi? Perjuangan mereka berbuah manis. Mereka tetap bisa makan, minum dan punya tempat tinggal, bahkan menjadi orang-orang pertama pendukung peradaban Islam di Madinah.
Sudah merupakan sunnatullâh, jalan dakwah itu terjal. Dulu para Sahabat ditimpa kesulitan yang luar biasa, kesempitan, bahaya dan berbagai peristiwa yang mengguncangkan. Begitu beratnya cobaan yang menimpa kaum beriman di jalan dakwah tersebut mereka bertanya kepada Nabi saw., “Kapan pertolongan Allah itu tiba, matâ nashrullâh?” Allah pun cukup menjawab dengan menyatakan, “Ingatlah, pertolongan Allah itu dekat.” (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 214. Para Sahabat pun bersabar dalam kondisi demikian. Mereka menyadari betul bahwa tidak ada sesuatu pun yang menimpa mereka kecuali hal tersebut terbaik dari Allah SWT bagi mereka sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat at-Taubah [9]: 51.
Oleh sebab itu, tidak ada rasa kekhawatiran dalam diri seorang pengemban dakwah mendapatkan perlakuan semena-mena oleh penguasanya, namun tidak berarti juga berlaga sombong menantang datangnya cobaan baginya. Dia berprinsip, ‘musuh jangan dicari; kalau ada, hadapi’, dan ‘kalau ingin selamat, ketika ada kemungkaran, hadapi dan jangan lari’.
Ubahlah pola pikir! Perkokoh keimanan bahwa rezeki dan kematian berasal dari Allah SWT. Sadarlah bahwa dakwah adalah poros kehidupan dan sangat urgen bagi diri, keluarga dan masyarakat. Lalu aktivitas dimenej sedemikian rupa hingga tantangan dakwah apapun akan disikapi secara proporsional. Pikiran pada waktu menghadapi tantangan itu pun tetap jernih. Insya Allah.
Mengundang Pertolongan Allah SWT
Selain mengubah pola pikir, tantangan dakwah dapat dihadapi dengan semakin dekat kepada Allah SWT. Pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah SWT akan menjadikan kita kekasih-Nya. Semakin kita mendekat kepada Allah, Dia pun semakin dekat kepada kita. Pada saat itulah pertolongan, bantuan dan kemudahan akan diberikan oleh Allah Rabbul ‘alamîn. Rasulullah saw. bersabda dalam salah satu hadis qudsi: Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada Diri-Ku. Aku bersama dia ketika dia mengingat Aku dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila ia mengingat Diri-Ku di dalam suatu forum maka Aku mengingat dirinya di dalam forum yang lebih baik daripada mereka. Apabila ia mendekat kepada Diri-Ku sejengkal maka Aku mendekat kepada dia sehasta. Apabila ia mendekat kepada Diri-Ku sehasta maka Aku mendekat kepada dia sedepa. Apabila ia mendekat kepada Diri-Ku sedepa maka Aku mendekat kepada dia semil. Apabila ia datang kepada Diri-Ku dengan berjalan maka Aku datang kepada dia dengan berlari.” (HR al-Bukhari).
Dengan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah berarti kita telah mengundang bantuan, pertolongan dan pemeliharaan dari Diri-Nya. Di antara taqarrub kepada Allah SWT adalah salat tahajud (salat malam). Abdullah bin Umar ra. sangat rajin dalam tahajud. Rasulullah saw. memuji beliau sebagai orang salih yang selalu melewati malam dengan shalat dan hanya sedikit tidur (HR al-Bukhari).
Baginda Rasulullah saw. juga bersabda, “Pada setiap malam Rabb kami tabaraka wa ta’ala turun (ke langit dunia) ketika tinggal sepertiga malam yang akhir. Ia berfirman, ‘Siapa saja yang berdoa kepada Diri-Ku, Aku akan memperkenankan doanya. Siapa saja yang meminta kepada Diri-Ku, Aku akan memngabul-kan permintaannya. Siapa meminta ampunan kepada Diri-Ku, Aku pun akan mengampuni dia.’” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pada saat tahajud inilah setiap orang bisa mengadukan kesulitan hidupnya kepada Allah SWT. Insya Allah, Allah akan memberi dia solusi.
Taqarrub kepada Allah juga dapat berupa shalat dhuha, membanyak zikir, berdoa, shaum sunnah, tilawah al-Quran dan banyak ber-muhasabah.
Pada sisi lain, tantangan dakwah akan dapat diatasi dengan sikap menerima apa yang ada (qana’ah), syukur, sabar dan tawakal. Sering orang tidak memahami bahwa sikap-sikap tersebut sebenarnya dapat mendatangkan solusi. Hanya saja, solusinya tidak langsung dari manusia, melainkan langsung dari Allah SWT sesuai dengan cara yang Dia kehendaki. Sebagai contoh, Allah SWT akan menambah kenikmatan bagi orang yang bersyukur (TQS Ibrahim [14]: 7). Artinya, semakin banyak bersyukur maka akan semakin banyak pula kenikmatan yang diperoleh.
Begitu juga ketika ada kesulitan dan tantangan, lalu dihadapi dengan penuh kesabaran. Dalam kesabaran, Allah akan memberikan bantuan sehingga kesulitan dan tantangan itu akan dapat diselesaikan. Memang, kalau menggunakan logika boleh jadi sulit dipahami, apa hubungan sabar dengan solusi. Padahal bukan sabar itu sendiri yang menjadi solusi, melainkan dalam keadaan sabar tersebut Allah SWT memberikan pertolongan-Nya. Pertolongan Allah SWT itulah yang menjadikan solusi itu datang. “Wahai, orang-orang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah bersama dengan orang yang sabar,” begitu makna firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 153.
Selain itu, dengan tawakal kepada Allah SWT berarti kita meyakini dan menyerahkan urusan untuk diselesaikan oleh Allah SWT, tanpa berpangku tangan. Allah pun telah berjanji kepada siapa saja yang bertawakal kepada Diri-Nya bahwa Dialah yang akan menyelesaikan persoalan yang dihadapi (TQS ath-Thalaq [65]: 3). Rasulullah saw. bersabda, “Andaikata kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, sungguh kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Di pagi hari keluar dalam keadaan perut kosong dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad).
Ketika bertawakal kepada Allah, menyerahkan urusan untuk diselesaikan oleh Allah SWT, sebagai seorang Muslim sudah selayaknya kita meyakini bahwa persoalan apapun yang dihadapi akan ada jalan keluar terbaik karena Allah Yang Mahagagah yang menyelesaikan persoalan tersebut.
Mengokohkan Tindakan
Sikap yang kokoh dan aktivitas ruhiah untuk mengundang pertolongan Allah SWT akan sempurna apabila diikuti dengan memperkokoh tindakan dalam dakwah. Di antara upaya untuk mengokohkan tindakan dalam dakwah adalah terus berdakwah bersama dengan jamaah dakwah. Kita perlu belajar dari lidi. Apabila lidi itu hanya satu atau dua, mudah sekali patah. Berbeda dengan itu, lidi yang diikat menjadi sapu lidi sangat kokoh dan tidak mudah dipatahkan. Begitu juga apabila dakwah hanya seorang diri. Oleh karena itu, kekokohan dakwah akan diperoleh dengan tidak keluar dari jamaah dakwah. Berkaitan dengan masalah ini, Rasulullah saw. bersabda, “Kalian harus berpegang pada jamaah dan menjauhi perpecahan. Sebab, sesungguhnya setan bersama dengan orang sendirian, dan lebih jauh terhadap orang yang berdua. Siapa saja yang menghendaki surga maka berpegang teguhlah pada jamaah. Siapa saja yang merasa senang dengan kebaikannya dan merasa buruk dengan kesalahannya maka ia adalah Mukmin.” (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).
Hal lain yang penting dilakukan adalah mempersiapkan keluarga (istri, anak) untuk sama-sama memahami pentingnya dakwah sebagai poros hidup. Dakwah merupakan proyek besar dan perjalanan panjang. Risiko pun bukan hanya sekadar dihadapi oleh pengembannya saja, melainkan juga oleh anak dan istrinya. Anak dan istri harus turut menanggung beban sosial dari masyarakat apabila suami dan ayahnya yang pengemban dakwah dicap negatif sebagai ‘garis keras’, misalnya. Mereka harusnya menjadi orang-orang pertama yang membela dakwah. Merekalah orang-orang pertama yang terus memompakan semangat perjuangan. Itulah yang dilakukan oleh Rasul dan para Sahabat. Khadijah ra. adalah istri Rasulullah saw. yang menghabiskan hartanya untuk mendukung dakwah suaminya. Dia orang yang beriman saat orang lain kufur kepada beliau, mencintai beliau ketika orang lain membenci beliau dan membela beliau saat kaum Quraisy berupaya untuk membunuh beliau. Yasir dan Sumayah adalah pasangan suami-istri yang berjuang di jalan Allah. Begitu juga Amar bin Yasir ra. Ia merupakan putra mereka yang menjadi sahabat dekat Rasulullah saw. Umar bin al-Khaththab adalah sahabat yang menjadi khalifah setelah Abu Bakar. Sementara itu, Abdullah bin Umar adalah anak beliau yang berjuang bersama beliau dan menjadi salah satu rujukan di kalangan sahabat. Dengan cara seperti itu, tantangan sebesar apapun akan dihadapi bersama oleh keluarga. Konsekuensinya, risiko yang dirasakan lebih ringan. Sebaliknya, tanpa mempersiapkan keluarga dalam satu barisan dakwah Islam, tantangan justru boleh jadi datang dari keluarga sendiri. Terkait masalah ini kita perlu banyak belajar meneladani prilaku Rasulullah saw., sahabat dan orang-orang shalih.
Last but not least, tantangan dakwah akan dapat diselesaikan dengan cara terus menjalankan karakter kepartaian dakwah (tabi’ah hizbiyah). Orang akan dapat merasakan manisnya gula apabila dia memakan gula tersebut. Tidak cukup sekedar diberi tahu bahwa rasa gula itu manis. Begitu juga dakwah. Dakwah akan terasa manis apabila aktivitas dakwah dilakukan. Untuk itu, proses pembinaan (halqah) harus dijalani dengan penuh antusias. Sikap para Sahabat dalam mengikuti pembinaan di Darul Arqam mencerminkan keseriusan dalam pembinaan. Begitu pula apabila ada seseorang tidak sempat mengikuti majelis Nabi saw. maka orang yang hadir akan menyampaikan isinya kepada mereka yang tidak hadir. Di samping menambah tsaqafah, halqah akan menjadikan ikatan dakwah makin erat. Meninggalkan halqah laksana membiarkan diri dimakan serigala.
Namun, halqah saja tidak cukup, not sufficient. Para Sahabat tidak hanya mengikuti kajian dengan Nabi saw. Mereka pun menyebarkan Islam yang telah mereka pahami itu kepada masyarakat dengan melakukan kontak. Dengan melakukan dakwah berarti kita menolong agama Allah SWT. Padahal siapapun yang menolong agama-Nya niscaya Dia akan memberikan pertolongan kepada dirinya (TQS Muhammad [47]: 7).
Pengorbanan pun harus terus dilakukan. Salah satu wujud pengorbanan itu adalah menginfakkan hartanya di jalan dakwah. Para Sahabat Nabi tidak segan mengeluarkan harta. Mereka menggemgam harta seperti menggemgam tanah. Sekadar contoh, suatu waktu Nabi Muhammad saw. mengirim utusan kepada Utsman bin Affan agar ia dapat membantu pasukan al-’usrah. Tanpa berpikir dua kali, Utsman menyerahkan uang senilai sepuluh ribu dinar (sekitar Rp 12,975 miliar) melalui utusan tersebut (diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi, Daruquthni, Abu Nu’aim, dan Ibnu Asakir; al-Muntakhab, V/ 12). Salman al-Farisi selalu menyisihkan sepertiga hasil usahanya untuk berinfak (Ibnu Sa’ad, IV/ 64). Betapa ringan para Sahabat dalam berinfak di jalan Islam.
Tanpa disadari, infak harta yang diberikan di jalan Allah SWT akan dibalas sebanyak tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Baqarah [2] ayat 261.
Ringkasnya, tantangan dakwah akan dapat diatasi dengan cara mengokohkan keimanan, mengundang pertolongan Allah SWT dengan cara ber-taqarrub kepada-Nya, serta melakukan aktivitas dakwah itu sendiri dengan penuh kesungguhan. Ketiga hal tersebut merupakan langkah praktis dalam menghadapi segala tantangan dakwah. Wallâhu a’lam. [Dr. M Rahmat Kurnia]