Dakwah politik (da’wah siyasiyah) artinya adalah mengemban dakwah Islam melalui jalan politik, yaitu dakwah dengan metode melakukan aktivitas politik (‘amal siyasi) (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 14). Aktivitas politik adalah segala aktivitas yang terkait dengan pengaturan urusan masyarakat (ri’ayah syu’un al-ummah), baik yang terkait dengan kekuasaan (as-sulthan) sebagai subyek (al-hakim) yang melakukan pe-ngaturan urusan masyarakat secara langsung, maupun yang terkait dengan umat sebagai obyek (al-mahkum) yang melakukan pengawa-san (muhasabah) terhadap aktivitas kekuasaan dalam mengatur urusan masyarakat (Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir, 2005, hlm. 5).
Jadi, dakwah politik yang dimaksudkan di sini bukanlah dakwah sebagai bagian aktivitas kekuasaan, melainkan sebagai aktivitas masyarakat, khususnya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, dakwah politik yang dilakukan kelompok-kelompok Islam ini intinya adalah muhasabah atau amar ma’ruf nahi munkar kepada kekuasaan. Dengan melakukan dakwah politik, berarti sebuah kelompok telah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar yang diwajibkan oleh Allah kepada umat Islam (QS Ali ‘Imran [3]: 104).
Bentuk dakwah politik bisa bermacam-macam. Misalnya melakukan perjuangan politik (al-kifah as-siyasi), seperti mengkritik penguasa yang menjadi pelayan kepentingan Barat, mengkritik kebijakan penguasa yang menjalankan agenda neoliberalisme, dan sebagainya. Contoh lainnya adalah melancar-kan perang pemikiran (as-shira’ al-fikri) seperti mengkritik demokrasi, kapitalisme, nasionalis-me, sosialisme dan ide-ide kufur lainnya. (Hazim ‘Ied Badar, Thariqah Hizbut Tahrir fi at-Taghyir, hlm. 2).
Perlu diberi catatan, bahwa dakwah politik tidak boleh menghalalkan segala cara, melainkan wajib berpegang teguh dengan syariah Islam. Maka dari itu, aktivitas kelompok atau partai Islam yang mengikuti Pemilu dalam sistem demokrasi-sekuler dengan meninggal-kan hukum-hukum syariah Islam tidak dapat disebut dakwah politik, melainkan hanya tindakan pragmatis yang justru sangat jauh dari Islam. Misalnya, sikap presiden baru Mesir, Muhammad Mursi, yang menyatakan tidak akan menerapkan syariah Islam dalam kekuasaannya, atau sikapnya yang tetap mempertahankan segala perjanjian internasional yang ada, termasuk Perjanjian Camp David yang melegitimasi negara Israel. Ini semua tentunya tidak termasuk aktivitas dakwah politik yang syar’i, melainkan hanya aktivitas politik pragmatis yang bertentangan dan bahkan mengkhianati nilai-nilai Islam.
Pentingnya Dakwah Politik
Dakwah politik penting untuk dilaksanakan oleh umat Islam, khususnya oleh kelompok-kelompok Islam saat ini. Mengapa? Ada dua alasan utama. Pertama: karena dakwah politik inilah yang dulu dicontohkan oleh Rasulullah saw. pada tahap dakwah beliau selama 13 tahun di Makkah. Rasulullah saw. waktu itu melakukan perjuangan politik (al-kifah as-siyasi) dengan mengecam para pemimpin Quraisy, membongkar kejahatan dan rencana mereka yang bertujuan untuk menghancurkan dakwah Islam yang dilaksanakan Rasulullah saw., dan sebagainya. Rasulullah saw. juga melakukan perang pemikiran (as-shira’ al-fikri) dengan menyerang ide-ide kufur, misalnya ide menyekutukan Allah (syirik), mencela penyem-bahan berhala, mencela kecurangan dalam menimbang dan menakar, mencela perbuatan membunuh anak-anak karena takut miskin, dan sebagainya (Lihat Al-Waie (Arab), No 305, Jumadil Akhir 1433/Mei 2012, hlm. 26-27; M. Husain Abdullah, At-Thariqah Asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah Al-Islamiyah, hlm. 82).
Dengan demikian, melaksanakan dakwah politik sesungguhnya adalah aktivitas meneladani Rasulullah saw. sebagai uswatun hasanah yang diwajibkan Islam atas kaum Muslim (QS Al Ahzab [33]: 21).
Kedua: karena dakwah politik inilah yang relevan dengan masalah utama (qadhiyah mashiriyah) umat Islam sekarang. Masalah utama umat adalah mengembalikan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT dengan jalan menegakkan kembali negara Khilafah, dengan cara mengangkat seorang khalifah (nashb al-khalifah) bagi kaum Muslim. Masalah utama umat ini dengan sendirinya menuntut aktivitas yang relevan pula, yaitu aktivitas politik (‘amal siyasi). Sebab, aktivitas menegakkan kembali Khilafah ini tiada lain adalah aktivitas politik, karena Khilafah adalah sebuah institusi politik. Mengangkat seorang khalifah (nashb al-khalifah) juga merupakan aktivitas politik, karena khalifah adalah pimpinan tertinggi institusi politik Islam tersebut. (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 14-15).
Konsekuensi Meninggalkan Dakwah Politik
Meninggalkan dakwah politik banyak konsekuensinya. Paling tidak ada 3 (tiga) konsekuensi penting. Pertama: umat Islam akan terabaikan dari masalah utamanya. Kelompok Islam yang meninggalkan dakwah politik, lalu memilih dakwah melalui jalan lain, misalnya aktivitas sosial kemasyarakatan, berarti mengabaikan masalah utama umat Islam. Meskipun jalan aktivitas sosial kemasyarakatan itu tetap terhitung amal yang salih (sesuai syariah Islam), misalnya membangun pesantren, rumah sakit, atau sekolah, semua tidak memiliki relevansi dengan masalah utama umat Islam, yaitu mengembalikan hukum yang diturunkan oleh Allah dengan jalan menegakkan kembali negara Khilafah. Aktivitas sosial kemasyarakatan itu juga tidak mungkin merealisasikan tujuan yang diwajibkan atas kaum Muslim tersebut (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 15).
Dengan demikian, konsekuensi meninggal-kan dakwah politik adalah akan menjauhkan umat Islam dari perjuangan hakiki yang seharusnya ditempuh untuk mengatasi masalah utama (qadhiyah mashiriyah). Umat Islam dapat terbius dan merasa puas karena merasa sudah mampu membangun pesantren, sudah mampu membangun banyak sekolah dan rumah sakit, dan seterusnya. Padahal pada waktu yang sama, umat justru lalai dari kewajiban suci nan agung yang mustinya mereka jalankan, yaitu melakukan dakwah politik yang relevan dengan masalah utama (qadhiyah mashiriyah) yang tengah dihadapi. Ringkasnya, meninggalkan dakwah politik akan membuat umat terlalaikan dari masalah utama mereka.
Seharusnya, mereka yang berkecimpung dalam aktivitas sosial kemasyarakatan tidak mengabaikan sama sekali aktivitas dakwah politik untuk mengembalikan Khilafah. Seorang pengajar pesantren, misalnya, pada waktu yang sama, seharusnya juga melakukan dakwah politik. Seraya tetap mengajar di pesantren, dia sebenarnya dapat berkiprah menjadi bagian kelompok Islam yang berjuang untuk menegakkan Khilafah. Ini tidak mustahil dan faktanya ada.
Kedua: umat Islam akan semakin lama mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat tiadanya Khilafah. Sudah jelas bahwa tiadanya Khilafah telah terbukti menimbulkan penderitaan umat dalam segala aspek kehidupan, baik aspek ideologi, politik, ekonomi, peradilan, budaya, hukum, pendidikan, pemikiran, maupun sosial. Jadi meninggalkan dakwah politik artinya adalah berkontribusi secara negatif dalam melestarikan penderitaan umat yang sangat dahsyat ini. Nau’zhu billah min dzalik (Lihat M. Shiddiq Al-Jawi, Malapetaka Akibat Hancurnya Khilafah, Bogor: Al-Azhar Press, 2004).
Ketiga: hal lain yang tak kalah penting, meninggalkan dakwah politik berarti akan menimbulkan dosa. Sebab, dakwah politik hukumnya wajib secara syar’i, karena dakwah politik inilah metode yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. pada periode Makkah dulu. Kendatipun hukum asalnya adalah fardhu kifayah, hukum fardhu kifayah ini sekarang sudah berubah menjadi fardhu ‘ain. Pasalnya, dengan orang-orang yang berjuang sekarang ternyata belum tercapai kecukupan (kifayah) untuk mewujudkan tujuan dakwah politik, yaitu tegaknya Khilafah. Sudah dimafhumi, meninggalkan kewajiban adalah dosa (Hazim ‘Ied Badar, Thariqah Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm. 4).
Allah SWT berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih (QS an-Nur [24] : 63).
Konsekuensi Menjalani Dakwah Politik
Menjalani dakwah politik akan menghadapi berbagai konsekuensinya. Menurut Syaikh M. Husain Abdullah dalam kitabnya At-Thariqah asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah al-Islamiyah, hlm. 86-92, setidaknya terdapat 4 (empat) konsekuensi. Pertama: dakwah politik akan menghadapi perlawanan dari penguasa sistem sekular yang menjadi antek-antek kafir penjajah. Mereka akan menggunakan berbagai cara dan sarana untuk menghancurkan dakwah politik yang ada. Menghadapi konsekuensi ini, para aktivis dakwah politik hendaknya tetap berpegang teguh dengan ideologi mereka, yaitu Islam, dan bersabar menghadapi segala tantangan dan cobaan yang ada. Mereka hendaknya juga tidak tergiur dengan segala rayuan (targhib), juga tidak gentar dengan segala ancaman (tarhib). Sikap seperti inilah yang ditunjukkan Rasulullah saw. dulu ketika menghadapi tantangan dakwah dari kaum Quraisy yang kafir.
Kedua: dakwah politik akan menghadapi serangan pemikiran asing yang disebarkan oleh berbagai institusi dari negara sekular yang ada seperti media massa, sekolah, dan perguruan tinggi. Contohnya saat ini ada program deradikalisasi yang sangat jahat yang landasan pemikirannya bukan Islam, melainkan ideologi kapitalisme-sekular yang kufur. Tujuan program deradikalisasi bukan hanya menyerang umat secara fisik, tetapi justru hendak menghancur-kan norma-norma ajaran Islam itu sendiri, seperti wajibnya Khilafah, syariah, dan jihad fi sabilillah.
Untuk menghadapinya, para aktivis dakwah politik hendaknya melakukan perang pemikiran (as-shira’ al-fikri), dengan cara menjelaskan kekeliruan ide kufur yang ada, seraya membandingkannya dengan ide Islam yang lurus, seperti meletakkan sesutu yang bengkok bersebelahan dengan sesuatu yang lurus. Dengan demikian umat akan dapat melihat perbedaan di antara keduanya seperti melihat sesuatu yang putih bersebelahan degan sesuatu yang hitam, sehingga umat akhirnya akan mendukung ideologi Islam dan menolak ideologi kapitalisme-sekular yang kufur.
Ketiga: dakwah politik dapat menimbulkan resiko terhadap kepentingan pribadi para aktivisnya. Mereka yang bergerak dalam dakwah politik dapat saja kehilangan pekerjaaannya, atau mengalami kerugian dalam bisnisnya karena mendapat hambatan dari berbagai pihak. Untuk menghadapinya, maka para aktivis dakwah politik harus memperkokoh akidahnya, misalnya memperkokoh pemahaman mereka tentang rezeki, ajal dan tawakal.
Keempat: ada kemungkinan pelaku dakwah politik terpengaruh oleh fakta buruk yang tengah menimpa umat. Misalnya, terlibat dalam aktivitas bisnis yang mengandung bunga bank (riba); atau terlibat dalam pergaulan bebas, pacaran, dan sebagainya. Para aktivis dakwah politik yang terjerumus dalam keburukan ini sedapat mungkin diselamatkan dan diajak kembali ke jalan yang benar. Jika tidak memungkinkan, merekalah yang harus diamputasi dari kelompok dakwah politik, agar keberadaan mereka tidak justru merusak dakwah politik dari dalam (M. Husain Abdullah, At-Thariqah asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah Al-Islamiyah, hlm. 86-92).
Keutamaan Dakwah Politik
Meski dakwah politik itu berat dan sungguh tidak mudah, di balik itu dakwah politik mempunyai keutamaan yang justru tidak sedikit. Mereka yang melaksanakannya insya Allah akan mendapat pahala yang agung (tsawab[un] ‘azhim) karena dianggap melakukan jihad yang paling utama (afdhal al-jihad). Kalaupun sampai mati dalam menjalankan dakwah politik, itu bukan mati konyol atau mati sia-sia, melainkan mati syahid yang sangat mulia di sisi Allah SWT. Insya Allah. Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ اْلجِهَادِ كَلِمَة حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Sesungguhnya termasuk sebesar-besarnya jihad adalah mengucapkan kalimat yang haq di sisi penguasa yang zalim.”
Rasulullah pun bersabda:
سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَة وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَه
Pemimpin para syuhada (pada Hari Kiamat nanti) adalah Hamzah ra. dan seseorang yang berdiri di hadapan imam yang zalim, lalu dia perintahkan imam itu berbuat baik dan dia larang dari yang munkar, lalu imam itu membunuh dirinya
WalLahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]