(Tafsir QS al-Fajr [89]: 1-5)
وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ * وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ * وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ * هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ *
Demi fajar; demi malam yang sepuluh; demi yang genap dan yang ganjil; dan demi malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal (QS al-Fajr [89]: 1-5).
Surat ini dinamakan al-Fajr, diambil dari kata pada ayat pertama. Surat ini terkategori sebagai Makiyyah.1 Bahkan menurut asy-Syaukani, tak ada perbedaan mengenai hal itu.2 Dalam mushaf, surat ini berada dalam urutan ke-89, setelah surat al-Ghasyiyah. Dalam surat sebelumnya, diterangkan tentang dua golongan manusia yang berbeda nasibnya di akhirat yakni: golongan yang wajahnya khâsyi’ah (tunduk terhina) dan yang wajahnya nâ’imah (berseri-seri). Masing-masing adalah golongan penghuni neraka dan penghuni surga. Kedua golongan tersebut kembali diberitakan dalam surat ini. Golongan kaum yang berbuat kerusakan dan melampaui batas diberitakan di awal surat ini. Diceritakan mengeni azab yang menimpa mereka tatkala di dunia. Adapun golongan penghuni surga diberitakan dalam akhir surat ini. Mereka dipanggil sebagai nafs[un] muthmainnah (jiwa yang tenang) untuk memasuki surga-Nya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wa al-Fajr (Demi fajar). Huruf al-wâwu di awal ayat ini merupakan wâwu al-qasam, yakni al-wâwu yang digunakan untuk menyatakan sumpah. Benda yang dijadikan sebagai al-muqsam bih adalah al-fajr. Menurut Ali, Ibnu ‘Abbas, Ikrimah, Mujahid dan as-Sudi, pengertian al-fajr di sini telah ma’ruf, yakni ash-shubh (waktu pagi).3 Dengan demikian fajar yang dimaksudkan adalah al-jins (menunjukkan jenis, mencakup semua fajr), bukan fajar pada hari tertentu.4 Penafsiran ini juga dipilih oleh az-Zamakhsyari, asy-Syaukani, as-Samarqandi, an-Nasafi dan az-Zuhaili. Bahkan menurut Ibnu ‘Athiyah, ini merupakan pendapat jumhur.5 Az-Zamakhsyari menuturkan bahwa sumpah dalam ayat ini sebagaimana sumpah Allah SWT dalam firman-Nya:
وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ
Demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing (QS at-Takwir [81]: 18).
Allah SWT juga berfirman:
وَالصُّبْحِ إِذَا أَسْفَرَ
Demi subuh apabila mulai terang (QS al-Muddatstsir [74]: 34).6
Ada juga yang memahami fajar tersebut menunjuk pada hari tertentu. Masruq, Muhammad bin Kaab dan Mujahid mengatakan bahwa fajar tersebut adalah fajar yawm an-nahr (hari penyembelihan hewan kurban, Idul Adha), yakni penutup dari malam yang sepuluh.7 Adh-Dhahak, as-Sudi dan al-Kalbi menafsirkan kata itu sebagai fajar pada Dzull-Hijjah. Alasannya, Alah SWT telah mengiringi hari-hari tersebut dengannya. Maka dari itu, Allah SWT berfirman: wa layâl ‘asyr (demi malam yang sepuluh), yakni malam-malam Dzulhijjah. Qatadah menafsirkan kata itu sebagai fajar pada bulan Muharram. Alasannya, pada fajar tersebutlah terbit tahun baru. 8 Selain penafsiran ini masih ada beberapa penafsiran lain yang dikemukakan para ulama.
Ayat berikutnya masih dilanjutkan dengan sumpah. Allah SWT berfirman: wa layâl[in] ‘asyr (demi malam yang sepuluh). Kata layâl merupakan bentuk jamak dari kata layl (malam). Menurut ar-Razi, penggunaan bentuk nakirah menunjukkan atas al-fadhîlah al-‘azhîmah (keutamaan yang besar).9
Ada beberapa penjelasan para mufassir tentang maksud dari malam yang sepuluh. Menurut Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid serta banyak ulama salaf dan khalaf, malam yang sepuluh tersebut adalah malam sepuluh bulan Dzulhijjah. Pendapat ini didasarkan pada hadis dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى الله مِنْ هَذِه الأَيَّامِ يعَْنِى أَيَّامَ الْعَشْ ر. قَالُوا يَا رَسُولَ الله وَلا الجِْهَادُ فِى سَبِيلِ الله قَالَ وَلا الجِْهَادُ فِى سَبِيلِ الله إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
Tidak ada suatu hari yang amal salih di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari itu, yakni hari sepuluh. Mereka bertanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Rasulullah menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan jiwa dan hartanya, dan tidak kembali sedikit pun dari yang dia bawa itu.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi).10
Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari, Ibnu Katsir dan as-Samarqandi.11
Ada pula yang menafsirkan frasa itu sebagai sepuluh hari pertama bulan Muharram. Sebagian lainnya memaknai frasa itu sebagai malam sepuluh dari pertama bulan Ramadhan, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abbas dalam suatu riwayat. Namun, karena ada hadis sahih yang dijadikan sandaran, maka pendapat pertama lebih tepat. Pendapat ini pula yang dipilih Ibnu Katsir.12 Selain hadis di atas, diriwayatkan pula dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِنَّ الْعَشْرَ عَشْرُ الأَضْحَى وَالْوِتْرَ يَوْمُ عَرَفَةَ وَالشَّفْعَ يَوْمُ النَّحْرِ
Sesungguhnya sepuluh adalah sepuluh Adha (Dzulhijjah), al-witr adalah Arafah, asy-syaf’ adalah hari penyembelihan hewan kurban (HR Ahmad).
Allah SWT berfirman: wa asy-syaf’ wa al-watr (demi yang genap dan yang ganjil). Secara bahasa, pengertian asy-syaf’ adalah az-zawj (sepasang, sejodoh).13 Diterangkan al-Qurthubi, asy-syaf’ berarti al-itsnân (dua), sedangkan al-watr atau al-witr bermakna al-fardu (satu, tidak ada pasangannya).14
Terdapat beberapa penjelasan para mufassir tentang maksud dari kata tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya, al-witr adalah Hari Arafah, karena jatuh tanggal sembilan. Adapun asy-syaf’ adalah hari penyembelihan kurban (Idul Adha), karena pada hari ke sepuluh. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas dan adh-Dhahhak.15
Hasan al-Bashri dan Zaid bin Aslam mengatakan bahwa semua makhluk adalah ganjil dan genap. Karena itu, Allah SWT bersumpah dengan semua makhluk-Nya itu.16
Mujahid, dalam suatu riwayat, mengatakan bahwa asy-syaf’ adalah az-zawj (berpasangan) dan al-watr adalah Allah SWT. Dari Abu Abdullah, Mujahid menegaskan, “Allah itu ganjil; Dia menciptakan laki-laki dan perempuan.” Dikatakan juga, semua yang diciptakan Allah itu berpasangan. Langit dan bumi, daratan dan lautan, jin dan manusia, matahari dan bulan. Ini sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah (QS adz-Dzariyat [51]: 49).17
Pendapat ini juga dikatakan oleh Masruq. Selain dalil dan contoh di atas, disebutkan pula beberapa ciptaan Allah yang berpasangan seperti iman dan kafir, petunjuk dan kesesatan, kebahagiaan dan kesengsaraan serta siang dan malam. Adapun Allah itu ganjil disebutkan dalam QS al-Ikhlas [112]: 1.18
Abu Bakar al-Wariq mengatakan bahwa asy-syaf’ adalah kontradiksi sifat makhluk, seperti mulia dan hina, kuasa dan lemah, kuat dan lemah, berilmu dan bodoh, melihat dan buta, hidup dan mati. Adapun al-watr khusus hanya sifat Allah yakni mulia dan tidak hina, kuasa dan tidak lemah, kuat dan tidak lemah, mengetahui dan tidak bodoh, hidup dan tidak mati.19
Abu al-‘Aliyah, ar-Rabi’ bin Anas dan lain-lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan asy-syaf’ wa al-watr adalah shalat: ada yang genap, yakni empat dan dua rakaat; ada juga yang ganjil, seperti magrib.20
Allah SWT berfirman: wa al-layl idzâ yasr (demi malam bila berlalu). Menurut sebagian besar mufassir, al-layl (malam) yang dimaksud di sini bukan malam tertentu, namun malam secara umum.21 Adapun pengertian yasr adalah yadzhab yanfaridh (pergi dan hilang). Demikian penjelasan Abu Hayyan al-Andalusi.22 Al-Baghawi juga memaknai kata itu dengan sâra wa dzahaba (berlalu dan pergi). Ini sebagaimana firman Allah SWT:
وَاللَّيْلِ إِذْ أَدْبَرَ
Demi malam ketika telah berlalu (QS al-Muddatstsir [74]: 33).23
Allah SWT kemudian berfirman: Hal fî dzâlika qasam li dzî hijr (Pada yang demikian itu terdapat sumpah [yang dapat diterima] oleh orang-orang yang berakal). Frasa hal fî dzâlika berarti fîmâ dzakartu (terhadap perkara yang disebut). Kata: qasam berarti muqna’ wa muktafâ (teryakinkan dan tercukupkan) dalam sumpah tersebut.24
Adapun pengertian al-hijr adalah al-‘aql (akal).25 Disebut demikian, menurut as-Zamakhsyari, an-Nasafi dan al-Baidhawi, karena akal itu yahjuru (menghalangi) dari kehancuran yang tidak seharusnya.26 Dikatakan juga oleh al-Baghawi bahwa akal disebut al-hijr karena yahjuru (menghalangi) pelakunya dari perbuatan yang tidak halal dan tidak selayaknya. Demikian pula disebut al-‘aql karena mengikat atau menahan dari perkara yang buruk. Disebut nuhâ karena nahâ (mencegah) dari perkara yang tidak selayaknya.27
Kalimat dalam ayat ini berbentuk istifhâm (kalimat tanya). Penggunaan kalimat tanya tersebut berguna sebagai at-ta’kîd (menguatkan, mengokohkan).28
Setelah disebutkan qasam beserta al-muqsam bih-nya, tidak disebutkan kalimat yang menjadi jawâb al-qasam.
Seputar Sumpah
Sebagaimana telah dipaparkan, surat ini diawali dengan banyak sumpah dengan menyebutkan benda-benda yang berbeda sebagai al-muqsam bih-nya. Penyebutan benda-benda sebagai obyek sumpah (al-muqsam bih) menunjukkan besar dan pentingnya semua benda tersebut. Karena itu patut bagi manusia memperhatikan dan merenungkannya.
Fakhruddin ar-Razi mengatakan bahwa semua benda tersebut memiliki faedah. Faedah tersebut bisa bersifat fâidah dîniyyah, seperti keberadaannya menjadi bukti kebenaran atas tauhid; bisa juga bersifat fâidah dunyawiyyah (bersifat duniawi) sehingga mengharuskan dorongan untuk bersyukur; atau bahkan kedua-duanya.29
Fajar, misalnya, menjadi tanda segera berakhirnya malam, terbitnya matahari, dan datangnya siang. Manusia, burung dan berbagai hewan lain mulai bertebaran mencari rezeki. Pada waktu itu pula, Allah SWT mewajibkan manusia shalat subuh. Shalat ini memiliki banyak keutamaan.
Diterangkan juga oleh Wahbah az-Zuhaili, al-fajr adalah waktu terbitnya cahaya pada pagi setiap hari untuk menyingkap tabir gelap, menampakkan cahaya; diikuti dengan persiapan dan bepergian untuk menunaikan berbagai kebutuhan, merealisasikan manfaat dan mencari rezeki.30
Demikian juga dengan malam yang sepuluh. Sebagaimana dijelaskan jumhurul ulama, malam yang dimaksudkan adalah malam sepuluh Dzulhiijjah. Malam tersebut diberitakan dalam hadis memiliki keutamaan amat besar. Amal salih yang dikerjakan pada malam itu melebihi jihad fi sabilillah.
Mengenai asy-syaf’ wa al-watr, secara bahasa berarti yang genap dan ganjil. Sebagaimana telah dipaparkan, banyak penafsiran tentang maksud kedua kata tersebut. Demikian pula dengan al-layl idzâ yasr (malam ketika telah berlalu). Semuanya menunjukkan keutamaan fakta yang dimaksud sekaligus menjadi bukti kebesaran dan keagungan Penciptanya, Allah SWT.
Di samping menunjukkan besarnya keutamaan semua benda yang dijadikan obyek; penggunaan sumpah, apalagi lebih dari sekali, menunjukkan besar dan pentingnya perkara yang hendak disumpahkan (al-muqsam ‘alayh). Dalam ayat ini ditegaskan, semua sumpah itu seharusnya mendatangkan pelajaran berharga bagi orang-orang yang berakal. Seolah dikatakan bahwa yang tidak mau menjadikannya sebagai pelajaran adalah orang-orang yang tidak berakal; setidaknya tidak mau menggunakan akanya dengan benar. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.[ Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964); az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 746; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 5 (Beirut: Dar Ihyâ‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 247; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 476
2 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 536.
3 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 381. Lihat juga al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 38.
4 Abu Hayyan al-Andalusi, Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 469.
5 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 536; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 746, as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 475; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1998), 637; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 476.
6 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 746.
7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 381.
8 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 536.
9 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 149.
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 381.
11 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 746; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 381; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 475.
12 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 381.
13 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 222.
14 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 39.
15 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 40; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 382.
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 382.
17 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 382.
18 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 247; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 40.
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 41; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 248,
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 383.
21 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 31, 150.
22 Abu Hayyan al-Andalusi, Bahr al-Muhîth, vol. 10, 470.
23 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 746; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 247.
24 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 248
25 Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 747; Abu Hayyan al-Andalusi, Bahr al-Muhîth, vol. 10), 467.
26 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 747; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl. vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1998), 309; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3.
27 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 248.
28 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 31, 151.
29 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 31, 148.
30 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 222.