Dakwah adalah pilihan hidup. Berkaitan dengan masalah ini, saya punya pengalaman pribadi yang tidak terlupakan. Pernah saya mengisi sebuah acara temu tokoh di Sulawesi Tengah. Banyak yang hadir ketika itu, sekitar 100 orang. Yang menarik, ada seorang tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut. Padahal beliau dalam keadaan sakit cukup parah. Jalannya pun harus dipapah. Hal ini mengundang ketertarikan saya sehingga saya ikut mengantarkan beliau sampai ke rumahnya. Dalam perjalanan, saya bertanya kepada beliau. “Pak Kiai, bolehkah saya bertanya tentang sesuatu yang sangat pribadi?” tanya saya.
Beliau menjawab pendek, “Silakan!”
Saya melanjutkan, “Kalau boleh saya tahu, apakah gerangan yang mendorong Pak Kiai hadir dalam acara ini sekalipun dalam kondisi sakit cukup parah seperti ini?”
Jawab beliau, “Saya melihat pertemuan ini penting. Jarang sekali pertemuan tokoh semacam ini.”
“Saya yakin ada dorongan tertentu yang membimbing pak Kiai datang,” ujar saya.
Beliau diam sejenak. Tidak lama kemudian beliau berkata lagi, “Saya terpanggil untuk terus membangkitkan umat Islam. Saya sudah berjual-beli dengan Allah SWT.”
Begitu perkataan beliau. Lalu sambil mata berkaca-kaca beliau membaca ayat yang maknanya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka dari itu, bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar (TQS at-Taubah [9]: 111).
Ada pula orang yang berbeda dengan itu. Seorang tokoh nasional selalu kalau bertemu dengan saya, atau sekadar lewat telepon genggam, mengatakan bahwa dakwah Hizbut Tahrir itu omong doang alias ‘omdo’.
Suatu waktu saya menyampaikan kepada beliau bahwa bicara itu harus dilihat dari realitasnya. Kalau tukang kuli bangunan, maka aktivitas dia seharusnya tidak banyak bicara. Dia harus banyak menggerakkan fisik. Bahaya sekali apabila tukang bangunan aktivitasnya malah banyak bicara. Bangunan bisa tidak jadi-jadi. Berbeda dengan guru. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau seorang guru dengan alasan jangan banyak bicara, dia diam saja. Pekerjaannya nulis atau memindah-mindahkan meja. Apa jadinya kalau guru aktivitasnya tidak bicara? Tentu, bicaranya seorang guru tidak bisa disebut omong doang. Begitu pula dengan dakwah. Mengemban dakwah itu harus banyak bicara. Bahkan bicara itu sering menjadi perkara yang ditakuti dan membawa perubahan. Aung San Suu Kyi ditakuti karena bicara. Soekarno ditakuti karena bicaranya. Bahkan junjungan alam Nabi Muhammad saw. ditakuti karena bicaranya. Lebih dari itu, perubahan pemahaman, kesadaran dan pencerahan diawali dari bicara. Banyak pengemban dakwah dijebloskan ke dalam penjara hanya karena kata-katanya. Bahkan Rasulullah saw. menegaskan bahwa jihad yang paling utama adalah kata-kata lurus di hadapan penguasa yang menyimpang (HR Ahmad dan ath-Thabrani). “Kata adalah senjata,” pungkas saya kepada tokoh tadi.
Terlepas dari itu semua, dakwah yang diterus ditapaki akan membuahkan hasil. Hanya saja, sering hasilnya bukan berwujud fisik seperti berapa banyak bangunan yang terbentuk, berapa banyak anggota parlemen yang jadi, dsb. Bahkan ada tokoh nasional lain yang bersikap miring. “HTI banyak melakukan kegiatan. Masif di mana-mana. Pasti mengeluarkan dana yang banyak. Jangan membuang uang dalam kemubaziran,” ungkapnya.
Beliau menyampaikan hal ini berulang-ulang. Apalagi kalau lewat SMS. Saya pernah katakan kepada beliau, “Kita wajib mengikuti metode dakwah Rasulullah. Beliau melakukan pembinaan (tatsqif), baik intensif maupun umum (jama’i). Lalu mereka yang terbina itu terus bergerak di tengah masyarakat sehingga terbentuklah kelompok dominan di masyarakat yang hanya ingin dihukumi oleh Islam. Mereka akan berjuang melakukan perubahan dan menuntut penerapan Islam. Ketika itu terjadi maka akan terjadi penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada kelompok yang memperjuang-kannya. Kegiatan-kegiatan itu adalah bagian dari pembinaan umum (tatsqif jama’i). Tentu keliru bila disebut mubazir.”
Salah satu hasil dari dakwah itu jelas terlihat. Dukungan terhadap syariah dan Khilafah terus bertambah. Semakin banyak tokoh dan masyarakat umum yang semakin berani menyatakan kebenaran. Acara Konferensi Tokoh Umat yang digelar di berbagai daerah berjalan sukses dan mendapatkan dukungan banyak kalangan. Kesan para tokoh pun hampir seragam: mendukung. Seorang tokoh yang hadir secara sengaja memberikan SMS, “Ustadz, ana kurang sehat, maaf sekali, ana pulang duluan. Salam buat teman-teman. Setuju Khilafah untuk sarana pelaksanaan seluruh ajaran Islam yang komprehensif. Tanpa Khilafah kita menjadi permainan musuh-musuh Islam terutama Zionis…”
Bahkan ada tokoh yang terus-terang mengatakan kepada saya, “Saya baru tahu, ternyata Hizbut Tahrir sudah sangat siap… Tinggal mempraktikkan saja…Bila besok berhasil diberi amanat kekuasaan oleh Allah SWT niscaya langsung dapat menjalankannya.”
Semua ini semakin menegaskan bahwa dakwah harus dijadikan poros dalam hidup. Jangan pernah terlena dengan celaan para pencela. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, siapa saja di antara kalian murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cintai dan mereka pun mencintai Dia; yang bersikap lemah-lembut terhadap orang Mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir; yang berjihad di jalan Allah; dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Mahatahu (TQS al-Maidah [5]: 54). [Muhammad Rahmat Kurnia]