Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-31
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إذَا عَمِلْته أَحَبَّنِي اللهُ، وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّك اللهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّك النَّاسُ
Sahal bin Sad ra. berkata: Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepada diriku perbuatan yang jika aku lakukan Allah mencintaiku, demikian pula manusia.” Rasul bersabda, “Zuhudlah di dunia, niscaya Allah mencintai dirimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia pun mencintai dirimu.” (HR Ibn Majah, Ibn Hiban, al-Hakim, ath-Thabarani, al-Baihaqi)
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Khalid bin Amru al-Qurasyi, dari Sufyan ats-Tsauri dari Abu Hazim, dari Sahal bin Saad. Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak menilai hadis ini sahih. Namun, as-Sakhawi di dalam Maqâshid al-Hasanah dan ash-Shan’ani dalam Subul as-Salâm menyatakan bahwa “Khalid bin Amru al-Qurasyi disepakati untuk ditinggalkan (riwayatnya) dan dia dinisbatkan pada pemalsuan.” Namun, hadis ini juga diriwayatkan dengan jalur lain diantaranya oleh al-Baihaqi dari Abu Qatadah dan Muhammad bin Katsir dari Sufyan ats-Tsauri. Selain itu Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah juga meriwayatkan hadis serupa dari Mujahid dari Anas meski dalam hal ini diperselisihkan apakah Mujahid mendengar hadis ini dari Anas, selain hadisnya dianggap mursal.
Imam an-Nawawi meriwayatkan hadis tersebut dalam Al-Arba’ûn sebagai hadis ke-31. Ia mengatakan, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dan yang lainnya dan hadis ini hasan.”
Al-‘Iraqi juga menilai hadis ini hasan.
Hadis ini mengandung dua wasiat Rasul saw. Pertama: zuhud di dunia dan itu menjadi kunci untuk meraih kecintaan Allah. Kedua: zuhud terhadap apa yang ada pada manusia dan itu menjad kunci untuk mendapatkan kecintaan manusia.
Secara bahasa menurut Ibn Duraid dalam Jumhurah al-Lughah, al-Jawhari dalam Ash-Shihâh fi al-Lughah, Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, Abu al-Baqa’ al-Kafwami dalam Kitâb Al-Kulliyât dan Zainuddin ar-Razi dalam Mukhtâr ash-Shihâh, zuhud artinya lawan dari menyukai (khilâf/dhiddu ar-raghbah). Menurut al-Jurjani, zuhud artinya meniggalkan kecenderungan pada sesuatu. Jika dikatakan zahada fî asy-syai’, menurut al-Munawi, artinya minimnya kesukaan terhadap sesuatu itu atau tidak menyukainya. Zuhud juga berarti sesuatu yang kecil yang tidak penting.
Dari semua itu secara bahasa zuhud di dunia artinya tidak atau minim suka pada dunia, tidak cenderung pada dunia dan menganggap dunia sebagai sesuatu yang kecil dan tidak penting. Hasilnya adalah mengambil dunia sedikit saja dan tidak terpaut hati dengan dunia. Di situlah secara istilah Murtadha az-Zubaidi menyatakan, “Guru kami menukil dari beberapa imam: yang paling shawab tentang zuhud adalah mengambil kecukupan minimal dari apa yang diyakini kehalalannya dan meninggalkan yang lebih dari itu karena Allah SWT.”
Mula Ali al-Qari mengartikan zuhud di dunia adalah meninggalkan keinginan terhadap dunia dan qana’ah dengan apa yang diberikan, bersikap tawaduk, tidak takabur dan tidak sombong. Hasilnya adalah meninggalkan pertemanan dengan harta dan kemewahan.
Imam at-Tirmidzi dan Ibn Majah menuturkan dari Abu Idris al-Khaulani (dalam riwayat Ahmad dari Abu Muslim al-Khaulani), “Zuhud di dunia itu bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud di dunia itu hendaknya apa yang ada di tanganmu tidak lebih engkau percayai (jadikan sandaran) daripada apa yang ada di tangan Allah; hendaknya pahala musibah jika sedang menimpa dirimu lebih engkau sukai daripada jika musibah itu tidak ditimpakan kepada dirimu.”
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Yunus bin Maysarah yang mengatakan, “Zuhud di dunia itu bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan dengan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud itu hendaknya apa yang ada di tangan Allah lebih engkau jadikan sandaran daripada apa yang ada di tanganmu; hendaklah kondisimu sedang ditimpa musibah dan ketika tidak ditimpa musibah adalah sama saja bagi dirimu; hendaklah pujian orang yang memuji dan yang mencela dirimu di dalam kebenaran adalah sama juga saja bagi dirimu.”
Jadi, zuhud itu bukan berarti mengasingkan diri meninggalkan dunia; bukan pula tidak mengambil dunia sama sekali atau mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Zuhud juga tidak identik dengan miskin. Orang kaya maupun miskin bisa menjadi zuhud. Sebab, zuhud adalah tidak terpautnya hati dengan dunia. Dunia tidak ada di dalam hati, tetapi ada di tangan yang kapan saja bisa dikeluarkan.
Bersikap zuhud di dunia artinya mengambil dunia untuk dinikmati sedikit (sekadarnya) saja. Ibarat seorang musafir, ia hanya mengambil dalam kadar yang mencukupi untuk bekal perjalanannya saja, tidak lebih. Itulah yang dipesankan oleh Rasul saw. kepada banyak sahabat. Salman ra. menuturkan:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَهِدَ إِلَيْنَا عَهْداً فَتَرَكْنَا مَا عَهِدَ إِلَيْنَا أَنْ يَكُونَ بُلْغَةُ أَحَدِنَا مِنَ الدُّنْيَا كَزَادِ الرَّاكِبِ
Rasulullah saw. berwasiat kepada kami agar kecukupan salah seorang kami dari dunia ini seperti bekal seseorang yang melakukan perjalanan (HR Ahmad).
Bagi orang zuhud, dunia hanyalah laksana tempat singgah dalam perjalanannya menuju akhirat. Dia tidak akan tinggal di situ dan menjadikan dunia sebagai tujuan. Dia hanya sedikit atau sekedarnya saja dari hal-hal duniawi yang diambil untuk dia nikmati. Hal-hal duniawi yang Allah berikan kepada dirinya dia jadikan alat untuk menuju akhirat. Dia menggunakan semua itu untuk mempercepat dan memperbesar peluang agar mendekat ke negeri impian, yaitu surga di akhirat kelak. Karena itu, meski zuhud itu hakikatnya ada di hati, penampakannya bisa terlihat seperti ringan berinfak bahkan tidak hitung-hitungan, tidak cinta dunia, tidak mengejar dunia, mudah melepaskan hal duniawi untuk meraih akhirat dan terutama hidupnya berputar mengikuti poros Islam dan dakwah. Allâhummarzuqnâ zuhd[an] fî ad-dunyâ. [Yahya Abdurrahman]