HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Jejak Politik Islam di Asia Tenggara

Minoritas Muslim di Asia Tenggara—seperti di Tahiland, Myanmar dan Filipina—termasuk jarang mendapat perhatian dunia. Padahal kehidupan Muslim Thailand, Muslim Myanmar dan Muslim Filipina tidak kalah mengenaskan dibandingkan dengan penderitaan umat Islam di Palestina dan Suriah.

Asia Tenggara merupakan kawasan yang disebut-sebut sebagai global epicenter of cultural diversity, yaitu kawasan dengan tingkat heterogenitas budaya yang sangat tinggi. Karena itu meski jumlah umat Islam sangat besar di kawasan ini, tetap tidak menjadi entitas dominan seperti di kawasan Timur Tengah. Sebagian umat Islam di Asia Tenggara hidup menjadi kalangan minoritas di negerinya.

Jika batas negara-bangsa digantikan dengan batasan ethno-religious, maka akan terbentuk sebuah busur panjang homogen yang menandakan identitas Muslim di Asia Tenggara yang terbentang dari Myanmar Barat Laut, Thailand Selatan, melalui semenanjung Malaysia, Sumatra, Jawa, area pantai Kalimantan, sampai kepulauan Sulu dan sebagian Mindanao di Filipina Selatan.

Realitas geopolitik menunjukkan penyebaran Islam di Asia Tenggara memiliki dua pola perkembangan. Pertama: Islam muncul sebagai agama mayoritas di beberapa wilayah Asia Tenggara seperti di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Kedua: Islam tumbuh sebagai kelompok minoritas di lingkungan yang mayoritasnya agama lain seperti di Thailand, Filipina dan Myanmar.
Sejarah Islam di Filipina, Thailand dan Myanmar

Islam masuk ke Asia Tenggara sejak abad ke-7 M yang disebarluaskan melalui medium kegiatan perdagangan. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di belahan dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklukan (futuhat). Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat Asia Tenggara, termasuk pula di Thailand, Filipina dan Myanmar.


1.         Thailand: Kesultanan Pattani.

Jumlah penduduk Muslim di Thailand hanya 5,5% dari keseluruhan penduduknya. Mereka tinggal di wilayah Selatan yang berbatasan dengan Malaysia. Mereka tersebar di empat propinsi yakni Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun.

Sampai tahun 1786 Pattani adalah kerajaan yang besar, karena menjadi pusat perdagangan penting Asia dan Eropa. Ajaran Hindu dan Budha banyak mewarnai praktik keseharian masyarakat di sana.

Islam hadir di Pattani antara abad ke-12 hingga 15 melalui aktivitas perdagangan. Perkembangan Islam semakin meningkat saat Kerajaan Pattani menyatakan dirinya sebagai Negara Islam pada tahun 1457.

Kerajaan Melayu Pattani mengalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan raja-raja perempuan (1584-1624). Pada masa itu Pattani telah muncul sebagai pusat perdagangan. Ijzerman, seorang pedagang Belanda, menyatakan bahwa Pattani adalah “pintu masuk” ke wilayah Cina selatan. Namun, Kerajaan Pattani mengalami kemerosotan, disebabkan oleh konflik perebutan kekuasaan antara sesama pewaris kerajaan. Intensitas perang saudara yang kerap terjadi menyebabkan situasi keamanan tidak terjamin sehingga Petani tidak lagi menjadi tumpuan pedagang. Hal ini terus berlanjut sampai abad ke-18.

Phraya Chakri, Raja Siam yang baru saja mengalahkan Burma di Ayuthia, menyerang dan menundukkan Pattani pada 1785. Setelah itu Kerajaan Pattani berada di bawah kendali kekuasaan Siam meskipun Kerajaan Pattani masih diberi otonomi untuk mengurus pemerintahannya sendiri.


2.         Filipina: Kesultanan Sulu dan Mindanao.

Di Filipina jumlah penduduk Muslim hanya sekitar 6% dari total jumlah penduduknya. Mereka menempati wilayah bagian selatan terutama di Kepulauan Mindanao dan Sulu yang dikenal dengan Propinsi Moro.

Pada masa lalu Mindanao adalah kerajaan merdeka. Kemudian pada akhir abad ke -13 para pedagang Arab datang bersamaan dengan datangnya mereka ke Siam (Thailand).  Sejak saat itu Islam berkembang dengan baik dan pada akhir abad ke-14 di Mindanao telah berdiri Kesultanan Islam.

Sulu juga merupakan daerah kepulauan yang berada di bagian selatan Filipina. Kota ini merupakan jalur perdagangan dan menjadi salah satu kekuatan politik pada abad ke 15. Seperti halnya Mindanao, Islam masuk dan berkembang di Sulu melalui orang Arab yang melewati jalur perdagangan Malaka, Borneo dan Filipina. Pembawa Islam di Sulu adalah Syarif Karim al-Makdum, mubalig Arab yang ahli dalam ilmu pengobatan. Abu Bakar, seorang dai dari Arab, menikah dengan putri Pangeran Bwanas dan kemudian memerintah di Sulu dengan mengangkat dirinya sebagai sultan.

Para penguasa Kesultanan Sulu di Filipina Selatan yang di mulai sejak Syarif Abu Bakar atau Sultan Syarif al-Hasyim (1405-1420 M) hingga Sultan Jamalul Kiram II (1887) berjumlah 32 sultan.

Tahun 1565 Spanyol mendarat di Mindanao dan Sulu. Mereka menyerang Kesultanan Islam hingga 350 tahun lamanya. Walaupun demikian, Spanyol tidak pernah berhasil menguasai Kesultanan Islam.

Setelah Spanyol kalah dalam Perang Dunia kedua melawan Amerika Serikat tahun 1898, Filipina diserahkan kepada Amerika Serikat. Wilayah Mindanao dan Sulu yang tidak pernah dikuasai oleh Spanyol ikut pula diserahkan ke AS. Masyarakat Islam di sana berontak melawan pendudukan Amerika. Akhirnya, pada 20 Agustus 1899, Sultan Sulu menandatangani perdamaian dengan Amerika. Namun kemudian, tahun 1902, AS menciptakan Propinsi Moro yang meliputi Mindanao dan Sulu. Sejak saat itu wilayah Filipina Selatan dikontrol langsung oleh Manila.


3.         Myanmar: Kesultanan Arakan.

Jumlah Muslim di Myanmar paling besar dibandingkan dengan di Filipina dan Thailand. Jumlahnya mencapai 15% yakni sekitar 7 juta jiwa. Setengah dari jumlah Muslim Myanmar tersebut berasal dari Arakan, suatu propinsi di barat laut Myanmar. Di sebelah utara, wilayah Arakan berbatasan dengan Bangladesh sepanjang 170 km. Di sebelah barat berbatasan dengan pantai, yakni Laut Andaman.

Semula Arakan bernama Rohang. Masyarakatnya disebut Rohingya. Pada 1430 Rohingya menjadi kesultanan Islam yang didirikan oleh Sultan Sulaiman Syah dengan bantuan masyarakat Muslim di Bengal (sekarang Bangladesh). Kemudian nama Rohingya diganti menjadi Arakan (bentuk jamak dari kata Arab ‘rukun’ yang berarti tiang/pokok) untuk menegaskan identitas keislaman mereka.

Islam mulai datang ke negeri Burma (Myanmar sekarang) ini di mulai sejak awal hadirnya Islam, yakni abad ke-7 saat daerah Arakan telah banyak disinggahi oleh para pedagang Arab. Arakan merupakan tempat terkenal bagi para pelaut Arab, Moor, Turki, Moghuls, Asia Tengah dan Bengal yang datang sebagai pedagang, prajurit dan ulama. Mereka melalui jalur darat dan laut.

Pendatang tersebut banyak yang tinggal di Arakan dan bercampur dengan penduduk setempat. Percampuran suku tersebut terbentuk suku baru, yaitu suku Rohingya. Oleh karena itu, Muslim Rohingya yang menetap di Arakan sudah ada sejak abad ke-7.         Para pedagang yang singgah di pantai pesisir Burma mulai menggunakan pesisir pantai dari Negara Burma (Myanmar) sebagai pusat persingahan dan juga dapat dijadikan sebagai sebuah tempat reparasi kapal. Dapat diketahui bahwa Islam mulai masuk ke Burma dibawa oleh para pedagang Muslim yang singgah di pesisir pantai Burma. Pada masa kekuasaan perdagangan Muslim di Asia Tenggara mencapai puncaknya, hingga sekitar abad ke-17, kota-kota di pesisir Burma, lewat Koneksi kaum Muslim, masuk ke dalam jaringan dagang kaum Muslim yang lebih luas. Mereka tidak hanya aktif di bidang perdagangan, melainkan juga dalam pembuatan dan perawatan kapal. Pada abad ke-17 sebagian besar propinsi yang terletak di jalur perdagangan dari Mergui sampai Ayutthaya praktis dipimpin oleh gubernur Muslim dengan para administrator tingginya yang juga Muslim.
Geostrategi Dakwah Islam Melalui Jalur Perdagangan Asia Tenggara

Penyebaran dakwah Islam melalui aktivitas perdagangan (tanpa peperangan) bukan berarti menunjukkan aktivitas tersebut tidak politis atau tidak terorganisir. Istilah ‘pedagang Arab’ yang sering digunakan dalam literatur sejarah seolah mengesankan penyebaran Islam yang terjadi hanya secara perorangan dan sporadis.

Hubungan kaum Muslim Melayu Asia Tenggara dengan Ulama Timur Tengah sesungguhnya telah terjalin sejak masa awal-awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia dan Anak benua India yang mendatangi Asia Tenggara tidak hanya berdagang, tetapi juga membawa misi tertentu untuk menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.

Meski cukup sulit dibuktikan secara ilmiah, dalam perspektif geopolitik kita akan mudah melihat bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara tidak terjadi secara sporadis, melainkan terencana dan berkesinambungan.

Jika dilihat lebih jeli peta sebaran umat Islam di Asia Tenggara, maka kita akan mendapati hampir semua titik-titik kekuatan umat Islam di Asia Tenggara memiliki nilai geopolitik yang sangat strategis. Posisi Kesultanan Arakan yang berada di Teluk Benggala merupakan garis pantai yang sangat penting dalam jalur perdagangan dunia sampai hari ini. Posisi Kesultanan Pattani terletak di Tanah Genting Kra, sebuah jembatan darat sempit yang menghubungkan Semenanjung Melayu dengan daratan Asia, yang juga merupakan akses terdekat ke Laut Cina Selatan. Begitu juga letak kepulauan Sulu dan Mindanao yang  tidak kalah strategisnya.

Tentu muncul pertanyaan, apakah mungkin ini terjadi secara sporadis? Semua ini disebabkan penyebaran Islam di Asia Tenggara di-drive secara terintegrasi pada jalur-jalur perdagangan maritim dalam waktu yang lama dan berkesinambungan yang melibatkan semua unsur umat Islam baik itu ulama, penguasa bahkan rakyat biasa.

Perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional yang terbentang jauh dari Teluk Persia sampai Cina melalui Selat Malaka itu kelihatan sejalan pula dengan muncul dan berkembangnya kekuasaan besar, yaitu Cina di bawah Dinasti Tang (618-907), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14) dan Khilafah Umayyah (660-749). Mulai abad ke-7 dan ke-8 (abad ke-1 dan ke-2 H), orang Muslim Persia dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan sampai ke negeri Cina.

Ini merupakan bukti bahwa masyarakat Islam yang sering diilustrasikan sebagai “pedagang Arab” dalam ilmu sejarah adalah mereka yang memiliki kesadaran geografis tinggi; suatu masyarakat yang biasa diistilahkan sebagai spatially enabled society. Begitu pun negara/kepala negara yang ideal adalah yang memiliki visi geopolitik dikenal dengan istilah spatially enabled government. Kombinasi kesadaran antara dua pihak ini didukung oleh sebuah peradaban Islam yang tinggi, yang tentu sangat dipengaruhi oleh kekuatan ideologinya.
Visi Politik Islam: Sumbu Kesadaran Geopolitik

Allah SWT berfirman (yang artinya): Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (TQS al-Anbiya’ [29]:107).

Rasulullah saw. bersabda, “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya. Aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepada diriku.” (HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

Ayat dan hadis ini merupakan refleksi visi politik Islam yang luhur sekaligus perintah bagi kaum Muslim untuk memiliki kesadaran geopolitik yang luas tanpa batas dan sekat. Karena itu, umat Islam wajib menegakkan Islam bagi seluruh umat manusia di dunia yang berada di seluruh penjuru bumi ini. Umat Islam mempunyai tugas mengemban dakwah Islam kepada seluruh manusia. Mereka harus melakukan kontak dengan dunia dengan menyadari keadaan-keadaannya, memahami problem-problemnya, mengetahui motif-motif politik berbagai negara dan bangsa serta mengikuti aktivitas-aktivitas politik yang terjadi di dunia.

Rasulullah saw. adalah suri teladan terbaik dalam penguasaan geopolitik. Hal ini beliau tunjukkan sejak tahun-tahun pertama berdirinya Negara Islam di Madinah. Sadar bahwa kekuatan ekonomi Makkah masih lebih besar dibandingkan dengan Negara Islam di Madinah, Rasul saw. memulai langkah dari hal yang paling strategis, yakni melalui pemetaan jalur perdagangan Makkah ke Syam. Dalam kitab Sirah-nya, Al-Mubarakfuri menuturkan strategi yang diterapkan Rasulullah saw. adalah terlebih dulu melemahkan kekuatan ekonomi Quraisy dengan menguasai jalur perdagangan Makkah-Syam. Caranya, pasukan Muslim mengadakan perjanjian persekutuan atau perjanjian untuk tidak memusuhi kabilah-kabilah yang tinggal di sekitar jalur tersebut. Dilakukan pula ekspedisi-ekspedisi militer secara bergantian ke jalur tersebut. Ekspedisi militer itu bertujuan mengenalkan kaum Muslim pada medan di sekeliling Madinah. Misi lainnya, membangun citra kepada orang-orang Yahudi dan Arab Badui sekitar bahwa kaum Muslim telah memiliki kekuatan. Ternyata berbagai manuver geopolitik-geostrategis ini berjalan efektif menciptakan suasana perang urat syaraf sehingga menimbulkan rasa gentar pada kaum Qurays kala itu.

Kesadaran yang besar akan potensi geopolitik terus berlanjut pada estafet peradaban Islam berikutnya. Visi geopolitik terpancar dengan kuat dari para pemimpinnya sekaligus juga rakyatnya. Misi mulia pembebasan manusia melalui dakwah dan jihad melahirkan sosok-sosok seperti Muhammad al-Fatih sang penakluk Konstantinopel, juga Thariq bin Ziyad sang penyeberang Selat Gibraltar.


*Fika M. Komara: Member of Women Section, Southeast Asia, Central Media Office, Hizbut Tahrir

Referensi:

Dr. H. Saifullah, SA. MA, Sejarah dan Kebudayaan Islam Di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Seri Penelitian PPW-LIPI, Problematika minoritas Muslim di Asia Tenggara: Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya. (Jakarta: Puslitbang Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana, cet-2, 2005.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*