Tafsir QS al-Fajr [89]: 6-13
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ * إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ * الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلادِ * وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ * وَفِرْعَوْنَ ذِي الأوْتَادِ * الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلادِ * فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ * فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ *
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad, yaitu penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri lain; terhadap kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah; dan terhadap kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (QS al-Fajr [89]: 6-13).
Dalam ayat sebelumnya, Allah SWT menyampaikan sumpah beberapa kali dengan muqsam bih (obyek yang dijadikan sebagai sumpah) yang berbeda-beda. Allah SWT bersumpah dengan al-fajr (fajar); layâlin ‘asyr (malam yang sepuluh); asy-syaf’ wa al-watr (yang genap dan yang ganjil); dan al-layl idza yasr (malam bila berlalu).
Banyaknya kata sumpah pada awal surat ini makin menegaskan kepastian terjadinya perkara yang disumpahkan, yakni azab terhadap orang kafir. Kepastian itu makin kuat, dengan firman Allah SWT, “Hal fî dzâlika qasam li dzi hijr (Pada yang demikian itu terdapat sumpah yang dapat diterima oleh orang-orang yang berakal) (QS al-Fajr [89]: 5),” setelah menyampaikan sumpah-sumpah itu.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Alam tara kayfa fa’ala Rabbuka bi ‘Âd (Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad). Khithab (seruan) ayat ini ditujukan kepada Nabi saw. tetapi berlaku umum untuk setiap orang.1 Huruf hamzah di awal kalimat merupakan istifhâm, sedangkan kata lam bermakna nafiyy. Susunan dua kata tersebut memberikan makna istifhâm taqrîri, yakni kalimat tanya yang memberikan makna penegasan. Penggunaan uslub istifhâm taqrîri menunjukkan bahwa peristiwa yang disebutkan dalam ayat-ayat ini bukan perkara asing bagi bangsa Arab. Peristiwa yang melibatkan tiga kaum itu (‘Ad, Tsamud dan Fir’aun) beserta para pengikutnya telah masyhur bagi mereka.
Kaum ‘Ad dan Tsamud tinggal di negeri Arab. Peristiwa tentang kehancuran kedua kaum itu mereka dengar secara mutawatir dari generasi ke generasi. Al-Quran juga memberitakan, puing-puing kehancuran kedua kaum itu telah mereka ketahui dengan jelas (lihat QS al-‘Ankabut [29]: 38).
Adapun berita tentang kebinasaan Fir’aun beserta tentaranya mereka peroleh dari tetangga mereka, orang-orang Ahlul Kitab. Negeri Fir’aun pun berdekatan dengan negeri mereka. Demikian masyhurnya berita tentang kehancuran bangsa-bangsa itu seolah-olah mereka menyaksikan sendiri kejadian tersebut sehingga dinyatakan: alam tara (tidakkah kamu tidak melihat). Ditegaskan ar-Razi, khabar mutawatir menghasilkan al-‘ilm adh-dharûri (pengetahuan). Al-‘lm adh-dharûri setara dengan ar-ru’yah (penglihatan) dari aspek kekuatan, kejelasan dan jauhnya dari syubhat. Oleh karena dalam ayat ini dikatakan: alam tara (tidakkah kamu melihat), yang berarti alam ta’lam (tidakkah kamu mengetahui).2
‘Âd adalah nama satu kabilah Arab pada masa dulu. Mereka hidup setelah lenyapnya kaum Nabi Nuh as. Kepada mereka, Allah SWT mengutus Nabi Hud as. (lihat QS al-A’raf [7]: 65). Menurut para mufassir, ‘Ad adalah ‘Ad bin Aush bin Iram bin Sam bin Nuh as. Kemudian nama tersebut dijadikan sebagai nama bagi kabilah keturunannya. Hal ini seperti Bani Hasyim disebut dengan Hasyim atau Bani Tamim disebut dengan Tamim.3
Lalu disebutkan: Iram dzât al-‘imâd ([yaitu] penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi). Iram (nama kakek mereka) dalam ayat itu berkedudukan sebagai badal atau athaf al-bayân;4 bahwa kaum ‘Ad yang dimaksud ayat ini adalah ‘Âd al-ûlâ (kaum ‘Ad generasi pertama) yang juga dikenal dengan sebutan Iram; bukan kaum ‘Âd al-akhîrah yang hidup setelah itu.5 Hal ini juga ditegaskan dalam QS al-Najm [53]: 50.
Ada pula mufassir yang menafsirkan Iram sebagai nama negeri kaum ‘Ad sehingga kata iram dalam ayat tersebut berkedudukan sebagai mudhâf ilayh. Akan tetapi, mudhâf-nya dihilangkan dan taqdîr-nya: Âd ahl Iram (‘Ad penduduk negeri Iram).6 Negeri itu terletak di sebelah selatan Jazirah Arab, tepatnya antara Amman dan Hadhramaut, yang juga dikenal dengan sebutan Ahqaf.7
Secara bahasa, kata al-‘imâd berarti bangunan yang tinggi.8 Jika dipahami dengan makna haqîqî, berarti mereka memiliki bangunan-bangunan yang tinggi.9 Makna ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS asy-Syu’ara’ [26]: 128-129).
Bisa pula kata dzât al-‘imâd merupakan kinayah untuk menunjukkan perawakan dan tubuh mereka yang tinggi seperti tiang.10 Laksana tiang, tubuh mereka juga kuat dan perkasa (lihat: QS al-A’raf [7]: 69).
Kemudian Allah SWT berfirman: al-Latî lam yukhlaq mitsluhâ fî al-bilâd. Menurut sebagian mufassir, kata allatî kembali pada kota yang memiliki bangunan-bangunan tinggi.11 Namun pendapat ini ditolak oleh mufassir lainnya. Jika kembali pada kota, kata yang digunakan semestinya bukan lam yukhlaq (belum pernah diciptakan), namun lam yu’mal (belum pernah dibuat).12 Menurut mereka, kata al-lati kembali pada kabilah. Dengan demikian sifat tersebut merupakan sifat dari kabilah itu sendiri. Maknanya: Belum pernah diciptakan kabilah seperti mereka dalam hal ketinggian, kekuatan dan kebesaran tubuhnya.13 Tampaknya, pendapat kedua ini lebih tepat.
Selanjutnya Allah SWT berfirman: wa Tsamûd al-ladzi jâbû ash-shakhr bi al-wâd (kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah). Kaum Tsamud adalah kaum Nabi Shalih as. (lihat QS al-A’raf [7] 73). Mereka hidup setelah kaum ‘Ad dibinasakan (QS al-A’raf [7]: 74) dan tinggal di daerah Hijr (QS al-Hijr [15]: 80), sebuah daerah yang berada di antara Hijaz dan Tabuk.14 Dalam ayat itu dikisahkan, mereka memotong batu-batu yang keras di wadi, yakni di Wadî al-Qurrâ. Mereka melakukan itu untuk membangun gedung-gedung tempat tinggal mereka (lihat: QS al-A’raf [7]: 74).
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wa Fir’aun dzî al-awtâd (dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak [tentara yang banyak]). Fir’aun yang dimaksud dalam ayat ini adalah penguasa Mesir pada masa Nabi Musa as. Adapun kata awtâd berarti pasak. Muhammad Azzah memahaminya dengan makna hakiki; awtâd adalah bangunan-bangunan piramid yang besar dan kokoh yang ada di Mesir.15 Namun, Ibnu Abbas tidak memaknai secara hakiki. Menurut Ibn Abbas, yang dimaksud dengan awtâd adalah tentara dan pasukan yang dimiliki Fir’aun. Sebab, keberadaan para tentara itu dapat menopang dan mengokohan kekuasaannya.16
Jika dicermati, ada kesamaan di antara ketiga kaum tersebut. Mereka semua adalah kaum yang besar dan kuat. Terhadap karunia Allah SWT itu, sikap mereka pun sama. Anugerah itu tidak membuat mereka menjadi hamba Allah yang bersyukur dan taat pada syariah-Nya. Sebaliknya, justru mereka menjadi kaum yang arogan dan suka membangkang perintah-Nya.
Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: al-ladzîna thagaw fî al-bilâd (yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri). Kata alladzîna merujuk kepada ketiga kaum yang disebutkan sebelumnya: ‘Ad, Tsamud dan Fir’aun. Ketiga-tiganya melakukan pembangkangan dan tindakan melampaui batas. Secara bahasa, kata at-tughyân berarti tindakan melampaui batas.17
Kemudian ditegaskan lagi dalam firman Allah SWT: Fa aktsarû fihâ al-fasâd (lalu mereka berbuat kerusakan dalam negeri itu). Fasâd adalah kebalikan dari ash-shalâh. Sebagaimana kata shalâh yang meliputi semua bentuk kebajikan, kata fasâd juga mencakup semua perbuatan dosa.18 Sikap mendustakan rasul, mengingkari risalahnya, dan membangkang dari seruan dakwah yang dilakukan oleh ketiga kaum itu, jelas dapat diketagorikan sebagai perbuatan fasâd. Dikatakan juga oleh Ibnu Katsir, bahwa kerusakan yang mereka lakukan adalah sikap kufur dan maksiat kepada Allah, dan bersikap zalim terhadap manusia.19
Dalam ayat ini tidak dijelaskan secara rinci mengenai mengenai tindakan melampaui batas yang mereka lakukan. Tindakan jahat dan kerusakan mereka banyak dijelaskan dalam ayat-ayat lain (terkait kaum ‘Ad, lihat, misalnya: QS Fushilat [41]: 15). Mereka juga mengingkari Nabi Hud as. dan risalahnya. Mereka bahkan menghinanya. Mereka menyebut utusan Allah itu sebagai orang gila (QS Hud [11]: 54) dan mengecamnya sebagi pendusta (QS al-A’raf [7]: 67). Peringatan yang disampaikan Nabi Hud as. tak mereka hiraukan. Bahkan mereka menantang agar azab didatangkan (lihat: QS al-A’raf [7]: 70).
Sikap serupa juga dilakukan kaum Tsamud. Mereka menolak untuk beriman kepada Nabi Shalih as,. dan risalahnya. Bahkan mereka menuduhnya sebagai orang yang terkena sihir (QS asy-Syu’ara [26]: 153). Mereka bahkan bersikap lancang dengan membunuh unta Nabi Shalih as. yang menjadi bukti kenabiannya, selain merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Shalih as. dan keluarganya (QS al-Naml [27]: 49). Mereka menganggap sepi ancaman azab yang disampaikan Nabi Shalih as. Bahkan mereka menantang agar azab didatangkan; seolah dengan kekuatan yang mereka miliki, mereka mampu menghadapi azab Allah (lihat: QS al-A’raf [7]: 77).
Demikian pula dengan Fir’aun. Penguasa Mesir itu tak kalah sombongnya. Ia bahkan mengaku sebagai Tuhan yang paling tinggi (lihat: QS an-Naziat [79]: 22-24).
Kendati telah banyak bukti kebenaran yang ditunjukkan Musa as., dia tetap tak mau beriman. Ia justru menuduh bukti-bukti itu sebagai sihir (QS al-A’raf [7]: 75). Tak hanya itu, ia pun berusaha membunuh Nabi Musa as. Bahkan ketika Musa as. menyingkir dari Mesir pun, tetap mereka kejar (QS Yunus [10]: 90). Dia dan pasukannya menindas Bani Israil ketika masih tinggal di Mesir. Bahkan dengan keji, ia dan pasukannya membunuh setiap bayi laki-laki Bani Israil (QS al-A’raf [7]: 127, 129).
Karena mereka telah melampaui batas dan membuat berbagai kerusakan di muka bumi, maka Allah SWT menurunkan azab-Nya. Allah SWT berfirman: fa shabba ‘alayhim sawtha adzâb (Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab). Diejlaskan ath-Thabari, ayat ini bermakna: Lalu Tuhanmu menurunkan kepada mereka, wahai Muhammad, azab-Nya dan menhalalkan murka-Nya disebabkan oleh kerusakan yang mereka lakukan di negeri-negeri dan melampaui batas di dalamnya.20
Ayat ini tidak menjelaskan detail azab yang diberikan kepada mereka. Bentuk dan macam azab yang ditimpakan kepada mereka dijelaskan dalam ayat-ayat lain. Kaum ‘Ad dihancurkan dengan suara mengguntur yang membuat mereka menjadi seperti sampah banjir (lihat QS al-Mukminun [23]: 41). Allah SWT juga mengirimkan angin yang membinasakan mereka. Demikian dahsyatnya hingga segala sesuatu yang diterpa angin itu berubah laksana serbuk (lihat QS al-Dzariyat [56]: 41-42). Angin yang dikirimkan itu amat dingin dan kencang. Selama tujuh malam delapan hari mereka ditimpa angin tersebut terus-menerus hingga mereka mati bergelimpangan seperti tunggul-tunggul kurma yang telah lapuk. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang masih tersisa (lihat QS al-Haqqah [69]: 6-8).
Azab yang pedih juga diterima kaum Tsamud. Mereka ditimpa gempa sehingga mereka menjadi mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal (lihat QS al-A’raf [7]: 77-78). Mereka juga dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur di waktu pagi (lihat QS al-Hijr [15]: 80-83). Akibat suara keras itu, mereka berubah laksana rumput-rumput kering yang dikumpulkan yang punya kandang (lihat QS al-Qamar [54]: 29-31).
Demikian juga dengan Fir’aun. Diktator yang amat kejam itu akhirnya mati dengan amat mengenaskan. Ia dan pasukannya ditenggelamkan di laut saat mengejar Nabi Musa as. dan pengikutnya (lihat QS al-A’raf [7]: 136).
Kesudahan Bangsa-bangsa Arogan
Ayat-ayat ini mengisahkan kesudahan tiga bangsa yang arogan, berlaku zalim dan sewenang-wenang, melakukan pembangkangan dan suka berbuat kerusakan. Mereka tidak saja mendustakan rasul dan mengingkari risalahnya. Mereka pun berupaya keras menghalangi dakwahnya. Berbagai cara mereka tempuh; mulai dari penyebaran opini negatif terhadap dakwah dan pengembannya hingga cara-cara fisik: penyiksaan dan pembunuhan. Akan tetapi, semua upaya mereka gagal total. Mereka semua akhirnya justru binasa dilibas azab Allah SWWT yang mahadahsyat. Kekuatan, kebesaran dan kekuasaan yang mereka banggakan sama sekali tak kuasa melindungi mereka dari azab Allah SWT.
Dalam sejarah panjang kehidupan manusia, mereka tidak sendiri. Dalam al-Quran, amat banyak dikisahkan kesudahan bangsa-bangsa arogan. Bangsa-bangsa yang memiliki sikap dan perilaku seperti mereka akhirnya mengalami nasib yang sama. Mereka semua merasakan pedihnya azab Allah SWT.
Kaum Nabi Nuh as. yang sombong dan membangkang akhirnya musnah ditelan banjir bandang. Kaum Nabi Luth as. yang tidak menggubris peringatan nabi mereka akhirnya binasa setelah ditimpa hujan batu. Abrahah dan pasukan gajahnya yang hendak menghancurkan Baitullah juga binasa sebelum menyentuh Ka’bah. Hanya dengan kerikil yang dilontarkan burung ababil, mereka menemui ajalnya.
Penuturan kisah kehancuran bangsa-bangsa itu seharusnya menjadi pelajaran amat penting bagi seluruh manusia. Bagi kaum kafir, kaum yang menyombongkan kekuatan dan kebesarannya, kisah-kisah tersebut seharusnya menyadarkan mereka akan kelemahan mereka di hadapan Allah SWT. Padahal azab yang ditimpakan Allah kepada kaum kafir itu masih sebagian kecil. Azab Allah terhadap manusia di dunia ini baru pendahuluan dari azab-Nya yang sebenarnya (lihat: QS an-Nahl [16]: 61).
Adapun bagi kaum Mukmin, kisah itu dapat memperteguh keimanan mereka. Betapa pun beratnya siksaan yang mereka terima dari orang kafir, tak boleh menggoyahkan keimanan mereka. Sebab, azab Allah SWT jauh lebih dahsyat dan lebih berhak ditakuti. Apalagi kaum kafir yang kadang terlihat perkasa itu juga akan mengalami nasib sama dengan pendahulunya: kehancuran! Yang mungkin berbeda hanyalah bentuk dan caranya (lihat QS al-Isra [17]: 81). WaLlâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 44; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 424.
2 Fakhruddin al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 151 al-Ilmiyyah, 1990), 151.
3 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 31, 152; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 337.
4 Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, vol. 15 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 220; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30, 337.
5 Az-Zamakhsyari, Al-Kasyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 747; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1998), 638.
6 Abu Ali al-Fadhl, Majmû’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 9 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 737
7 Muhammad Azzah, At-Tafsîr al-Hadîts, vol. 1 (tt: Dar al-Gharb, 2000), 532; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 224. Pendapat ini didasarkan pada QS al-Ahqaf: 21.
8 Abu Bakr al-Razi, Mukhtâr ash-Shihhah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 551.
9 al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 45; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 416.
10 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30, 337.
11 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 465.
12 Al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 225.
13 Abu Ali al-Fadhl, Majma’ al-Bayân, vol. 9, 737; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 221; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 46; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 529.
14 Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 530
15 Muhammad Azzah, AtTafsîr al-Hadîts, vol. 1 (tt: Dar al-Gharb, 2000), 532.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 48; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhâm, vol. 5, 530.
17 Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 225.
18 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 31, 154
19 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhâm, vol. 5, 530.
20 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 34 (tt: al-Risalah, 2000), 410.