HTI

Hadis Pilihan (Al Waie)

Tidak Boleh Ada Dharar

(Al-Arba’ûn an-Nawawiyah, Hadis ke-32)

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh ada madarat/bahaya dan tidak boleh ada yang membahayakan (HR Ibn Majah, Ahmad, ad-Daraquthni)

Imam an-Nawawi mengatakan, “Hadis ini hasan, diriwayatkan oleh Ibn Majah, ad-Daraquthni dan yang lain secara musnad.  Imam Malik meriwayatkan hadis ini dalam Al-Muwatha’ secara mursal dari Amru bin Yahya, dari bapaknya, dari Nabi saw., dan ia menggugurkan Abu Said.  Hadits ini memiliki beberapa jalur periwayatan yang saling menguatkan sebagian dengan yang lain.”

Az-Zayla’i mengatakan di dalam Nasb ar-Râyah, hadis ini diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit, Ibn Abbas, Abu Said al-Khudzri, Abu Hurairah, Abu Lubabah, Tsa’labah bin Malik, Jabir bin Abdullah dan Aisyah ra.

Abu Said al-Khudzri ra. juga menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْهِ

Tidak boleh ada madarat (bahaya) dan tidak boleh ada yang menimpakan bahaya. Siapa saja yang menimpakan kemadaratan niscaya Allah menimpakan kemadaratan atas dirinya dan siapa saja yang menyusahkan niscaya Allah akan menyusahkan dirinya (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni).
Al-Hakim berkata, “Hadis ini shahih al-isnad menurut syarat Muslim dan asy-Syaikhayn tidak mengeluarkannya.”

Adz-Dzahabi juga mengomentari dalam At-Talkhish: menurut syarat Muslim.

Para ulama berbeda pendapat tentang makna hadits ini.  Sebagian mengartikan bahwa kata dharar dan dhirâr bermakna sama. Penyebutan keduanya untuk ta’kîd (penekanan/penegasan).

Sebagian lain menilai kedua kata tersebut berbeda maknanya.  Abu Habib mengatakan, adh-dharar adalah ism[un] dan adh-dhirâr adalah fi’il dengan makna lâ dharrara (tidak memadaratkan) yakni seseorang tidak boleh menimpakan dharar kepada orang yang lain yang tidak dia timpakan kepada dirinya sendiri.  Lâ dhirâra bermakna seseorang tidak boleh dimadaratkan karena/oleh orang lain. Maknanya bisa juga bahwa dharar itu dihilangkan di dalam syariah dan menimpakan dharar tanpa hak juga dinafikan di dalam syariah.

Al-Muhasini, Ibn Abdil Barr dan Ibn Shalah menguatkan bahwa makna dharar itu adalah menimpakan dharar pada orang lain yang di dalamnya ada manfaat bagi kamu.  Adapun adh-dhirâr maknanya adalah menimpakan dharar pada orang lain yang di dalamnya tidak ada manfaat bagi kamu, seperti menghalangi sesuatu yang tidak memadaratkan kamu tetapi dengan begitu orang yang dihalangi terkena dharar.

Yang lain mengatakan bahwa makna adh-dharar adalah dharar itu sendiri dan adh-dhirâr bermakna timbal balik; hal itu seperti al-qatlu dan al-qitâl.  Itu artinya, lâ dharara maknanya memadaratkan orang yang tidak memadarat-kan dirimu; sedangkan lâ dhirâra bermakna memadaratkan orang yang telah memadarat-kan dirimu.

Di atas semua itu, yang jelas Nabi saw. menafikan dharar dan dhirâr yang tidak dibenarkan (bi ghayr haqq).  Adapun jika dharar itu karena orang berbuat kriminal lalu dijatuhi sanksi, atau menzalimi orang lain lalu dijatuhkan sanksi tindakan balas terhadap dirinya maka dharar seperti itu dibenarkan dalam syariah.

Kata dalam hadis ini adalah lâ nâfiyah li al-jinsi (kata yang menafikan jenis) dan diikuti oleh kata dharara dan dhirâra dalam bentuk nakirah sehingga itu bermakna umum.  Al-Minawi di dalam Faydh al-Qadîr mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat pengharaman semua jenis dharar kecuali dengan dalil, sebab nakirah dalam konteks nafi adalah bersifat umum.”

Asy-Syaukani di dalam Nayl al-Awthâr setelah memaparkan hadis tersebut mengata-kan, “Hadis ini mengandung dalil pengharaman adh-dharar apapun sifatnya, tanpa ada perbedaan apakah terhadap tetangga atau yang lain. Dengan demikian, adh-dharar dalam bentuk apapun itu tidak boleh kecuali dengan dalil yang mengkhususkan keumuman ini.”

Penafian dharar dan dhirâr oleh syariah itu menunjukkan bahwa dharar itu adalah haram dan harus dihilangkan. Menghilangkan dharar mengharuskan penghilangan zat atau sebab dharar itu sendiri. Dari sinilah para ulama menetapkan kaidah fikih: Al-Ashlu fi al-Mudhâr at-Tahrîm (Hukum asal madarat adalah haram) atau kaidah fikih: Inna adh-Dharara yuzâl (Dharar itu harus dihilangkan). Penerapan kaidah ini bisa luas sekali.  Contoh: Jika seseorang punya pohon yang dahannya sampai ke rumah tetangganya dan membahayakan dia maka pemilik pohon harus meninggikan dahan itu atau memotongnya. Begitu juga bangunan atau pohon milik seseorang; tidak boleh menjulur ke jalan yang bisa membahayakan orang yang lewat.

Jika ada harta bersama yang bisa dibagi, lalu salah satu mitra minta dibagi, maka permintaan pembagian itu dipenuhi meski mitra yang lain menolak sebagai bentuk menghilangkan dharar atasnya. Jika saluran pengairan melalui dua petak sawah, sementara agar air sampai ke petak kedua harus melalui petak pertama, maka pemilik petak pertama tidak boleh menutup saluran ke petak kedua dan menghalangi air sampai ke petak kedua. Jika seekor ayam menelan perhiasan (intan atau permata) berharga milik seseorang maka pemilik perhiasan itu boleh memiliki ayam tersebut dengan mengganti nilainya untuk dia sembelih dan dikeluarkan perhiasan miliknya.

Individu atau swasta tidak boleh memiliki pabrik senjata berat, senjata kimia dan sejenisnya sebab di dalam pemilikan semua itu oleh swasta ada dharar.  Dilarang membangun pabrik kimia atau lainnya di daerah pemukiman supaya tidak membahayakan penduduk dengan asap, gas, suara bising atau lainnya.  Begitu juga peternakan ayam tidak boleh dibangun di daerah dekat pemukiman supaya penduduk tidak terganggu dengan bau kotoran ayam itu.  Berikutnya, pabrik atau siapapun dilarang membuang limbah dan bahan berbahaya yang bisa membahayakan lingkungan dan kesehatan penduduk.

Produsen makanan tidak boleh menggunakan bahan-bahan yang bisa membahayakan kesehatan.  Jika terbukti dan produknya sudah diedarkan maka perodusen tersebut diharuskan menarik produk tersebut dari peredaran dan memusnahkannya. Demikian seterusnya. WalLâh a’am bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*