HTI

Hiwar (Al Waie)

Ustadz Farid Wadjdi: Nasionalisme, Faktor Pemecah-belah Umat

Minoritas Muslim Rohingya di Myanmar dipaksa untuk berpindah keyakinan dan mengalami penyiksaan, dipaksa makan babi dan minum minuman keras, ada juga yang dibakar hidup-hidup dan tidak dibolehkan menggunakan ponsel. Nasib serupa dialami oleh minoritas Muslim Pattani di Thailand, minoritas Muslim Moro di Filipina dan minoritas Muslim Uighur di Cina. Lalu mengapa pemerintah Indonesia dan para penguasa negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim lainnya diam membisu? Mengapa pula PBB dan lembaga internasional lainnya bersikap masa bodoh? Lantas akankah penderitaan minoritas Muslim ini berakhir? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan al-wa’ie Joko Prasetyo dengan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Farid Wadjdi. Berikut petikannya.


Mengapa di daerah minoritas Muslim, umat Islam kerap ditindas?

Pertama: karena umat Islam tidak lagi memiliki Khilafah, payung politik secara internasional yang melindungi kaum Muslim sejak keruntuhan Khilafah pada 1924. Inilah yang menjadi pangkal utama dari berkembangnya atau meluasnya penindasan di negeri-negeri minoritas Muslim.

Kedua: karena dunia internasional tidak peduli. Berbeda dengan kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan kepentingan Barat, PBB dan lembaga-lembaga HAM akan sangat hirau. Namun, terkait nasib umat Islam minoritas seperti di Rohingya dan Mindanau, sangat jelas lembaga internasional tersebut tak peduli.


Mungkinkah karena selama ini umat Islam tidak bisa beradaptasi dengan mayoritas di negeri setempat?

Sebenarnya bukan masalah umat Islam tidak bisa beradaptasi, melainkan umat Islam itu adalah umat yang unik (mutamayyiz).


Unik bagaimana?

Mereka memiliki akidah berdasarkan prinsip tauhid; memilik aturan hidup (syariah) yang berdasarkan wahyu Allah SWT. Inilah yang memang membuat umat Islam Rohingya dan Pattani berbeda dengan masyarakat Myanmar dan Thailand yang mayoritas Budha. Demikian juga umat Islam Moro di Mindanau yang berbeda dengan masyarakat Filipina yang mayoritas Katolik.    

Kalau kemudian yang dimaksud menyesuaikan diri itu harus mengorbankan akidah dan syariah, pasti hal itu ditolak oleh umat Islam, seperti yang dinyatakan salah seorang delegasi Rohingya, Noor Husain Arakani.

Arakani menceritakan bahwa warga Muslim di sana dipaksa berpindah keyakinan dan mengalami penyiksaan. Mereka dipaksa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariah seperti memakan daging babi dan minum minuman keras. Di beberapa tempat lainnya, mereka juga dibakar hidup-hidup dan tidak dibolehkan menggunakan ponsel.


Berarti tudingan bahwa Muslim minoritas tidak bisa beradaptasi keliru?

Bukan hanya keliru, tetapi merupakan kebohongan dan penyesatan politik. Masalahnya sekali lagi bukanlah adaptasi, tetapi problem penjajahan. Negeri-negeri Islam itu dirampas, diduduki dan dijajah; kemudian rakyatnya diusir, dibunuh dan dibantai. Sama dengan Palestina yang dijajah oleh Zionis Israel, wilayah Pattani yang diduduki oleh Thailand, atau Turkistan Timur (Xian Jiang) yang dijajah oleh Cina.

Ini tidak bisa dilepaskan dari warisan kolonial. Pasca kolonialisme, pembentukan negara-negara bangsa (nation-state) berdasarkan ketentuan dan kepentingan penjajah. Penjajah sengaja memasukkan negeri-negeri Islam itu menjadi bagian negara yang mayoritas penduduknya berseberangan atau tidak sama dengan umat Islam, seperti Muslim Pattani dimasukan ke Thailand. Muslim Moro di Mindanau dimasukkan ke Filipina. Adapun Turkistan Timur yang berpenduduk mayoritas Muslim dicaplok Cina. Akibatnya, Muslim Uighur menjadi minoritas yang selalu ditindas pasca aneksasi tersebut dan Turkistan Timur oleh pemerintah Cina diganti namanya menjadi Xinjiang. Itu merupakan strategi Barat untuk  melemahkan umat Islam.


Secara geografis, semestinya mereka masuk ke mana?

Persoalannya bukan pada masalah geografis. Sekali lagi ini masalah penjajahan. Ini masalah politik yang muncul setelah umat Islam tidak lagi memiliki negara Khilafah dan kemudian Barat membentuk negara-bangsa. Sebagai contoh, Muslim Rohingya. Mereka dianggap stateless (manusia tanpa negara) oleh rezim Myanmar. Padahal umat Islam di sana ada jauh sebelum negara-bangsa Birma (Myanmar) yang diberikan kemerdekaan formalitasnya oleh Inggris tahun 1948.

Kaum Muslim di sana telah berabad-abad tinggal sebagai kesultanan Islam yang merdeka. Para sejarahwan menyebutkan bahwa Islam masuk ke negeri itu tahun 877 M pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Kaum Muslim memerintah Propinsi Arakan lebih dari tiga setengah abad (1430-1784 M).  Penderitaan Muslim di sana mulai terjadi saat Kerajaan Budha maupun kolonialis Inggris menjajah negeri itu.


Mengapa pemerintah Indonesia, negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, cenderung diam?

Karena beberapa faktor. Pertama: nasionalisme. Faktor ini yang paling utama dalam memecah-belah umat Islam sehingga mematikan kehirauan umat Islam di suatu negara kepada umat Islam di negara lainnya. Padahal umat Islam di mana pun sejatinya adalah saudara satu akidah yang wajib dibela.

Nasionalisme inilah yang membuat Indonesia tidak merasa begitu hirau ketika ada pengungsi Rohingya terapung di perahu-perahu kecil di perairan Aceh yang meminta suaka hingga akhirnya tenggelam.

Bahkan Bangladesh, negeri mayoritas Muslim yang berbatasan langsung dengan Myanmar, alih-alih menampung pengungsi Rohingya, malah mengusir mereka dan membiarkan mereka terkatung-katung di lautan bahkan diterlantarkan hingga meninggal dunia.

Kedua: para penguasa negeri berpenduduk mayoritas Islam menghamba kepada Barat. Mereka sama sekali tidak peduli kepada rakyatnya, apalagi kepada kaum Muslim di negara lain. Mereka selalu menunggu instruksi Barat dalam bersikap. Mereka membuat kebijakan dengan berharap ridha dari Barat. Karena itu mereka sangat peduli terhadap satu persoalan kalau Barat peduli terhadap persoalan itu.


Contohnya?

Ahmadiyah, yang sering diklaim minoritas. Yang sebenarnya minoritas dari segi jumlah, tetapi mayoritas dari segi bergaining politik. Hal itulah yang membuat penguasa Indonesia sangat peduli terhadap Ahmadiyah, karena Ahmadiyah didukung oleh Barat. Karena itu, meskipun kelompok Ahmadiyah terbukti sesat dan menodai Islam, tetap saja dibela Presiden.

Desakan ormas-ormas Islam agar Ahmadiyah dibubarkan karena sangat meresahkan masyarakat dianggap angin lalu. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah sesat dan menyesatkan tidak digubris. Rekomendasi pembubaran Ahmadiyah dari Bakorpakem alias Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pun tidak digubris.


Mengapa?

Karena seperti yang diakui Dirjen Bimas Islam saat itu Nasaruddin Umar, yang sekarang menjadi Wakil Menteri Agama, bahwa Amerika, Inggris, Kanada dan satu negara Barat lainnya meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak membubarkan Ahmadiyah.

Ketiga: sebagian besar negeri Islam merujuk pada solusi-solusi internasional yang didasarkan pada kepentingan Barat lewat PBB, Liga Arab atau pun ASEAN. Kita tahu, lembaga-lembaga ini tidak memberikan solusi untuk kepentingan umat Islam, tetapi memihak kepada rezim yang berkuasa dan harus sejalan dengan negara-negara Barat yang memusuhi Islam.

Jadi, ketiga faktor inilah yang menyebabkan itu terjadi.


Mengapa PBB malah membela kepentingan Amerika dan rezim zalim ketimbang bersikap adil terhadap peradaban manusia dunia?

PBB kan sebenarnya adalah lembaga internasional yang diciptakan negara-negara Barat yang memenangkan Perang Dunia II untuk kepentingan mereka. Jadi, tidak aneh jika salah satu yang mengindikasikan hal itu adalah hak veto. Hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi ini dimiliki oleh lima negara yang masuk dalam Dewan Keamanan PBB  yang sebagian besar adalah negara-negara Barat.

Makanya, setiap resolusi yang dibuat oleh PBB pastilah merujuk pada kepentingan negara-negara Barat. Barat jelas tidak memiliki kepentingan untuk melindungi Muslim Rohingya, Pattani dan Moro.


Jadi kaum Muslim tidak boleh berharap lagi pada PBB?    

Bukan hanya tidak boleh, tetapi haram! Umat Islam wajib keluar dari PBB, keluar dari Liga Arab, keluar dari ASEAN dan lembaga semisalnya. Pasalnya, lembaga-lembaga ini merupakan lembaga yang dirancang untuk menjadi kepanjangan tangan kepentingan Barat atas nama dunia internasional.

Kita juga melihat diskriminasi yang nyata yang dilakukan oleh lembaga-lembaga ini. PBB sangat berbeda sikapnya terhadap Israel yang melakukan pembunuhan massal sistematis terhadap kaum Muslim di Palestina. PBB tidak mengirim pasukan ke Palestina untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel.

PBB pun diam saja dan tidak menganggap Amerika melanggar HAM ketika Amerika membombardir Afganistan dan Pakistan, malah memperkuat pasukan NATO untuk mendukung Amerika.

Namun, ketika Irak hendak melakukan hal yang berseberangan dengan Barat, seperti menganeksasi Kuwait, misalnya, PBB langsung bereaksi. Saddam Husain dianggap melanggar HAM.


Akankah penderitaan minoritas Muslim akan berakhir?

Tentu. Penderitaan kaum Muslim akan berakhir ketika umat Islam memiliki pelindung politik, yaitu dengan berdirinya Khilafah. Negara Islam yang disebut Khilafah inilah yang nantinya akan melindungi negeri-negeri Islam, menyatukan negeri-negeri Islam yang tercerai-berai, kemudian membebaskan negeri-negeri Islam yang diduduki rezim-rezim kaki tangan kolonialis imperialis ini.


Bagaimana caranya agar Khilafah berdiri kembali?

Jelas ini adalah perjuangan bersama umat Islam di wilayah mana pun. Umat Islam di Indonesia harus memperjuangkannya. Umat Islam di wilayah Timur Tengah juga harus memperjuangkannya. Wilayah yang lebih dulu berhasil mendirikan Khilafah, itulah yang terlebih dulu melakukan pembebasan terhadap negeri-negeri Islam, kemudian menyatukan negeri-negeri Islam lain di bawah payung Khilafah.


Bagaimana agar umat Islam sadar dan mau menjalankan kewajiban menegakkan Khilafah?

Dakwah, ya. Yang sadar terlebih dulu harus berdakwah menyadarkan yang belum sadar agar turut berdakwah. Sebab, dakwah sejatinya memang menjadi tanggung jawab utama seluruh kaum Muslim. Gerakan untuk menegakan Khilafah harus menjadi gerakan kaum Muslim secara bersama-sama. Dakwah memang harus disampaikan di berbagai tempat dan kesempatan. Dengan dakwah itulah akan muncul kesadaran.

Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhenti berteriak dan bersuara mengenai kewajiban menegakkan Khilafah dengan lisan, tulisan, kontak-kontak dan sebagainya. Dengan begitu akan terciptalah opini tentang kewajiban khilafah yang didukung oleh kesadaran umum masyarakat. Dengan dukungan Ahlul Quwwah yang ada ditengah umat Islam, Insya Allah hingga akan segera tegak. WalLâh a’lam bi al-shawâb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*