Pengarang Syarh Muntahâ al-Irâdah menyatakan, awshâ dan washshâ maknanya sama, bentuk isim-nya al-washiyyah dan al-wishâyah, secara bahasa artinya al-amru (perintah). Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab menyatakan: awshâ ar-rajula wa washshâhu artinya ‘ahida ilayhi (mengamanat-kan kepada dia).Abu Ubaid menyatakan, washshaytu asy-syay’a artinya washaltuhu (menyambungkannya).
Washiyyah adalah apa yang diwasiatkan. Disebut washiyyah karena ketersambungannya dengan perkara si mayit, sebab dengan itu si mayit menyambungkan perkara dalam masa hidupnya dengan perkara setelah kematiannya. Karena itu, di dalam Mathâlib ûlî an-Nuhâ dinyatakan, wasiat (al-washiyyah) secara syar’i adalah perintah melakukan tasharruf pasca kematian. Misal: seseorang berwasiat kepada orang lain untuk menikahi putrinya, memandi-kan dirinya jika wafat; manjadi imam shalat atas jenazahnya; atau berupa pesan-pesan kebaikan kepada anak keturunannya; atau perintah tasharruf atas harta peninggalannya; dsb.
Hanya saja menurut Muhammad Al-Khathib asy-Sarbini dalam Mughni al-Muhtâj, dalam istilah para fukaha al-wishâyah dibedakan dari al-washiyyah. Istilah al-wishâyah untuk menyebut amanat kepada orang yang mengurusi orang sepeninggal dia. Adapun al-washiyyah adalah at-tabarru’ al-mudhâf (donasi harta yang disandarkan pada waktu akan datang) pada waktu pasca kematiannya. Dari sini jelas bahwa perintah atau amanat seseorang agar dilakukan setelah ia meninggal dunia itu, jika terkait dengan tasharruf atas harta yang ia tinggalkan, disebut al-washiyyah (wasiat), sedangkan untuk masalah selainnya disebut al-wishâyah.
Legalitas dan Hukum Wasiat
Wasiat (al-washiyyah) disyariatkan di dalam Islam berdasarkan al-Quran (QS al-Baqarah: 180 dan 240; an-Nisa’: 11-12; al-Maidah: 106), as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Ibn Umar menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
Tidak layak seorang Muslim yang memiliki sesuatu yang ia wasiatkan, untuk tidur dua malam kecuali wasiatnya tertulis ada di sisinya (Muttafaq ‘alayh).
Hadis ini sekaligus menunjukkan bahwa wasiat secara tertulis itu dianjurkan.
Adapun hukum wasiat, Sayid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyebutkan bahwa menurut para ulama hukum berwasiat berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang melatarbelakangi-nya. Wajib, jika dalam kondisi seseorang mempunyai hak syar’i yang dikhawatirkan akan terlantar sepeninggalnya seperti titipan, zakat, utang yang ia ketahui sendiri, nadzar, amanah yang harus ia tunaikan dan sebagainya. Sunnah, jika ditujukan untuk kerabat yang fakir, orang-orang salih atau untuk kebaikan lainnya. Contohnya, wasiat kakek untuk cucu dari anak laki-laki yang sudah meninggal lebih dulu, atau cucu dari anak perempuan, atau kerabat selain ahli waris. Bahkan menurut sebagian ulama, terutama ulama mutaakhirin, wasiat seperti ini termasuk wajib, apalagi jika cucu atau kerabat itu fakir. Mubah, jika diberikan kepada orang yang tidak miskin. Makruh, jika seseorang itu memiliki sedikit harta, jika ia wasiatkan untuk orang lain, akan menyusahkan ahli warisnya. Haram, jika wasiat itu ditujukan untuk kemaksiaatan atau memadaratkan ahli waris (QS an-Nisa’ [4]: 12). Ibn Abbas menuturkan, Nabi saw. pernah bersabda:
اْلإِضْرَارُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنْ الْكَبَائِرِ
Memadaratkan dalam wasiat itu termasuk dosa besar (HR al-Baihaq, an-Nasai dan Said bin Manshur).
Beberapa Ketentuan Wasiat
Wasiat itu mengharuskan terpenuhinya empat unsur: al-mûshî (yang mewasiatkan), al-mûshâ lahu (penerima wasiat) al-mûshâ bihi atau al-washiyyah (yang diwasiatkan) dan sighat. Al-Mûshi disyaratkan haruslah ahlan li at-tasharruf (layak melakukan tasharruf/muamalah) yaitu berakal, balig. Ia haruslah pemilik harta yang diwasiatkan, dan secara suka rela tidak dipaksa memberi wasiat.
Adapun al-mûshâ lahu disyaratkan tiga syarat: Pertama, ia tidak termasuk ahli waris. Rasul saw. bersabda:
إنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya dan tidak ada wasiat untuk ahli waris (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan Tirmidzi)
Hanya saja, hadis yang bersifat umum ini dikhususkan oleh sabda Rasul saw.:
لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ إلاَّ أَنْ يُجِيزَ الْوَرَثَةُ
Tidak ada wasiat untuk ahli waris, kecuali dibolehkan oleh ahli waris (HR ad-Daraquthni dan al-Baihaqi).
لاَ تَجُوزُ وَصِيَّةٌ لِوَارِثٍ إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ الْوَرَثَةُ
Wasiat tidak boleh untuk ahli waris kecuali ahi waris berkehendak (mau) (HR al-Baihaqi dan ad-Daraquthni).
Jadi, pada dasarnya wasiat tidak boleh ditujukan untuk ahli waris, kecuali ahli waris mengizinkan atau menghendakinya. Jika ahi waris membolehkan maka wasiat untuk ahli waris itu dilaksanakan. Jika sebagian mengizinkan dan sebagian lain tidak, maka wasiat itu dilaksanakan terhadap harta bagian ahli waris yang mengizinkan secara proporsional. Adapun ahli waris yang tidak mengizinkan, ia mendapat bagian warisnya secara penuh.
Kedua, penerima wasiat itu hidup atau ada baik secara riil atau perkiraan (seperti janin yang masih di dalam kandungan) ketika al-mûshi meninggal dunia. Hanya saja, wasiat untuk janin yang masih di kandungan, pelaksanaannya ditunda hingga bayi itu lahir hidup. Hal itu dipersamakan dengan pelaksanaan waris. Nabi saw. bersabda:
لاَ يَرِثُ الصَّبِىُّ حَتَّى يَسْتَهِلَّ صَارِخًا
Bayi tidak mewarisi hingga berteriak menangis (HR Ibn Majah dan ath-Thabarani).
Ketiga, al-mûshi lahu itu tidak membunuh al-mûshi. Sebab, wasiat dipersamakan dengan waris; ahli waris yang membunuh al-mûshi maka tidak bisa mewarisi.
Adapun wasiat atau apa yang diwasiatkan (al-mûshâ bihi/al-washiyyah), syaratnya adalah: Pertama, harus berupa harta yang mungkin untuk dimiliki dan dilakukan pemindahan kepemilikan atasnya kepada al-mûshâ lahu. Kedua, jumlahnya tidak melebihi sepertiga dari harta. Dasarnya, ketika Rasul saw. menjenguk Saad bin Abi Waqash, Saad berkata, “Saya punya harta banyak dan tidak ada yang akan mewarisiku kecuali putriku seorang, apakah aku sedekahkan dua pertiganya?” Nabi saw. menjawab, “Tidak”. Saad berkata, “Aku sedekahkan setengahnya?” Nabi saw. Menjawab, “Tidak”. Saad berkata, “Kalau begitu sepertiga?” Lalu Nabi saw. menjawab:
وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ…
Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada engkau membiarkan mereka miskin meminta-minta belas kasihan orang lain (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad).
Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis tersebut mengindikasikan ’illat larangan wasiat lebih dari sepertiga, yaitu akan menyusahkan ahli waris. Jadi, itu terkait hak ahi waris. Karena itu, masalah itu disamakan dengan masalah wasiat ahli waris. Jadi, wasiat lebih dari sepertiga harta itu pada dasarnya tidak boleh kecuali diizinkan/disetujui oleh ahli waris, khususnya ketika ahli waris itu tidak miskin.
Izin atau persetujuan ahli waris dalam hal ini, juga dalam masalah wasiat untuk ahli waris, harus diberikan oleh ahli waris setelah al-mûshi meninggal dan ahli waris itu harus sempurna layak melakukannya (ahlan li at-tasharuf).
Tentang sighat, wasiat pada dasarnya merupakan tasharruf yang sempurna hanya dengan kehendak sepihak dari al-mûshî. Ketika ia berwasiat maka wasiatnya sah, baik secara lisan maupun tulisan, tanpa bergantung pada qabul dari al-mûshâ lahu (penerima wasiat). Hanya saja, jika dalam safar, maka wasiat itu hendaknya dipersaksikan pada dua orang saksi (QS al-Maidah [5]: 106). Namun, dari segi implementasi, wasiat dihukumi sebagaimana akad, yaitu wasiat itu tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan penerimaan (qabul) dari al-mûshâ lahu terhadap semua atau sebagian dari wasiat itu.
Wasiat adalah akad jâ’iz, artinya al-mûshî boleh menarik kembali wasiatnya selama hidupnya. Demikian juga wasiat itu batal jika: Pertama, al-mûshî gila permanen hingga meninggal; kedua, al-mûshâ lahu meninggal lebih dulu dari al-mûshî; ketiga, zat harta yang diwasiatkan rusak, habis atau hancur sebelum qabul dari al-mûshâ lahu.
Pelaksanaan wasiat dilakukan setelah ditunaikan utang. Ali bin Abi Thaib kw. Berkata, “Engkau membaca ayat ini: …min ba’di washiyyatin yûshâ bihâ aw dayn (sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya (QS an-Nisa’ [4]: 11, 12), sementara Rasulullah saw. menetapkan (penunaian) utang sebelum wasiat (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).
At-Tirmidzi mengatakan, amal berdasarkan riwayat ini menurut umumnya ahlul ilmi bahwa ditunaikan utang dulu sebelum wasiat.
Di luar semua itu, wasiat ini bisa dijadikan solusi agar cucu dari anak laki-laki yang telah meninggal lebih dulu, cucu dari anak perempuan, anak biologis yang lahir di luar pernikahan yang sah, anak asuh, atau kerabat selain ahli waris yang miskin dan semacamnya bisa mendapat bagian dari harta peninggalan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]