HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Pengantar

Dalam telaah kitab sebelumnya sudah jelas bahwa meskipun keturunan (nasab) Quraisy telah mendapatkan perhatian besar dari jumhur (mayoritas) ulama terkait masalah akad Khilafah, namun nasab (keturunan) Quraisy itu bukan syarat in’iqâd (syarat sahnya akad Khilafah), dan ia hanyalah syarat afdhaliyyah (keutamaan) saja. Dengan demikian siapapun selain orang Quraisy bisa menjadi khalifah selama ia telah memenuhi syarat-syarat in’iqâd (syarat sahnya akad Khilafah).

Lalu apa saja syarat-syarat in’iqâd (syarat sahnya akad Khilafah) yang harus dipenuhi oleh seorang kandidat khalifah? Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 31, tentang syarat-syarat in’iqâd (syarat sahnya akad Khilafah) bagi seorang kandidat khalifah, yang berbunyi: “Akad Khilafah bisa dikatakan sah jika kandidat khalifah telah memenuhi tujuh syarat, yaitu: laki-laki, Muslim, merdeka, baligh, berakal, adil dan memiliki kemampuan.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 130).

Syarat In’iqad Kandidat Khalifah

Khilafah itu merupakan pemerintahan atau kekuasaan, bahkan ia merupakan kekuasaan terbesar. Karena itu apa yang telah dibahas pada pasal 19 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam, akan kembali dibahas di sini, yaitu terkait tujuh syarat yang harus dipenuhi oleh seorang kandidat khalifah. Pertama: kandidat khalifah harus laki-laki. Hal ini berdasarkan pada hadis dari Abi Bakrah ra. yang berkata, ketika sampai kepada Rasulullah saw. bahwa rakyat Persia menjadikan putri Kisra sebagai penguasa mereka, maka beliau bersabda:

لَنْ يُفْ لِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

Sekali-kali tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang perempuan (HR al-Bukhari).

Hadis riwayat al-Bukhari ini menunjukkan bahwa syariah melarang tegas perempuan menjadi penguasa negara. Sekalipun hadis itu datang dalam bentuk khabar (berita), namun karena disertai dengan celaan, maka ini merupakan bentuk larangan. Penggunaan huruf lan yang menunjukkan pengertian selamanya (li at-ta’bîd) ini benar-benar telah menafikan keberuntungan dari mereka yang menjadikan perempuan sebagai penguasa negara. Ini menjadi qarînah (indikasi) yang menunjukkan tuntutan meninggalkan secara tegas. Dengan demikian, perempuan menjadi penguasa negara hukumnya haram (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 131; Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 296).

Bahkan Ibnu Hazm berkata: “Semua kelompok ahlul qiblah (mereka yang masih mengakui dan membenarkan apa yang dibawa Rasulullah saw), tidak seorang pun dari mereka yang membolehkan kepemimpinan seorang perempuan.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fi al-Milal, 4/110). Dengan demikian, khalifah syaratnya harus laki-laki.

Kedua: kandidat khalifah harus Muslim, haram Khilafah dijabat oleh non-Muslim, seperti orang Kristen, Yahudi, atau siapa saja yang tidak beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan Hari Akhir. Dalil dalam hal ini adalah firman Allah SWT:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

Allah sekali-kali tidak akan memberi orang-orang kafir jalan  untuk memusnahkan orang-orang yang beriman (QS an-Nisa’ [4] : 141).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa ulama telah menjadikan ayat ini sebagai dalil larangan menjual budak Muslim kepada orang kafir (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, 2/386). Artinya, diharamkan menjadikan seorang Muslim, sekalipun ia budak, ada di bawah kekuasaan orang kafir. Jika budak Muslim saja dilarang berada di bawah kekuasaan orang kafir, apalagi kaum Muslim yang merdeka, tentu lebih diharamkan.

Pemerintahan (kekuasaan) merupakan jalan yang paling kuat untuk menguasai orang-orang yang diperintah. Karena itu menjadikan orang kafir sebagai penguasa atas orang Muslim, artinya memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang Muslim. Ini sangat dilarang oleh Allah SWT. Sebab, penggunaan huruf lan yang menunjukkan pengertian selamanya (li at-ta’bîd), merupakan qarînah (indikasi) tentang larangan keras orang kafir menjadi penguasa atas kaum Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 131; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 22).

Khalifah adalah ulil amri. Di dalam al-Quran kata ulil amri tidak disebut kecuali disertai dengan ketentuan bahwa ia dari kalangan kaum Muslim. Ini menunjukkan bahwa ulil amri haruslah Muslim. Mengingat khalifah itu adalah ulil amri, bahkan yang mengangkat ulil amri, maka khalifah disyaratkan harus seorang Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 131).

Ketiga: kandidat khalifah harus orang yang merdeka, bukan seorang budak. Sebab, seorang hamba (budak) adalah milik tuannya. Dengan demikian, ia tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri. Jika mengatur urusannya sendiri saja tidak memiliki kewenangan, apalagi kewenangan mengatur urusan orang lain, bahkan masyarakat luas, maka penguasa harus orang yang merdeka (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 131; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 24; Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 298).

Keempat: kandidat khalifah harus seorang yang telah baligh sehingga tidak boleh anak kecil menjadi penguasa. Dalam hal ini, semua ulama sepakat tentang larangan anak kecil menjadi penguasa, kecuali kaum Rafidhah yang membolehkan anak kecil menjadi penguasa, bahkan janin yang masih dalam kandungan sekalipun. Namun, pendapat ini tidak benar, sebab anak kecil belum mendapat taklîf (beban hukum), sementara seorang penguasa di-taklîf (diberi beban hukum) untuk menjalankan agama (Ibnu Hazm, Al-Fashl fi al-Milal, 4/110).

Rasulullah saw. bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمِعْتُوْهِ حَتَّى يَبْرَأَ

Telah diangkat pena (beban hukum) dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia balig; dari orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari orang yang kurang akalnya hingga ia waras (HR Abu Dawud).

Dengan demikian siapa saja yang tidak mendapat taklîf (beban hukum), maka secara syar’i ia ia tidak sah mengelola urusan. Jika mengelola urusan dirinya saja tidak sah, tentu lebih tidak sah lagi mengurusi urusan orang lain (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 132; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 24).

Bahkan Rasulullah saw. pernah menolak dibaiat anak kecil, sebab anak kecil belum mengerti maksud pemerintahan, sistem negara dan konsep-konsep politik. Sebagaimana hadis riwayat al-Bukhari dari Abdullah bin Hisyam. Ketika itu ia telah mengenal Nabi saw. Kemudian ibunya Zainab bintu Humaid membawa dia kepada Rasulullah saw. Lalu ibunya berkata, “Terimalah baiatnya.” Nabi saw bersabda: “Ia masih kecil.” Kemudian, beliau mengusap kepalanya dan mendoakan kebaikan untuk anak itu.

Jika anak kecil baiatnya dianggap tidak sah, tentu lebih tidak sah lagi ia dibait menjadi Khalifah, atau diangkat untuk menduduki jabatan penguasa lainnya (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 297).

Kelima: kandidat khalifah harus orang yang berakal sehingga orang gila tidak boleh menjadi penguasa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Telah diangkat pena (beban hukum) dari tiga golongan:” Di antaranya beliau bersabda:

عَنِ الْمِجْنُونِ الْمِغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ

…dari orang yang rusak akalnya hingga ia waras (HR Abu Dawud).

Akal merupakan manâth at-taklîf (tempat pembebanan hukum), bahkan ia sebagai syarat sahnya pengaturan urusan. Adapun penguasa adalah orang yang akan menjalankan urusan-urusan pemerintahan, dan menerapkan kewajiban-kewajiban syariah. Karena itu orang yang rusak akalnya (gila) tidak boleh menjadi penguasa. Sebab, orang gila tidak sah mengatur urusan dirinya, apalagi mengatur urusan orang lain (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 99; Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 298).

Keenam: kandidat khalifah harus orang yang adil, bukan orang yang fasik. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ

Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian (QS ath-Thalaq [65]: 2).

Dalam ayat ini Allah SWT mensyaratkan adil bagi seorang saksi agar kesaksiannya bisa diterima. Jika saksi saja disyaratkan harus adil, apalagi kedudukan yang lebih besar dan lebih tinggi dari hanya sekadar saksi, yaitu sebagai penguasa Negara Islam.

Adil di sini artinya ia adalah seorang yang menjaga agama, harta dan kehormatan dirinya; tidak melakukan dosa besar; tidak sering melakukan dosa kecil; dan selalu menjaga muru’ah (Al-Baghdadi, Al-Farq bayna al-Firaq, hlm. 271). Muru’ah adalah meninggalkan segala bentuk perbuatan yang bisa merusak kewibawaan, sekalipun perbuatan itu mubah.

Ketujuh: khalifah harus orang yang memiliki kemampuan. Hal ini  karena bahwa kemampuan merupakan keharusan yang dituntut dalam baiat bagi khalifah, dan tuntutan akad pelimpahan kekuasaan bagi para mu’âwin tafwîdh, wali dan amil. Sebab, orang yang lemah tidak akan mampu menjalankan urusan-urusan rakyat berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, di mana dengan keduanya ia dibaiat, atau sesuai dengan akad pelimpahan kekuasaan yang diserahkan kepadanya.

Dalil terkait hal ini adalah: Pertama,  hadis riwayat Muslim dari jalan Abu Dzar ra. yang berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak menjadikan aku sebagai amil?” Mendengar itu, lalu beliau menepuk pundak Abu Darda ra. dengan tangannya. Kemudian beliau bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ إنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ. إلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah, sementara kekuasaan itu amanah. Kekuasaan itu kelak pada Hari Kiamat akan menjadikan kehinaan dan penyesalan, kecuali orang mengambilnya dengan benar (berhak) dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya (HR Muslim).

Hadis ini melarang orang yang tidak berhak dan tidak layak untuk menduduki kekuasaan, serta tidak mampu menjalankan kewajibannya, sebab hal itu kelak pada Hari Kiamat akan menjadikan kehinaan dan penyesalan.

Kedua, hadis riwayat al-Bukhari dari jalan Abu Hurairah ra. bahwa Rasululah saw. bersabda, “Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah saat-saat kehancuran.” Beliau ditanya, “Bagaimana (bentuk) penyia-nyiaan amanah itu?” Beliau bersabda:

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلىَ غَيرْ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَاعَة

Apabila urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak selayaknya), maka tunggulah saat-saat kehancuran.

Hadis ini melarang suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak selayaknya), yakni orang yang tidak mampu menjalankan amanah dan kewajibannya. Dengan demikian, penguasa harus orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan amanah kekuasaan.

Adapun mekanisme melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) yang membutuhkan penelitian mendalam terhadap obyek, baik yang terkait dengan penyakit fisik, penyakit mental, atau yang lainnya, maka hal ini diserahkan kepada Mahkamah Mazhâlim untuk menetapkan jenis-jenis kelemahan yang tidak boleh ada diri para penguasa, serta menetapkan siapa saja di antara para kandidat yang telah memenuhi persyaratan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 133; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 25).

Dengan undang-undang ini, maka siapapun berhak menjadi kandidat khalifah, selama ia telah lolos uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) dan memenuhi tujuh syarat in’iqâd (syarat sahnya akad khilafah) tersebut. WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]

Daftar Bacaan

Al-Baghdadi, al-Imam Abdul Qahir bin Thahir bin Muhammad, Al-Farq Baina al-Firaq, (Beirut: Dal al-Kutub al-Ilmiyah), Cetakan IV, 2009.

Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.

Ibnu Hazm, Abu Muhammad bin Ahmad azh-Zhahiri, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), Cetakan II, 1975.

Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut:Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

Ustman, Dr. Mahmud Hamid, Al-Kâmûs al-Mubayyan fi Ishtilahât al-Ushûliyyîn, (Riyadh: Dar az-Zahim), Cetakan I, 2002.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*