Beberapa waktu lalu, dalam kunjungan dakwah ke Kandangan, sebuah kota kecil sekitar 3–4 jam perjalanan darat dari Banjarmasin, ada syabab dakwah di sana yang bertanya, “Apa sebenarnya peran dan fungsi dakwah di daerah seperti kami di Kandangan ini, yang jauh dari Jakarta? Apa iya masih ada manfaatnya?”
Memang, setelah lebih dari 20 tahun berjalan sejak pertama kali dikembangkan dari kota Bogor pada pertengahan tahun 80-an, alhamdulillah dakwah Hizbut Tahrir kini telah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah-daerah pelosok seperti Serui, Kaimana, Merauke, Timika, Sorong, Wamena dan Kepi dekat Asmat di Papua, Kepulauan Sula dan Pulau Buru di Maluku Utara serta Kepulauan Kei di Maluku dan Kepuluan Sangir dekat Mindanao di Sulawesi Utara. Juga di kepulauan Wakatobi dan Ereka Buton Utara di Sulawesi Tenggara, Soroako di Sulawesi Selatan dan Mamuju di Sulawesi Barat. Dakwah juga berkembang di pelosok Kalimantan seperti di Manis Mata dan sekitarnya di daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Tengah. Di Kalimantan Selatan dakwah berkembang hingga ke daerah Tanjung, wilayah yang lebih jauh dari Kandangan. Di Sumatera, dakwah masuk ke daerah seperti Gayo Lues di Aceh, sebuah wilayah di tengah Propinsi NAD, yang jauh dari manapun. Di Jawa, dakwah telah berkembang hingga ke daerah pelosok seperti Dayeuh Luhur, kawasan perbukitan di utara kota Banjar Patroman, Jawa Barat dan kepulauan Kangean, yang untuk mencapainya harus naik kapal motor 12 jam dari Madura.
Dari semua wilayah itu barangkali yang boleh disebut amat pelosok adalah Salakan, salah satu kota di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Kota ini hanya bisa dicapai dengan Kapal Kayu sekitar 6 jam dari Luwuk, ibukota Kabupaten Banggai. Untuk sampai ke Luwuk sendiri harus ditempuh sekitar 20 jam perjalanan darat dari Palu, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Salakan sendiri adalah kota yang sangat kecil. Maklum, karena baru saja dibangun, dan tentu saja masih sangat sepi. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit berkendara mengelilingi kota ini. Listrik di sana hanya menyala dari magrib sampai tengah malam. Namun, penduduknya ramah, dan bahan pangan seperti ikan segar tersedia melimpah.
++++
Dakwah di daerah, termasuk di daerah-daerah yang amat terpencil sekalipun, tetaplah penting karena beberapa alasan. Pertama: sesungguhnya tidak pernah disebut “pusat” kecuali ada “daerah”, sebagaimana juga tidak pernah ada “daerah” kecuali ada “pusat”. Tidak pernah sebuah organisasi disebut bersifat nasional kecuali ada banyak kegiatannya di berbagai daerah. Semakin pelosok kegiatan sebuah organisasi bisa dilakukan, maka semakin menunjukkan kemampuan penetrasi atau pengembangan organisasi dan sifat “kenasionalan” dari organisasi itu. Begitu juga dengan HTI. Dengan adanya banyak kegiatan HTI di berbagai pelosok wilayah Indonesia, orang kini percaya bahwa HTI adalah organisasi yang memang bersifat nasional dan dakwahnya bisa diterima secara luas, terbukti ia berkembang di mana-mana hingga ke berbagai pelosok daerah.
Bukan hanya untuk konteks nasional. Kenyataan bahwa Hizbut Tahrir juga berkembang di lebih dari 40 negara, HT juga pantas disebut organisasi internasional. Barangkali inilah satu-satunya partai politik Islam yang benar-benar bersifat mendunia. HT kini telah berkembang ke berbagai negara, melintas jauh dari “Pusat”-nya di Palestina, tempat ketika pertama kali dulu pada tahun 1953 dakwah HT diawali.
Kedua: sebagai sebuah kewajiban, dakwah harus dilaksanakan oleh tiap Muslim kapan pun dan dimanapun, tidak peduli di “Pusat” ataupun di “Daerah”; di kota ataupun di desa; di pantai atau di gunung; di pusat keramaian ataupun di pelosok dan di tengah kesepian. Di manapun dakwah dilakukan, sepanjang dilakukan dengan ikhlas dan benar, maka insya Allah semua akan menjadi amal shalih yang pasti akan tercatat di sisi Allah SWT, karena Allah SWT adalah Zat Yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Ketiga: penting untuk disadari bahwa ketika dakwah dilakukan di berbagai tempat, di manapun, baik di tempat yang disebut “Pusat” maupun “Daerah”, sesungguhnya dakwah itu akan membuka 1001 kemungkinan, termasuk kemungkinan lahirnya tokoh atau pemimpin umat pada masa mendatang dari wilayah itu. Lihatlah bagaimana dari daerah Tikrit (140 km Barat Laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris, yang notabene jauh dari “Pusat”, pada tahun 1137 M lahir Shalahuddin al-Ayubi, oleh Barat disebut Saladin, yang kelak menjadi salah satu pahlawan besar dalam sejarah Islam. Shalahuddin al-Ayubilah yang memimpin pasukan Islam dalam pembebasan Palestina setelah hampir 1 abad dikuasai oleh Tentara Salib.
Nama harumnya diakui oleh kawan dan lawan. Lihatlah bagaimana ketika ia memperlakukan lawannya, Richard Lionheart, panglima Pasukan Salib yang telah dikalahkan, sakit dalam pertempuran. Saladin mengirimi dia buah pir yang segar dingin dalam salju, dan juga seorang dokter. Lalu perdamaian ditandatangani, 1 September 1192. Orang Eropa ketika itu takjub bagaimana Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.
Banyak lagi tokoh umat pada masa lalu yang berasal dari “Daerah”. Sebutlah Imam al-Bukhari, ahli hadis paling terkemuka, lahir di kota Bukhara, Turkistan, sebuah wilayah yang sangat jauh dari “Pusat” dakwah. Imam al-Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadis yang diberi nama Al-Jami’ atau lebih sering disebut Shahih al-Bukhari. Para ulama menilai kitab Shahih Bukhari ini sebagai rujukan paling shahih setelah kitab suci al-Quran.
Dalam konteks dakwah HTI, juga ada banyak tokoh yang datang dari “Daerah”. Dua muktamad atau mas’ul am (penanggungjawab umum) HTI terakhir misalnya, keduanya berasal “Daerah”. Ternyata bukan hanya mereka berdua, masih banyak lagi figur penting lainnya yang saat ini berkiprah di kepengurusan pusat HTI, yang dulunya juga berasal dari “Daerah”. Bayangkan, bila dakwah tidak sampai ke daerah-daerah itu, mungkinkah akan terlahir kader-kader yang ternyata di kemudian hari menjadi orang penting, bahkan paling penting dalam struktur kepemimpinan HTI? Dengan logika yang sama, siapa tahu dari dakwah di negeri ini, yang jauh dari “Pusat” sana, juga akan lahir banyak tokoh penting yang bakal mengisi struktur Kekhilafahan, bahkan mungkin seorang khalifah, pada masa mendatang?
++++
Kurang-lebih poin-poin seperti yang saya tulis di atas itulah yang saya sampaikan kepada syabab dakwah di Kandangan ketika itu. Juga kepada para syabab dakwah yang saat ini tengah giat bergerak di desa Sengon, sebuah desa di tengah alas Roban di Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Pekalongan, yang pada sore atau malam 15 Agustus lalu, bertepatan dengan 27 Ramadhan, mengundang saya untuk menyampaikan tablig akbar di lapangan Fatahillah, memanfaatkan perjalanan mudik ke kota Jogjakarta. Hanya sayangnya, karena situasi lalu-lintas menjelang lebaran yang macet di mana-mana, meski dari Bogor sudah berangkat bakda Subuh, saya datang terlambat. Dengan sangat terpaksa, saya tidak bisa hadir di hadapan 2000-an jamaah yang terus menunggu hingga shalat taraweh usai karena saya baru bisa tiba jam 21.30, saat seluruh jamaah sudah meninggalkan lokasi acara.
Karena itu, kepada para syabab dakwah, khususnya yang saat ini tengah bergiat di berbagai pelosok daerah, tetaplah semangat, bersungguh-sungguh dan terus menjaga kesabaran dan keikhlasan dalam berdakwah. Bagaimanapun dakwah yang antum semua lakukan tetaplah penting bagi tegaknya kembali Khilafah, dan insya Allah akan menjadi amal shalih yang luar biasa di hadapan Allah SWT, karena kita sedang melakukan apa yang dalam istilah Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Ash-Shawa’iq al-Muhriqah disebut sebagai ahammiyah al-wajibat–kewajiban yang paling penting… []
subhanAllah…Allah telah mempersatukan kita dalam da’wah ini…maka tak ada perbedaan di antara kita sesama pengemban da’wah,baik di pusat atau daerah..Tetap istiqomah!!Allah hendak menguji mu saja…