HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Arab Saudi: Hari-hari Terakhir Negara Pelayan Barat

Suatu laporan terbaru Kongres AS telah menunjukkan pasar senjata global yang terus tumbuh. penjualan senjata AS telah meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya, 2010.

Total penjualan senjata di seluruh dunia hampir meningkat dua kali lipat, yakni menjadi $85,3 miliar. AS mendapat nilai penjualan sebesar $66,3 miliar, naik dari penjualan tahun 2010 sebesar $21,4 miliar. Sementara Rusia, negara dengan penjualan senjata kedua tertinggi, hanya menjual senjata bernilai $4,8 miliar.

Ironisnya, pembeli senjata terbesar di dunia adalah Arab Saudi. Negara ini juga menjadi pelanggan Amerika terbesar dalam masa ketidakpastian ekonomi saat ini. Totalnya, negara ini membeli $33,4 miliar dari Amerika Serikat; antara lain 84 jet tempur canggih F-15.

Selama sepuluh tahun terakhir, Arab Saudi telah menjadi salah satu importir senjata terbesar, sementara negara ini memproduksi peralatan militer yang sangat sedikit. Negara ini telah menggunakan kekayaan energinya untuk mempersenjatai diri dengan persenjataan terbaru dan tercanggih di dunia.

Di sisi lain, persenjataan canggih ini tidak menaikkan posisi Saudi dalam konstelasi politik internasional. Arab Saudi tetap merupakan negara yang lemah meskipun memiliki emas hitam  (minyak) yang paling banyak diburu.

Selama ini Arab Saudi mengklaim mewakili umat karena mempertahankan perwalian atas dua masjid suci. Namun, hal ini belum berimbas pada kebijakan luar negeri dan hubungan dengan umat yang lebih luas.

Kami menemukan persediaan senjata Saudi seperti tank tempur terbaru (M-1A2 Abrams dan 290 AMX-30), angkatan udara yang memiliki lebih dari 300 jet yang meliputi Eurofighter Typhoon dan Tornado IDS yang di-upgrade,  pesawat-pesawat temput F-15 Eagle dan F -15E Strike Eagle. Hal ini akan mengejutkan banyak orang ketika mengetahui bahwa kekuatan militer Saudi dan teknologinya setara dengan banyak negara-negara Eropa dan lebih unggul dari Israel pada banyak hal.

Ketika diletakkan dalam konteks kekayaan  militer, ketidakmampuan rezim Saudi untuk memberikan perlindungan apapun terhadap umat Islam dalam krisis baru-baru ini tampaknya tidak lebih merupakan tindakan kriminal. Arab Saudi misalnya, tidak berbuat nyata untuk menyelesaikan masalah penderitaan umat Islam Rohingnya.

Padahal dengan satu pukulan saja, Arab Saudi bisa mengakhiri  penderitaan itu dengan kekuatan senjatanya. Bahkan sebatas ancaman aksi dari kekuatan semacam itu kemungkinan akan sudah cukup. Pasalnya, militer Burma hampir tidak memiliki pengalaman melawan kekuatan tempur konvensional. Sebagian besar sejarahnya telah disibukkan dalam berbagai pemberontakan dalam negeri. Sebanyak 30 Pesawat F7 Burma bukanlah tandingan untuk melawan pesawat Saudi Eurofighter Typhoon. Pesawat MiG-29  (dari model tahun 1970-an, yang dibeli pada tahun 1996 dari Rusia yang digunakan sebagai stok surplus) mungkin adalah jet-jet tempur Burma yang paling “modern,”  yang mereka memiliki.  Pertahanan udara mereka sudah usang dan bahkan senjata-senjata yang dipasok  Cina ke Burma adalah model-model lama. Kalau melakukan serangan, jet-jet Saudi akan pulang bahkan sebelum Burma tahu mereka telah diserang.

Peralatan militer, teknologi dan kemajuan tidaklah berguna jika tidak dikaitkan dengan ambisi global. Nabi  saw. berperang dalam banyak peperangan dengan infanteri yang secara jumlah  kalah dengan yang dimiliki oleh musuh. Namun, dengan kemauan (ambisi) untuk berhasil menaklukkan Semenanjung Arab, tentara Islam sukses meraih kemenangan. Para Sahabat Rasulullah  saw. membawa agama ini hingga ke Cina dan pantai Atlantik. Mereka juga berurusan dengan Imperium Persia dan Romawi.

Arab Saudi pada hari ini adalah negara buatan yang diciptakan dari abad ke-19. Para penguasanya berturut-turut bekerja untuk membantu kekuatan-kekuatan global imperialisme Barat  mencapai tujuan mereka  di wilayah itu  daripada mengejar ambisi mereka sendiri.

Episode ini menunjukkan bahwa yang kurang bukanlah teknologi atau senjata. Masalahnya adalah kurangnya ambisi dan kemauan politik. Selain itu, Arab Saudi tunduk dan terikat pada tujuan politik Barat, yang tidak lebih merupakan hubungan antara tuan-budak. Musim semi Arab (Arab Springs) telah menunjukkan bahwa hubungan seperti ini telah berakhir dengan kejatuhan rezim-rezim diktator yang selama ini melayani kepentingan Barat. Pastilah Kerajaan Saudi harus memperhatikan apa yang telah terjadi dengan antek-antek lain di wilayah Timur Tengah. [rz/khilafah.com]

Pelayanan Setia Saudi Terhadap Barat

Dalam sejarahnya, kebijakan Saudi sangatlah minim berseberangan dengan negara-negara Barat. Hampir seluruh kebijakan Saudi tunduk untuk melayani kepentingan Barat. Beberapa di antaranya adalah:

●    Melakukan pemberontakan dan memisahkan diri dengan negara Khilafah  terakhir (Khilafah Utsmaniyah) untuk melayani kepentingan Inggris. Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris melakukan kontak-kontak dengan Ibnu Saud tahun 1851. Saat itu Inggris sedang mencari mitra penentang Khilafah yang beribukota di Istanbul. Akhirnya, Inggris menjadikan Ibnu Saud sebagai sekutu di wilayah Kekhalifahan Usmaniah yang sedang sekarat. Sebagai imbalannya, Ibnu Saud mendapatkan  bantuan logistik dan militer Inggris untuk mengacaukan Kekhalifahan dari dalam. Pemberontakan Arab (1916-1918) diawali oleh Syarif Hussein ibnu Ali dengan restu penuh Inggris. Tujuannya adalah untuk memisahkan Semenanjung Arab dari Istanbul.

●    Menjual kekayaan alam Saudi yang sesungguhnya milik umat Islam kepada negara imperialis untuk memperkaya elit-elit Kerajaan Saudi. Pada 29 Mei 1933, Standart  Oil Company (perusahaan AS) memperoleh konsesi selama 60 tahun di Saudi Arabia. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi Arabian Oil Company (Aramco) pada 1934. Untuk kepentingan minyak, wakil perusahaan Aramco, James W. Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt (April 1941) agar memberikan pinjaman/utang kepada Saudi. Utang inilah yang menjadi  alat bagi AS untuk mengontrol Saudi. Konsesinya, pada 1943 AS dibolehkan memanfaatkan pangkalan udara Saudi selama tiga tahun. Namun, hingga kini perjanjian ini masih berlangsung. Pangkalan udara Dhahran pernah menjadi pangkalan militer AS yang paling lengkap di Timur Tengah. Pangkalan inilah yang menjadi basis militer AS untuk menyerang Irak, negara tetangga Saudi.

●    Mendukung kehadiran kekuatan militer Amerika di Timur Tengah untuk menyerang Irak dalam Perang Teluk Pertama dan Kedua. Dalam Perang Teluk yang pertama, Raja Fahd dengan resmi memerintahkan penggelaran pasukan Amerika di Tanah Saudi. Kerajaan itu menjadi tuan rumah bagi 600,000 pasukan Sekutu hingga kas negara mengalami defisit. Amerika mengeluarkan $60 miliar pada Perang Teluk pertama. Kuwait membayar separuhnya dari anggaran itu. Saat ini, 5000 tentara AS masih bercokol di kerajaan itu sejak akhir Perang Teluk. Sejak 1999, kehadiran mereka telah menimbulkan kejengkelan bagi warga Saudi hingga dikeluarkannya “Memorandum Nasihat” setebal 46 halaman oleh 107 pemuka dan ulama Saudi kepada Raja Fahd. Memorandum tersebut mengkritik pemerintah atas korupsi dan pelanggaran lainnya serta  kebijakan pemerintah yang tetap membiarkan kehadiran tentara AS di tanah Saudi. Namun, jawaban yang diambil oleh Raja Fahd adalah menangkap mereka.

●    Tidak berbuat nyata untuk membebaskan Palestina dari Zionis Israel. Bahkan ketika Israel mengepung dan menyerang Gaza yang membunuh ribuan rakyat Palestina, Saudi tidak bergerak mengirim pasukan untuk membantu umat Islam di sana. Pemerintah Saudi, lewat ulama-ulama ‘pro penguasa’, malah mengeluarkan fatwa kebolehan berhubungan damai dengan Israel. Raja Arab Saudi Abdullah, ketika ia masih menjadi putra mahkota pada tahun 2002 dalam kaitannya dengan inisiatif perdamaian Arab, mengatakan harus memberikan pengakuan terhadap pendudukan Yahudi, serta melakukan normalisasi dengannya demi mendapatkan sebuah negara kecil dan lemah dengan perbatasan tahun 1967. Inisiatifnya ini menjadi payung bagi “stabilitas Arab”. Artinya, payung ini telah berubah dari slogan sebelumnya, yaitu “al-lâ’ât ats-tsalâsah, tiga kata tidak, yakni tidak akan ada perdamaian, tidak akan ada pengakuan, dan tidak akan ada perundingan dengan Israel” menjadi “penyerahan tanah untuk mendapatkan perdamaian”.

●    Tidak melakukan tindakan yang nyata menghentikan kekejaman rezim Suriah. Kebijakan Saudi sejalan dengan Amerika, cenderung membiarkan rezim buas ini melanjutkan pembunuhan terhadap kaum Muslim Suriah hingga mendapat pengganti yang tepat yang masih sejalan dengan kepentingan Barat. Rezim Saudi bersama-sama dengan penguasa Arab lainnya dalam Sidang OKI tanggal 26 dan 27 Ramadhan 1433 H/ 14-15 Agustus 2012 di Makkah al-Mukarramah hanya membekukan keanggotaan Republik Arab Suria di OKI disebabkan sikap keras penguasa Suriah dan kekukuhannya menyelesaikan permasalahan dengan solusi militer.  Keputusan ini jelas tidak berpengaruh apa-apa terhadap rezim sesat Suriah. Tidak heran setelah keputusan ini dikeluarkan, pembantaian terhadap umat Islam Suriah terus berlanjut. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*