Pada awal Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana I (HB I) masih melestarikan kebijakan dan aturan yang dipandang sesuai dengan pemerintahannya, termasuk adanya lembaga peradilan. Di antaranya lembaga-lembaga peradilan dengan nama Jawa, yaitu Pengadilan Pradata (menyelesaikan perkara perdata dan pidana), Surambi (agama) dan Bale Mangu (pidana, administratif, agraria).1
Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Surambi adalah pengadilan yang berhubungan dengan agama yang diketuai oleh seorang penghulu hakim. Dalam melaksanakan tugasnya seorang penghulu hakim dibantu oleh empat orang anggota yang disebut dengan pathok nagara. Di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Kraton Ngayogyakarta sebutan pathok nagara adalah semacam abdi dalem yang membuat tugas penghulu hakim di Pengadilan Surambi. Pengadilan Surambi dalam catatan-catatan yang ada di Kraton disebut juga Hukum Dalem Ing Surambi dan biasa di singkat Hukum Dalem. Disebut demikian karena lembaga ini menempati Serambi Masjid Agung. Lembaga peradilan yang juga disebut ‘Al-Mahkamah Al-Kabirah’ ini menangani masalah-masalah perkawinan, kemelut rumah tangga, perceraian, gugatan cerai dari pihak istri terhadap suaminya, perolehan nafkah, warisan, wasiat, hibah, dan sebagainya menurut tata cara Islam.2
Masjid Pathok Negara juga berfungsi sebagai tempat belajar (mengaji), majelis taklim, tempat pemerintahan, peradilan serambi, sekaligus tempat pertahanan selain untuk tempat upacara kematian, pernikahan, dan kegiatan keagamaan lainnya.3
Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Ing Surambi di Yogyakarta diketuai oleh seorang penghulu yang disebut penghulu hakim. Sebagai ketua ia memperoleh gelar dari Sultan: kyai pengulu. Penghulu pertama di Yogyakarta yang diserahi tanggung jawab masjid adalah Kyai Penghulu Seh Abodin.4 Dalam melaksanakan tugasnya menangani masalah-masalah yang ada di masyarakat, penghulu hakim dibantu oleh empat orang anggota yang disebut pathok nagara atau dalam bahasa halus disebut pathok nagari. Baik penghulu hakim maupun pathok nagara termasuk abdi dalem. Dalam perkembangan selanjutnya susunan keanggotaan ini ditambah beberapa khotib yang bertugas memberi khutbah di beberapa masjid pada hari Jumat.
Adapun kitab hukum yang dipakai sebagai acuan selain al-Quran dan al-Hadis adalah kitab-kitab fikih yaitu Kitab Muharrar, Mahali, Tuhpah (baca: Tuhfah), Patakul Mungin (Fathul Mu’in) dan Patakul Wahab (Fathul Wahab).5
Sebutan pathok nagara di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Karaton Ngayogyakarta (semacam Departemen Agama) merupakan jabatan abdi dalem di lembaga tersebut, dan tepatnya pembantu penghulu hakim di Pengadilan Surambi. Istilah tersebut dalam bahasa Jawa terdiri dari dua kata: pathok dan nagara. Dalam kamus Baoesastra Djawa oleh W.J.S. Poerwodarminta,6 pathok (patok) artinya; 1) sesuatu yang dapat ditancapkan baik berupa kayu, bambu dan lain-lain dengan maksud untuk batas, tanda, dan sebagainya; 2) bersifat tetap tidak dapat ditawar-tawar lagi; 3) tempat para peronda berkumpul; 4) sawah yang pokok, 5) –an artinya angger-angger, paugeran atau aturan; 6) dasar hukum. Adapun nagara berarti negara, kerajaan, atau pemerintahan.
Dari sekian arti yang ada tampaknya arti yang lebih mendekati pada realitas yang ada terkait pathok nagara (atau dalam bahasa Jawa halus pathok nagari) adalah—selain berarti batas negara—dapat berarti ‘aturan (yang dianut oleh) negara’ atau dasar hukum negara. Hal ini dapat dipahami dari contoh kata ‘angger’ yang berkaitan erat dengan hukum. Pada masa itu ada kitab Angger Sepuluh atau Angger Sedasa. Kitab ini merupakan undang-undang yang mengatur adminstrasi dan agraria, demikian juga serat angger-angger yang lain.7 Dengan demikian bisa dipahami bahwa aturan yang dianut sebagai dasar negara (dalam hal ini Kesultanan Yogyakarta) adalah aturan Islam.
Menurut catatan arsip Kawedanan Reh Pangulon, pathok nagara merupakan jabatan (abdi dalem) rendah di suatu lembaga peradilan yang diberikan oleh Raja (Sultan) kepada seseorang yang dipercaya mampu menguasai bidang hukum agama Islam atau syariah. Keberadaannya di masyarakat adalah sebagai tokoh panutan, sebagai kepanjangan aturan raja yang memerintah negari (keprajan) Yogyakarta. Walaupun jabatan rendah, abdi dalem pathok nagara mempunyai peranan penting dalam pemerintahan saat itu, karena langsung berhadapan dengan masyarakat yang penuh dengan berbagai macam permasalahan. Sesuai dengan peranan dan tugasnya yang menyangkut kehidupan masyarakat kasultanan berdasarkan agama pada masa itu, maka abdi dalem pathok nagara pembantu penghulu hakim harus membekali dirinya dengan pengetahuan agama. Ia mempunyai kewajiban mencerdaskan masyarakat di bidang kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Dalam arsip Kraton yang tersimpan di Perpustakaan Widyabudaya, pathok nagara abdi dalem Kawedanan Pangulon Kasultanan Yogyakarta oleh Sultan ditempatkan di Mlangi Kabupaten Sleman (barat), Plosokuning Kabupaten Sleman (utara), Dongkelan Kabupaten Bantul (selatan) dan Babadan Yogyakarta (timur). Pada masa pendudukan Balatentara Jepang (1942 – 1945), Babadan ini pernah direncanakan akan dijadikan tempat amunisi untuk keperluan perang Jepang sehingga banyak penduduk yang pindah ke arah utara, kampung Kentungan, demikian juga masjidnya. Akan tetapi, rencana tersebut tidak jadi dan penduduk kembali ke Babadan semula, dan masjidnya pun dibangun lagi.8 Ini menjadi bukti bahwa masjid Pathok Nagara selain sebagai tempat ibadah, peradilan Islam, juga sebagai tempat ‘logistik’ dan tempat penyusunan strategi perang melawan penjajah. [Lutfianto, S.S.]
Catatan Kaki:
1 Jurnal Sejarah dan Sastra, Vol I, No 1. Juni 2006. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta
2 KRT. Nitipradja, Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana Wara, Th.1, No.2, bln. Agustus, 1941. Dwara Warta (Krapid), Jogjakarta. hal. 66
3 http://diasraka.wordpress.com/2011/08/02/masjid-pathok-negoro-kraton-nyayogyakarta/
4 G.P. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931 hlm 105
5 Jurnal Sejarah dan Sastra, Vol I, No 1. Juni 2006. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta
6 W.J.S. Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen-Batavia, 1939, hal. 479
7 Jurnal Sejarah dan Sastra, Vol I, No 1. Juni 2006. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta
8 idem