Merasakan kasih sayang dan ketenangan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang niscaya pada keluarga Muslim. Allah SWT telah menjelaskan bahwa pernikahan adalah tempat ketenangan bagi suami-istri (QS ar-Rum [30]: 21).
Ketenangan dan kasih sayang tercipta dari pergaulan yang baik di antara suami dan istri. Mereka menempatkan pasangan sebagai sahabat satu sama lain. Masing-masing menyertai pasangan saat suka dan duka, saling memenuhi kebutuhan masing-masing, memahami keinginan dan harapan masing-masing. Lebih dari itu, sesungguhnya terdapat hubungan timbal-balik yang secara prinsipil telah Allah tetapkan pada diri mereka sebagai hak yang dimiliki masing-masing yang wajib dipenuhi oleh pasangannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 228).
Ibnu Abbas memberi penjelasan tentang pelaksanaan ayat ini, “Sesungguhnya aku berhias untuk istriku sebagaimana ia berhias untuk aku. Aku suka untuk menuntaskan semua hak yang ada padaku untuk dia karena dia (istri) akan memenuhi segala apa yang menjadi hakku atas dirinya.”
Dalam kehidupan Rasulullah saw., ketenangan dan ketentrraman rumah tangga diberi perhatian penting oleh beliau. Setiap malam, setelah shalat isya beliau biasa menyempatkan untuk berbincang dan bersenda gurau dengan istri sebelum tidur. Dalam khutbah haji wada’ beliau berpesan agar para suami berlaku baik kepada istri-istrinya: Bertakwalah kepada Allah dalam perkara perempuan. Sungguh, kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah…Pada mereka ada hak rezeki (makanan) dan pakaian yang baik.”
Dalam sabda beliau yang lain: “Sebaik-baik kalian adalah yang berlaku baik terhadap istri mereka.” Demikianlah, Allah SWT telah menjelaskan dan Rasulullah saw. telah mencontohkan bagaimana bergaul yang baik dan benar antara suami dan istri.
Saat terjadi ketidakseimbangan dalam pemenuhan hak suami ataupun istri akan muncul gangguan terhadap ketenangan dan ketentraman. Saat ini, gangguan tersebut muncul secara sistemik. Selain situasi masyarakat yang dilanda berbagai krisis, suami maupun istri sering tidak memahami hak dan kewajiban masing-masing. Mereka jahil (bodoh) akan hukum syariah dalam berumah tangga yang harus mereka jalankan. Oleh sebab itulah, untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah diperlukan situasi hidup bermasyarakat dan berbangsa yang selaras dengan syariah Islam.
Untuk mewujudkan pergaulan yang makruf dan berlemah lembut antara suami istri, apalagi dalam situasi sekarang, memang bukan perkara mudah. Namun, kita harus berproses untuk mewujudkannya dan kemudian memeliharanya terus-menerus. Rasulullah saw. telah memberikan contoh untuk kita semua, antara lain:
Pertama, saling mencintai karena Allah SWT. Mahabbah filLah antara suami-istri harus senantiasa dipupuk sebagai perekat persahabatan di antara keduanya. Munculnya cinta karena Allah SWT disebabkan karena keduanya memiliki keimanan dan melakukan ketaatan-ketaatan kepada-Nya. Jika ada yang tidak disukai dari pasangannya, itu karena ia tidak rela sahabatnya melakukan kemaksiatan dan kemungkaran kepada Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda “Siapa saja yang memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, berarti ia telah sempurna imannya.” (HR al-Hakim).
Suami-istri diperintahkan untuk saling bergaul secara makruf dan saling berlemah-lembut di antara keduanya (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 19).
Bergaul maknanya adalah berinteraksi secara intens, berlemah lembut dan penuh canda serta bersahabat dengan penuh keakraban. Persahabatan keduanya akan menciptakan ketenteraman dalam jiwa dan kedamaian dalam hidup. Seorang suami tidak boleh membuat istrinya cemberut atau bermuka masam—meski dalam perkara yang tidak sampai menimbulkan dosa; berlemah-lembut dalam bertutur kata, tidak bertingkah keji dan kasar, serta tidak menampakkan kecenderungan kepada wanita lain. Begitu juga istri, dia melaksanakan ketaatan kepada suami bukan karena terpaksa, tetapi karena ketaatannya kepada Allah SWT. Ketaatan istri kepada suami akan dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan suami-istri. Ibnu Abbas pernah bertutur, “Para istri berhak untuk merasakan suasana persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka pun berkewajiban untuk melakukan ketaatan dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.”
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْليِ
Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Sesungguhnya aku sendiri adalah orang yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku (HR Ibnu Majah).
Rasul saw. pun bersabda, “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian ialah yang paling baik kepada istrinya.” (HR at-Tirmidzi)
Kedua, saling memahami. Kita ketahui bersama bahwa pernikahan adalah menyatukan dua orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda dan dua keluarga yang berbeda. Karena itu, suam-istri perlu saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing; menerimanya dengan lapang dada tanpa ada penyesalan yang berkepanjangan. Saling memahami akan menjadikan suami-istri berempati terhadap pasangannya sehingga tidak mudah saling berburuk sangka, tetapi tidak berarti toleran terhadap kesalahan dan kelemahan yang dapat merugikan pasangannya. Sikap ini memudahkan suami-istri untuk berpikir jernih sebelum memberikan pendapat dan menilai pasangannya.
Ketiga, saling menasihati. Manusia manapun tidak luput dari kesalahan. Ketika Islam mengharuskan saling bergaul secara makruf atau berlemah lembut antara suami dan istri, lantas tidak berarti menjadikan nasihat-menasihati antara suami dan istri menjadi terhalang. Ketika suami melakukan perbuatan maksiat atau tidak memenuhi kewajibannya, maka istri wajib mengingatkan suaminya untuk kembali pada tuntunan Islam. Ketika suaminya membawa uang tambahan bagi istri dan anak-anaknya, maka bukan suatu hal yang salah jika istri bertanya dari mana uang tambahan tersebut. Demikian pula sebaliknya, ketika istrinya berbuat maksiat atau tidak melaksanakan kewajibannya, maka seorang suami wajib untuk menasihatinya. Dengan begitu keluarga tersebut menjadi keluarga yang penuh berkah karena syariah dilaksanakan dalam keluarga tersebut dengan penuh kesungguhan.
Persahabatan suami-istri akan mengantarkan setiap orang tidak pernah rela pasangannya melakukan kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak. Saling memberi nasihat merupakan wujud suatu hubungan yang saling mencintai karena Allah SWT. Sebab, tujuannya adalah dalam rangka menjaga ketaatan kepada Allah SWT, dan menjauhkan pasangannya dari melakukan kemakshiatan kepada-Nya. Nasihat yang disertai dengan komunikasi yang tepat waktu dan tepat cara (lemah-lembut dan tidak menjustifikasi kesalahan) akan membuat pasangan yang dinasihati merasakan kesejukan dan ketenteraman dalam menerima masukan.
Keempat, saling memaafkan. Kehidupan suami-istri tidak luput dari berbagai kelemahan, kesalahpahaman dan pertengkaran kecil. Hal-hal ini akan dapat merenggangkan hubungan persahabatan satu sama lain. Pada saat salah seseorang dari suami-istri melakukan sesuatu hal yang menimbulkan kemarahan, maka langkah yang perlu disuburkan oleh yang lainnya adalah menahan marah dan memaafkan. Saling memaafkan satu sama lainnya adalah kunci untuk memelihara pergaulan yang makruf di antara suami-istri.
Kelima, saling bekerjasama dan tolong-menolong. Kehidupan suami-istri adalah kehidupan yang berpeluang mengalami kesulitan-kesulitan seperti beban pekerjaan yang memberatkan, pemenuhan nafkah, pendidikan anak, dan lain-lain. Namun, perlu dipahami, saling tolong-menolong bukan berarti kewajiban masing-masing bisa saling dipindahkan atau dihilangkan. Jika suami istri selalu saling tolong-menolong, selain akan meringankan beban satu sama lainnya, juga akan melanggengkan kasih sayang dan sikap lemah lembut di antara keduanya.
Demikianlah Rasulullah saw. telah menuntun kita untuk senantiasa bergaul dengan makruf kepada pasangan, saling bersenda gurau, berlemah lembut di antara suami-istri. Dengan tuntunan beliau di atas, seyogyanya seorang suami menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kepada istri dan anggota keluarganya yang lain. Demikian pula, istrinya pun diperintah untuk bergaul dengan baik, taat kepadanya dalam perkara yang disyariatkan. Dengan itu akan terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan kasih sayang di antara keduanya (Lihat: QS al-A’raf [7]: 189). Dengan demikian, nyatalah bahwa keluarga Muslim adalah keluarga yang sarat dengan ketenangan dan curahan kasih sayang.
Semoga Allah SWT senantiasa memberi kemudahan kepada kita semua untuk senantiasa memelihara ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan pernikahan kita. Amin. WalLahu a’lam bi ash-shawab. []