HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Peran Penting Militer dalam Perubahan (bagian I)

Meminta dukungan (thalab-un-nushrah) dari kalangan pemegang kekuasaan dan kekuatan (ahl-ul-quwwah wal-man’ah), yang di antaranya adalah militer, merupakan perkara yang telah ditetapkan dalam nash-nash al-Quran. Permintaan dukungan ini mensyaratkan keislaman pada diri mereka yang dimintai nushrah (dukungan/pertolongan). Sebelum proses thalab-un-nushrah itu dilakukan, terlebih dulu harus berdiri sebuah kelompok (kutlah) yang mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam dan mendakwahkannya dengan serangkaian aktivitas yang telah dibatasi oleh pembuat syariah (Allah dan Rasul-Nya). Kutlah yang ada tercermin dalam kegiatannya melakukan pembinaan kepada para pengikutnya dengan tsaqafah Islam secara intensif dan terpusat (murakkaz). Selanjutnya kutlah tersebut menjalani fase interaksi dengan umat (tafa’ul) dalam bentuk yang sempurna, yakni memasuki kancah pergulatan pemikiran dengan menentang pemikiran yang batil dan rusak serta menjelaskan kepalsuannya. Saat yang sama, mereka menampilkan pemikiran Islam yang agung, menonjolkan keluhuran dan superioritas pemikiran Islam atas pemikiran lainnya. Fase tafa’ul ini seiring dengan turut andil dalam penyeruan untuk pemenuhan kemaslahatan umat (tabanni-ud-da’wah li mashalihil ummah) dan juga menyingkap rencana jahat kaum penjajah beserta antek-anteknya.

Dalam melaksanakan berbagai aktivitas pada fase dakwah yang pertama (pembinaan/tatsqif) dan kedua (interaksi/ tafa’ul), maka tujuan para pengemban dakwah adalah memahamkan mabda’ (ideologi) pada umat. Tujuannya agar umat menjadikan masalah penerapan hukum Islam dan melanjutkan kehidupan Islam dalam berbagai bentuk interaksi kehidupan ini sebagai isu utama (qadhiyyah mashiriyyah) bagi mereka. Namun demikian, jika tampak jelas bahwa ada kekuatan penghalang bagi dakwah yang begitu besar dan mendapat sokongan dari kaum kafir penjajah—sebagaimana yang berlangsung pada hari ini—maka gerakan harus segera mengarah pada aktivitas thalab-un-nushrah dari kalangan umat yang secara potensial memiliki kekuasaan dan kekuatan. Ini ditempuh demi meneladani perbuatan Rasulullah saw. saat beliau menyadari bahwa melakukan perubahan melalui terjun ke masyarakat Makkah adalah perkara yang sulit. Beliau mulai melakukan dakwah kepada berbagai kabilah dan kelompok masyarakat lainnya dengan maksud meminta dukungan (thalab-un-nushrah) dari mereka untuk menyampaikan ajaran Rabb-nya. Rasul saw. pun menuju ke Thaif mengharapkan nushrah dari masyarakat di sana. Namun, mereka menolak beliau. Mereka bahkan menggerakkan berandalan mereka untuk mengganggu dan menyakiti Rasul saw. Demikian juga thalab-un-nushrah yang ditujukan pada Bani Amir bin Sha’sha’ah. Beliau mengajak mereka beriman kepada Allah. Namun, mereka menjawab, “Begaimana pendapatmu jika kami telah membaiat engkau untuk mengikuti urusan engkau, kemudian engkau dimenangkan oleh Allah atas orang-orang yang menyelisihimu, apakah lantas kekuasaan itu dapat beralih pada kami setelah engkau?” Beliau menjawab, “Urusan (kekuasaan) itu di tangan Allah. Dia akan memberikan kekuasaan kepada siapa yang dikehendakiNya.” Lalu mereka berkata, “Apakah yang engkau maksud adalah kami berkorban demi engkau melawan bangsa Arab, lalu jika Allah memenangkan dirimu lantas urusan (kekuasaan) itu diambil oleh selain kami? Jika begitu, kami tidak perlu memberi engkau pertolongan dalam urusanmu.” Mereka pun menolak beliau.

Karena itu, Rasul saw. pun menolak untuk mengambil nushrah dari Kabilah Bani Amir tersebut karena mereka memberi syarat bahwa mereka dinomorsatukan dalam kekuasaan setelah beliau wafat. Mereka meyakini benar bahwa mereka akan menjadi sasaran pembunuhan oleh orang-orang Arab ketika mereka memberi pertolongan kepada beliau.

Rasulullah saw. terus melangsungkan dakwah dan melakukan thalab-un-nushrah hingga sejumlah orang yang sangat baik dari penduduk Madinah terpikat kepada beliau. Pada akhirnya tuntaslah Baiat Aqabah I, yang disusul dengan Baiat Aqabah II, yaitu baiat untuk siap berperang (bay’at-ul-harb). Ibnu Ishaq mengatakan: Ashim bin ‘Amr bin Qatadah menceritakan kepadaku:

Sesungguh kaum (dari Madinah) tatkala telah berkumpul untuk melakukan baiat kepada Rasulullah saw., maka Abbas bin Ubadah bin Nadhlah al-Anshari mengakatan, “Wahai orang-orang Khazraj, apakah kalian tahu atas perkara apa kalian membaiat orang ini (Muhammad saw., red.)?” Mereka mengatakan, “Ya.” Ia (Abbas) mengatakan lagi, “Sesungguhnya kalian membaiat dia untuk (siap) memerangi orang-orang berkulit merah dan berkulit hitam.”

          Pada akhirnya, Rasul saw. sukses menegakkan negara di Madinah sebagai hasil pemberian nushrah dari para pemilik kekuatan dan kekuasaan (ahl-ul-quwwah wal man’ah) kepada beliau, yang menyertai berbagai aktivitas dakwah yang dilakukan Rasul saw. dan Mush’ab bin ‘Umayr r.a.

Kondisi Hari Ini

Sesungguhnya berbagai deraan dan kekejian yang yang ditimpakan oleh rezim kekuasaan yang menerapkan hukum kufur dalam menghadang para pengemban dakwah dan putra-putri umat ini secara umum bukanlah satu-satunya alasan pembenar untuk melakukan thalab-un-nushrah. Akan tetapi, semua kejadian tersebut (deraan dan kekejian) dapat dijadikan sebagai dasar penilaian oleh para pengemban dakwah bahwa rezim kufur dan kekuatan yang terikat dengan sistem tersebut telah menegaskan dan menyatakan perang terhadap Islam secara gamblang, menyusul kegagalan rezim tersebut dalam menghadapi pemikiran Islam yang diadopsi oleh umat ini.

Rezim kufur yang berkuasa hari ini tidak sekadar menyerang umat Islam dengan tindakan represif yang dieksekusi oleh aparat keamanan dan mata-mata mereka. Mereka juga secara diam-diam meminta bantuan pada kekuatan internal umat yang direpresentasikan oleh kalangan intelektual, partai politik, dan gerakan-gerakan yang sudah terkontaminasi oleh pemikiran kufur. Mereka pun memperalat jaringan dari berbagai kelompok yang memandang bahwa kepentingan mereka akan terjaga dengan ikut mempertahankan sistem tersebut, dengan harapan sistem tersebut dapat mempermudah aktivitas ekonomi mereka dengan cara diberikan keistimewaan khusus secara ilegal.

Dilihat dari segi sejarah dan konteks kekinian, institusi yang melakukan kegiatan intelijen dan bertindak represif yang mereka sebut sebagai aparat keamanan, yang kadang memiliki karakteristik mirip militer, menjadi lebih kuat dalam beberapa kondisi normal ketika umat diam atas pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh sistem tersebut. Akan tetapi, ketika ada perlawanan maka institusi tersebut menjadi lemah. Ini kembali pada tabiat yang mengikat mereka secara relatif (mudah berubah, red.) dan disebabkan sifat kerahasiaan dan peranan tercela yang mereka lakukan. Ini semua membuat keterikatan anggota institusi tersebut dengan pemimpin mereka cukup lemah. Kadang terjadi penarikan dukungan yang drastis dan dramatis. Bukti-buktinya sudah cukup banyak, seperti penarikan dukungan aparat keamanan dari sistem kekuasaan di Mesir, termasuk angkatan bersenjata di wilayah pusat. Hal yang sama juga terjadi di Tunisia.

Keberhasilan para pengemban dakwah dalam menyingkap kejahatan para intelektual dan berbagai gerakan serta partai politik dalam menghadang agenda umat yang telah menuntut pengorbanan dan kerja keras, keberhasilan para pengemban dakwah dalam menyingkap kejahatan rezim (yang di antaranya memperalat agen rahasia dan represif) yang melawan kepentingan umat serta keterkaitan para penguasa tersebut dengan kaum penjajah—saat penguasa tersebut menjadi batu sandungan ataupun menciptakan penghalang tegaknya Negara Islam, juga sudut pandang bahwa para para perwira militer di berbagai negeri Islam itu tak lain adalah bagian dari umat Islam juga, dan bahwa harapan itu ada di pundak mereka (perwira militer), dan mereka adalah sasaran yang tepat untuk thalab-un-nushrah berdasarkan pemahaman yang benar terhadap hukum syariah yang terkait dengan perkara itu, maka hal ini menjadikan rezim yang berkuasa melakukan evaluasi dan tinjauan ulang. Dimulailah konspirasi siang dan malam saat kepentingan sistem tersebut kini menjadi lebih kompleks. Persoalannya saat ini bukan lagi hanya berkaitan dengan tindakan untuk menghalangi terjadinya revolusi militer dari internal sistem itu sendiri, atau revolusi yang mendapat dukungan dari negara penjajah lain dalam bingkai pergulatan internasional. Yang menyebabkan rezim tersebut bertambah bingung adalah karena tabiat militer beserta alat kelengkapan dan pembentukan mereka ditinjau dari aspek praktis tidak mungkin badan militer tersebut menyerupai badan intelijen rahasia.

Para penyusun rencana dan juga petinggi rezim  ini memutar otak untuk mengambil tindakan—menurut penilaian mereka—dengan memperalat militer tersebut yang bertujuan menghadapi umat. Setidaknya mereka menjamin bahwa militer tersebut tidak merapat kepada umat untuk menentang mereka (sistem tersebut).

Tindakan mereka yang paling menonjol itu di antaranya adalah:

1)   Menyebarkan propaganda ke barisan prajurit dan perwira bahwa rezim tersebut tidak menentang Islam; bahwa konstitusi mereka mencantumkan Islam sebagai agama resmi negara; bahwa Islam adalah salah satu sumber legislasi. Untuk mendukung hal tersebut mereka menyebarkan para pemuka agama ke tengah-tengah kalangan militer

2)   Menyebarkan persepsi keliru yang disokong oleh sebagian ulama dan gerakan Islam yang mengatakan bahwa rezim sistem tersebut itu adalah ulil amri (pemimpin umat) sehingga menaati mereka adalah kewajiban.

3)   Melakukan aktivitas dalam rangka pemperdalam pemahaman tentang ketundukan terhadap instruksi militer tanpa perlu memperhatikan lagi apakah sesuai atau bertolak belakang dengan syariah. Mereka juga memperlihatkan kepada prajurit dan perwira bahwa pelaksanaan instruksi militer tersebut tidaklah melanggar syariah dalam kondisi apapun.

4)   Menyebarkan propaganda bahwa para penguasa dalam rezim tersebut adalah kaum patriot bangsa; bahwa kebijakan politik yang mereka tempuh itu sepenuhnya dicurahkan untuk kepentingan bangsa; bahwa sangat sulit bagi prajurit dan perwira dalam posisi mereka sebagai militer menemukan adanya konfrontasi dengan kebijakan tersebut. Mereka pun ikut mempertegas bahwa keikutsertaan mereka dalam memerangai kaum mujahidin di Pakistan dan Afganistan misalnya, serta kerjasama mereka dengan Amerika dan negara-negara penjajah lainnya itu sebetulnya merupakan kerjasama dalam menumpas terorisme. Mereka (penguasa sistem kufur) adalah pelayan negeri mereka, dan bukan pelayan Barat sebagaimana yang mereka klaim.

5)   Menaikkan gaji dan melipatgandakan serta menambahkan hak istimewa kepada para perwira dan pimpinan militer guna menjamin kelanggengan loyalitas mereka pada sistem yang berkuasa.

6)   Menyebarkan agen mata-mata ke barisan prajurit atas nama intelijen dan keamanan militer, mengirimkan laporan tentang mereka, mengangkat pamor (mengekspos) perwira militer yang tidak memiliki komitmen yang bagus terhadap hukum syariah, dan mempercepat usaha menyingkirkan perwira yang punya loyalitas pada para purnawirawan.

7)   Menyusupkan orang-orang ke dalam alat kelengkapan militer guna mempersulit gerakan revolusi yang berasal dari kesatuan tertentu. Penyusupan itu berdasarkan pertimbangan kelompok, wilayah dan zona. Misalnya, penunjukan orang Nasrani menjadi menteri pertahanan di Suriah, dan menjadikan perwira tinggi militer Suriah dari sekte Nusairiyah ‘Alawiyyah.

8)   Menempatkan kamp-kamp militer yang jauh dari pemukiman penduduk yang dalam banyak kesempatan sering menjadi tempat penyimpanan senjata dan amunisi yang jauh dari jangkauan prajurit.

9)   Menyebarkan persepsi yang keliru bahwa tidak boleh bagi prajurit untuk masuk ke ranah politik; bahwa kemuliaan mereka sebagai militer menghendaki hal itu; bahwa tugas mereka adalah sebatas pertahanan negara. Hal itu dilakukan dengan memberikan gambaran bahwa politik itu identik dengan dajal, pendusta, dan permainan.

10) Menunjukkan kepada prajurit dan perwira bahwa sistem kekuasaan yang ada merupakan katup pengaman yang melarang mereka untuk meminta saran dari berbagai kelompok, mazhab atau suku dalam hal pemerintahan dalam kondisi sedang colaps, karena mereka tahu bahwa sistem itulah yang menciptakan ketakutan ini.

11) Membuat prajurit dan militer melakukan perbandingan antara sistem di negara mereka dengan sistem di negara-negara lain yang lebih jahat, sebagaimana yang dilakukan para penguasa negara Teluk terhadap penduduk Suriah dan juga sebelumnya adalah di Libia. Hal ini agar lahir keridhaan pada diri prajurit dan militer serta menerima penguasa negeri mereka.

12) Para penguasa mengeksploitasi keterkaitan sebagian kroni dari apa yang mereka sebut sebagai oposisi yang punya hubungan dengan para agen. Berita itu pun tersebar luas untuk membuktikan nasionalisme para penguasa tersebut. Mereka memberi pesan kepada para prajurit bahwa sistem alternatif yang diusung oleh kaum oposisi itu jauh lebih buruk.

13) Kaitan sebagian petinggi dan perwira militer dengan rezim yang berkuasa secara gamblang, dan kadang mereka punya kerjasama langsung dengan negara-negara asing.

Berdasarkan hal tersebut di atas tampak jelas bahwa para penguasa sedang bekerja dengan sungguh-sungguh agar militer tetap berada dalam kendali mereka dalam memerangi umat ini. Oleh kerena itu merupakan keharusan bagi para pengemban dakwah untuk menambah laju tantangan dan memasuki pergulatan pemikiran dengan sistem yang ada dengan jenis tertentu yang akan diperankan oleh militer.  (Diterjemahkan oleh: Zamroni Ahmad. Sumber: www.alwaie.org, edisi 306-308) [Bersambung]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*