Kaum Muslim sudah dikenal dengan jumlahnya yang sangat banyak, tetapi sayangnya gaung sang raksasa belum terdengar sepenuhnya. Dari tahun ke tahun, jumlah kaum Muslim mengalami peningkatan di berbagai negara dengan banyaknya muallaf. Pada umumnya, muallaf ini didominasi oleh para pemuda. Subhanallah. Inilah salah satu alasan yang membuat kafir penjajah tergopoh-gopoh menyusun rencana untuk menghancurkan pertahanan kaum Muslim melalui para pemudanya. Maka tidak aneh apabila pemuda Muslim saat ini dibombardir dari segala penjuru aspek kehidupan: makanan, gaya hidup, film dll.
Mari menengok ke zaman Rasulullah saw.. Saat memimpin kaum Muslim beliau ditemani oleh banyak pemuda yang siap berjihad fi sabilillah pada usia belia. Siapa yang tak mengenal Usamah bin Zaid, putra Ummu Aiman. Pada usianya yang masih muda, ia datang mengajukan diri untuk ikut bergabung dengan barisan pasukan Perang Uhud. Namun sayang, Rasullullah saw. menolaknya karena ia masih terlalu muda untuk berperang. Namun, Usamah bin Zaid yang berusia lima belas tahun kembali mengajukan diri untuk bergabung menjadi pasukan dalam Perang Khandaq. Kali ini Rasulullah saw. membolehkannya. Pada usia delapan belas tahun, ia kembali terjun ke medan Perang Mu’tah. Karena keberanian dan kegigihannya, Rasulullah saw. mengangkat dia sebagai panglima pasukan untuk memerangi pasukan Rum pada usia belum mencapai dua puluh tahun.
Masih banyak Sahabat Rasulullah saw. lainnya yang masih muda dengan sejuta tekad untuk syahid fi sabilillah. Zubair bin Awwam masuk Islam pada usia lima belas tahun. Abdullah bin Abbas rela mengetuk satu-persatu pintu untuk menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah dan mengajak teman seusianya untuk ikut belajar walaupun masih ada yang ragu dengan ajakannya. Tak kalah hebatnya dengan yang lain, masih ada Thalhah bin Ubaidillah yang selalu setia berdiri di samping Rasulullah saw., dan selalu menjadi orang pertama yang mengajukan diri untuk melawan kaum musyrik dalam Perang Uhud. Dengan semangat jihad yang lebih panas dari bara api, puluhan bekas tebasan pedang, tusukan, lemparan panah, darah segar dan pergelangan tangan yang putus sebelah-lah yang menjadi impian para pemuda Muslim pada saat itu.
Kekuatan kaum Muslim dengan jumlah yang sangat tidak sedikit ini harusnya sudah bisa membuat perubahan di dunia. Sudah menjadi rahasia umum, khususnya bagi kaum Muslim, bahwa dakwah adalah sebuah kewajiban yang seharusnya senantiasa menjadi poros hidup dan bukan hanya teori. Pemuda Muslim dengan segala potensi luar biasa yang dimiliki, ide cemerlang, fisik yang kuat, semangat yang membara dan kemampuan dalam menyusun strategi seharusnya sudah sangat bisa membawa pemuda Muslim yang lain peduli dan mulai bangkit dari “keindahan” dunia remaja pada umumnya.
Pada saat pemuda lain menikmati masa mudanya dengan bersenang-senang, pemuda Muslim pun mempunyai cara “bersenang-senang” yang istimewa, yakni menyerukan Islam dengan berdakwah. Siapa lagi yang akan melanjutkan estafet perjuangan dakwah Islam sampai Daulah Khilafah Islamiyah berdiri kalau bukan para pemudanya? Siapa lagi yang akan menjadi penggerak dan pejuang syariah Islam kalau bukan pemudanya?
Wahai pemuda Muslim! Bukan saatnya untuk duduk manis berpangku tangan dengan setumpuk urusan duniawi!
Wahai pemuda Muslim! Islam memerlukan masa mudamu, bukan sisa mudamu! Dunia sedang haus akan gaung suara pemuda Muslim yang senantiasa berdakwah dan memperjuangkan Islam agar kembali tegak di muka bumi. Pemuda Muslim yang aktif adalah mereka yang senantiasa aktif berdakwah.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Ratna Fitriani Imanita; Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Prancis UPI, Bandung]
Muhasabah: Tolak Sertifikasi Ulama
Di tengah maraknya sertifikasi guru dan dosen, muncul istilah sertifikasi ulama. Itulah yang diminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Untuk menanggulangi terorisme, ulama perlu disertifikasi. Tentu di dalamnya termasuk kiai, ustadz, mubalig dan sebagainya.
Respon pun bermunculan. Ada yang menanggapi dengan nada heran, marah, bahkan politis-ideologis. Ketua Pengurus Besar NahdLatul Ulama (PBNU), Slamet Effendi Yusuf, saat bertemu saya menyampaikan dengan ringan sambil tertawa kecil, “Lucu…!”
Wakil Sekjen PBNU, Imdaddun, mengatakan dengan ringkas, “Yang mboten-mboten mawon …”
Sikap ini menjelaskan bahwa Pemerintah panik sampai terpikir untuk menyertifikasi ulama. Menggelikan. Tidak mengherankan, Pengacara Senior dari Tim Pengacara Muslim (TPM), Mahendradatta, dengan nada guyon menyampaikan, “Ya, nanti diuji petik di Klender, terus yang lulus bujurna ditempel kir, sarua jeung colt pick up, nya…”
Ketua Umum Sarikat Islam, Djauhari, punya pandangan mirip. Beliau menyampaikan kegeramannya, “Tidak ada logikanya sertifikasi ulama bisa diterapkan. Ngawur itu! Hanya menghabiskan waktu saja.”
Tentu, untuk menghalang-halangi perjuangan ulama yang lurus, musuh-musuh Islam akan rela menghabiskan waktu, tenaga, bahkan biaya. Benar apa yang dikatakan oleh Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Zahir Khan, kepada saya beberapa waktu lalu, “Jelas harus ditolak karena ini merupakan usaha terselubung untuk membatasi tokoh-tokoh Islam dalam segala kegiatannya.”
Bahkan dengan tegas, politisi kawakan dan mantan anggota DPR Abdillah Thoha menyampaikan, “Jelas, ini pemikiran tidak benar. Siapa yang akan menyertifikasi pihak/lembaga/orang pemberi sertifikat?!”
Hal senada disampaikan oleh Bendahara PP Muhammadiyah. Pak Anwar Abbas, sapaan saya kepada beliau, memberikan pertanyaan-pertanyaan retoris, “Kalau ulama disertifikasi, siapa yang berhak melakukan sertifikasi tersebut? Apa kompetensi dia menyertifikasi? Siapa yang akan menyertifikasi Quraisy Shihab, KH Ma’ruf Amin, misalnya? Apakah nanti tidak terjadi sogok-menyogok dan ketidakjujuran? Ini jadi lucu. Ulama terlibat dan dilibatkan dalam masalah menyuap.”
Ketua Majelis Ekonomi Muhammadiyah, Helmi M Burin, mengungkapkan pandangan senada, “Ya, jelas sertifikasi ulama tidak perlu karena ini perkara mengada-ada.”
“Bagaimana dengan pendeta, biarawan, dll; perlu juga disertifikasi?” lanjutnya.
Penolakan terhadap sertifikasi ulama memang merata dari semua kalangan. Zulkifli dari al-Ittihadiyat menyampaikan dengan nada keras, “Orang Indonesia jadi hamba asing, golongan budak!” Hal ini wajar belaka, sebab penyertifikasinya pemerintah sekular. Tentu, hasilnya adalah anti-Islam. Itulah yang disampaikan oleh salah seorang petinggi Partai Bulan Bintang, Fuad Amsyari.
Oleh sebab itu, rencana sertifikasi ulama itu merupakan sikap yang tidak bijak, bahkan mengandung rencana busuk. “Gagasan itu tidak bijak dan kontraproduktif bagi BNPT sendiri,’ ujar Ichwan Sam, Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), beberapa waktu lalu kepada saya.
Bukan sekadar tidak bijak. Rencana sertifikasi ulama lebih mencerminkan ketidakpahaman BNPT tentang kedudukan ulama. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Ryaas Rasyid, menyampaikan pandangannya, “Itu ngawur, Pak Rahmat. Hal ini mengindikasikan tiga hal, yaitu: (1) penggagasnya tidak memahami kedudukan ulama dalam Islam yang dasarnya adalah pengakuan umat, bukan pengakuan penguasa; (2) mengukuhkan asumsi selama ini bahwa aparat keamanan menganggap Islam, ulama, dan pesantren terkait langsung dengan apa yang mereka sebut terorisme; (3) menunjukkan kegagalan aparat keamanan memahami bahwa penyebab utama yang mendorong perilaku ekstrem dalam masyarakat adalah kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan pendidikan.”
Dasar lain yang melatarbelakangi sertifikasi ulama adalah kebencian terhadap Islam. Hal ini disampaikan oleh KH Nazri Adlani (mantan Ketua Umum al-Ittihadiyah). Kiai sepuh yang tetap energik ini mengungkapkan dengan tegas, “BNPT itu mengada-ada dan sarat kebencian terhadap Islam. Sebab, dia tidak memahami Islam dengan benar, hanya berbicara mengenai perilaku segelintir orang yang juga tidak memahami Islam secara utuh. Dia juga tidak tahu siapa yang berhak menyandang predikat ulama sebagai waratsatul anbiya’. Ulama tidak perlu sertifikat atau disertifikasi. Mereka adalah orang yang paling takut kepada Allah sebagaimana dijelaskan dalam surat ar-Rum ayat 21.”
Hal ini wajar belaka, sebab upaya perang melawan terorisme (war on terrorism) memang merupakan agenda AS. Salah satunya adalah menghabisi dakwah Islam melalui pengebirian sikap ulama lewat sertifikasi. Ketika saya bersilaturahmi ke rumahnya, Presiden Konfederasi Serikat Nasional, Daryoko, mengomentari dengan geram, “Ini kan suruhan Amerika. Padahal, ada hadis, ‘Sampaikanlah apapun yang berasal dariku sekalipun hanya satu ayat (ballighû ‘annî walaw âyat).’ Berarti, hadis ini harus disertifikasi juga, dong. Memang kelakuan kapitalis ujung-ujungnya penghancu-ran Islam.” Hal senada diungkapkan oleh pengurus pusat Front Pembela Islam, Awid, dengan mengatakan, “Jelas, kita menolak sertifikasi ulama. Ini berarti mereka menganggap ulama dan Islam sumber teroris. Seharusnya, yang disertifikasi itu pejabat antikorupsi.”
Pandangan serupa disampaikan oleh Ketua Sarikat Islam, KH Amrullah Ahmad. Beliau memandang, “Usulan BNPT tentang sertifikasi ulama sudah merupakan bentuk campur-tangan lembaga negara sebagai cermin beberapa hal, yakni: (1) ada sikap paranoid terhadap gerakan dakwah; (2) pembatasan hak-hak kehidupan beragama; (3) pola pikir lama era Orde Baru untuk mengendalikan dan menghambat dakwah amar makruf nahi mungkar yang merupakan misi utama para ulama; (4) melestarikan kepentingan AS untuk menuntaskan penghambatan sikap kritis ulama terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara serta penyadaran umat atas terorisme adidaya AS pada bangsa-bangsa lemah di dunia; (5) usaha mensubordinasikan ulama pada politik global; (6) melecehkan fungsi ulama dan sikap curiga pada ulama.”
Sikap para tokoh terhadap sertifikasi ulama sama: Tolak! Barangkali ungkapan Ketua Pemuda Persis, Taufik, bisa mewakili. “Kita harus tolak, tidak benar itu,” ungkapnya semangat.
Setelah penolakan masif dimana-mana, Ketua BNPT, Ansyaad Mbai, mengatakan, “Kami tidak pernah meminta sertifikasi ulama.” Padahal dalam berbagai kesempatan terlihat keinginan tersebut. Walhasil, wa makarû wa makaralLâhu walLâhu khayrul mâkirîn. Mereka membuat makar. Allah pun membuat makar. Allah adalah sebaik-baik pembuat makar. Wallâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]