QS al-Fajr [89]: 14-20
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ (١٤)فَأَمَّا الإنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ * وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ * كَلا بَل لا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ * وَلا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ *وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلا لَمًّا (١٩)وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا *
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. Manusia itu, jika Tuhannya menguji dirinya, lalu memuliakan dan memberi dia kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakan aku.” Adapun bila Tuhannya menguji dirinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku menghinakan aku.” Sekali-kali tidak (demikian), tetapi karena kamu tidak memuliakan anak yatim dan tidak saling mengajak memberi makan orang miskin; kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang batil) serta mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (QS al-Fajr [89]: 14-20).
Dalam beberapa ayat sebelumnya diberitakan mengenai kesudahan nasib yang dialami bangsa-bangsa terdahulu yang melakukan tindakan melampaui batas dan kerusakan. Kaum yang diberitakan itu adalah kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun. Mereka memiliki sikap yang sama, yakni melampaui batas dan banyak melakukan kerusakan. Kesudahan nasib mereka pun sama: ditimpa azab yang membinasakan.
Ayat ini kemudian membeberkan kesalahan beberapa perkataan dan perbuatan sebagian manusia, sekaligus membantahnya dan memberikan pemahaman yang benar atasnya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Inna Rabbaka labi al-mirshâd (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi). Kata al-mirshâd merupakan bentuk mif’âl dari kata ar-rashd (mengamati, memonitor, mengawasi, mengintai). Kata tersebut menunjuk pada tempat melakukan ar-rashd.1 Dijelaskan al-Jazairi, al-mirshâd merupakan tempat untuk mengawasi gerakan hewan buruan dan gerakan musuh, seperti menara pengintai.2 Kata al-mirshâd juga bisa berarti ar-râshid, yakni orang yang melakukan pengamatan dan pengawasan suatu urusan untuk mengetahui kebaikan atau bahayanya. Bisa pula untuk menyebut al-hâris (penjaga).3
Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT yarshudu (mengawasi) semua aktivitas manusia, lalu memberikan balasan kepada mereka. Demikian penjelasan al-Hasan dan Ikrimah.4 Al-Baghawi memaknai ayat ini bahwa tidak ada satu pun perbuatan hamba yang luput dari pengawasan-Nya.5
Kemudian Allah SWT berfirman: Fa amma al-insân idzâ mâ[i]batalâhu Rabbuhu fa akramahu wa na’ammahu (Manusia itu, jika Tuhannya menguji dirinya, lalu memuliakan dan memberi dia kesenangan). Menurut al-Qurthubi, al-insân (manusia) yang dimaksud adalah orang kafir. Sebab, sifat tersebut merupakan sifat orang kafir yang tidak mengimani Hari Kebangkitan. Bagi orang kafir, kemuliaan dan kehinaan bergantung pada banyak dan sedikitnya bagian di dunia. Adapun bagi orang Mukmin, kemuliaan adalah yang dimuliakan Allah SWT karena ketaatannya, taufik-Nya, dan yang mengantarkan pada bagian akhirat. Apabila diberikan kelapangan di dunia, dia memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya.6
Pengertian akramahu adalah menjadikan dia mulia di tengah-tengah manusia. Diberikan pula sesuatu yang membuat dia dimuliakan, yakni kehormatan dan harta. Adapun na’ammahu adalah menjadikan dia sebagai penikmat dan hidup mewah dengan harta yang diberikan, dan karenanya tidak kelaparan.7 Dengan kata lain, dia dimuliakan dengan harta dan dilapangkan rezekinya.8
Kemudian diberitakan mengenai sikap mereka tatkala mendapatkan kesenangan tersebut. Allah SWT berfirman: fayaqûlu Rabbî akraman (maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakan aku.”). Perkataan akramanî berarti fadhdhalanî (Dia melebihkan aku) dengan memberiaku harta dan berbagai kenikmatan untuk menambah kualifikasiku; dan keberadaanku memang layak menempati posisi tersebut.9
Dijelaskan asy-Syaukani, mereka bergembira atas apa yang diperoleh dan senang dengan apa yang diberikan kepada mereka, tanpa disertai syukur kepada Allah. Juga tidak terlintas dalam benaknya bahwa itu merupakan ujian dari Tuhannya, cobaan terhadap keadaannya, dan untuk menyingkap sikap dirinya dalam hal kesabaran dan kerisauannya, bersyukur atau ingkar terhadap kenikmatan.10
Kemudian diberitakan pula sikap mereka ketika ketika diberikan ujian sebaliknya. Allah SWT berfirman: Wa amma idzâ [i[btalâhu faqadara ‘alayhi rizqahu (Adapun bila Tuhannya menguji dirinya, lalu membatasi rezekinya). Pengertian faqadara adalah dhayyaqa (menyempitkan). Sebagaimana kemuliaan di tengah manusia dan kekayaan melimpah merupakan ujian, demikian pula dengan kesempitan rezeki, juga merupakan ujian dan cobaan dari Allah SWT.
Ketika mendapatkan ujian tersebut, orang itu juga memiliki anggapan yang salah. Allah SWT berfirman: fayaqûlu Rabbî ahânan (maka Dia berkata, “Tuhanku menghinakan aku.”). Dijelaskan Ibnu Katsir, ketika disempitkan rezekinya, dia meyakini itu sebagai penghinaan Allah SWT terhadap dirinya.11 Dia mengatakan bahwa Allah SWT telah menghinakan dia dan dia tidak bersyukur kepada Allah atas pemberian-Nya berupa keselamatan angota tubuh dan rezeki-Nya berupa kesehatan badan.12
Anggapan dan perkataan mereka pun dibantah Allah SWT dengan ayat berikutnya: Kallâ bal lâ tukrimûna al-yatîm (Sekali-kali tidak [demikian], tetapi sebenarnya karena kamu tidak memuliakan anak yatim). Kata kallâ merupakan rad’ (penolakan) terhadap orang yang mengatakan tentang dua keadaan tersebut; sekaligus sebagai zajr (celaan) terhadapnya. Sebab, Allah SWT meluaskan rezeki dan melapangkan kenikmatan bukan karena kemuliaannya. Demikian pula sebaliknya, Dia menyempitkan rezekinya bukan karena kehinaannya. Namun, itu semua merupakan ujian dan cobaan.13
Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa perkara tersebut tidak seperti anggapan mereka. Allah SWT memberikan harta kepada orang yang dicintai dan yang tidak dicintai; juga menyempitkan rezeki kepada orang orang dicintai dan yang tidak dicintai-Nya. Sesungguhnya yang menjadi parameter adalah ketaatan kepada Allah SWT dalam dua keadaan, yakni: apabila kaya, dia bersyukur kepada Allah SWT; jika miskin, dia bersabar.14
Kesalahan anggapan mereka ditegaskan lagi dalam frasa selanjutnya: Bal lâ tukrimûna al-yatîm. Artinya, yang menyebabkan mereka terhina adalah tindakan mereka sendiri, yakni tidak memuliakan anak yatim. Menurut ar-Razi, tidak memuliakan anak yatim mencakup tiga perkara. Pertama: tidak berbuat baik terhadap mereka. Ini diisyaratkan oleh ayat berikutnya: tidak mendorong memberikan makan kepada orang miskin. Kedua: tidak memberikan haknya. Ini diisyaratkan dengan ayat berikutnya: memakan harta warisan semuanya. Ketiga: mengambil harta mereka. Ini diisyaratkan dengan ayat berikutnya: mencintai harta secara berlebihan.15
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk memuliakan anak yatim. Banyak nash yang menjelaskan tentang perkara ini.16
Kemudian Allah SWT berfirman: walâ tahâdhdhûna ‘alâ tha’âm al-miskîn (dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin). Artinya, mereka tidak memerintahkan (dirinya atau orang lain) untuk berbuat baik kepada orang-orang fakir dan muskin. Sebagian mereka juga tidak mendorong yang lain mengerjakan perbuatan tersebut.17
Bahkan mereka bertindak lebih buruk lagi. Allah SWT berfirman: wata’kulûna at-turâts akl[an] lammâ (dan kamu memakan harta waris dengan cara mencampurbaurkan [yang halal dan yang bathil]). Kata at-turâts berarti al-mîrâts (warisan), sedangkan kata akl[an] lammâ berarti syadîd[an] yakni dia memakan bagiannya dan bagian orang lain. Hal itu disebabkan karena mereka tidak memberikan warisan kepada perempuan dan anak-anak. Semuanya mereka makan.18 Ibnu Zaid mengatakan, “Al-Akl al-lamm adalah orang memakan segala sesuatu yang dijumpai, tanpa bertanya apakah halal atau haram; dia makan harta yang menjadi miliknya dan milik orang lain.19
Selain itu: watuhibbûna al-mâl hubb[an jamm[an] (dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan). Kata hubba jamm[an] berarti hubb[an] katsîr[an] (kecintaan yang berlebihan). Sebab, kata al-jamm berarti al-katsîr (banyak).20Ar-Razi juga menafsirkan-nya: Kalian mencintai dunia dengan kecintaan yang amat berlebihan (hubb[an] katsîr[an] syadîd[an]). Allah menjelaskan bahwa ketamakan mereka hanya terhadap dunia dan mereka berpaling dari urusan dunia.21
Materi Bukan Parameter Kemuliaan
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Pertama: kepastian adanya balasan bagi semua perbuatan manusia. Firman Allah SWT, Inna Rabbaka labi al-mirshâd, jelas menegaskan hal itu. Sebagaimana telah diuraikan, menurut ayat ini seluruh gerak-gerik manusia senantiasa berada dalam pantauan dan pengawasan Allah SWT. Tidak ada satu pun perkataan dan perbuatan yang luput dari pengawasan-Nya. Atas perbuatannya itu, manusia diberikan balasan yang sesuai. Sebagian balasan tersebut bisa diberikan kepada pelakunya semasa di dunia, seperti yang dialami tiga kaum yang diceritakan beberapa ayat sebelumnya. Adapun balasan secara menyeluruh akan diberikan di akhirat kelak. Saat itu manusia mendapatkan balasan yang benar-benar adil. Tidak ada seorang pun yang dirugikan dan dizalimi. Ini juga ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
فَالْيَوْمَ لا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلا تُجْزَوْنَ إِلا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (٥٤)
Pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan (QS Yasin [36]: 54).
Kedua: setiap manusia pasti mendapat ujian dari Allah SWT. Dalam ayat ini disebutkan ibtalâhu. Pengertian al-ibtilâ‘ adalah al-imtihân wa al-ikhtibâr (ujian dan cobaan). Kata tersebut digunakan untuk semua keadaan yang diberikan kepada manusia, baik kekayaan dan kehormatan, maupun kemiskinan dan hidup susah. Semuanya adalah ujian dari Allah SWT bagi manusia. Ujian tersebut dimaksudkan untuk mengetahui siapakah di antara hamba-Nya yang mau mensyukuri nikmat-Nya dan bersikap sabar menghadapi penderitaan. Jika itu dilakukan, balasan kebaikan akan diberikan Allah SWT. Sebaliknya, jika tidak dilakukan, azab-Nya akan ditimpakan kepada mereka. Bahwa kebaikan dan keburukan adalah ujian, juga ditegaskan dalam firman Allah SWT:
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) (QS al-Anbiya’ [21]: 35).
Ketiga: parameter yang salah tentang kemuliaan manusia. Parameter itu adalah ketika menjadikan materi dan simbol kemuliaan duniawi sebagai alat ukur untuk menilai kemuliaan manusia. Parameter tersebut dinyatakan salah oleh ayat ini. Kata kallâ yang disebutkan ayat ini jelas menolak penggunaan parameter tersebut. Kemiskinan yang dialami seseorang tidak serta-merta menjadikan pelakunya terhina. Demikian pula sebaliknya. Kekayaan melimpah yang diberikan kepada seseorang bukan menjadi tanda bahwa terhormat dan dicintai Allah SWT. Bisa jadi yang terjadi justru sebaliknya (Lihat juga: QS al-Mukminun [23]:55-56).
Patut diingat, parameter yang salah itu lahir dari akidah yang salah. Ketika seseorang tidak meyakini akhirat, segala orientasi hidupnya akan terpusat di dunia. Semuanya akan dinilai dengan ukuran-ukuran materi duniawi, termasuk penilaian terhadap kemuliaan manusia. Karena tidak meyakini akhirat, maka kecintaan terhadap dunia beserta isinya amat berlebihan hingga untuk mendapatkannya, dia tidak akan menghiraukan batasan halal-haram sebagaimana diberitakan ayat ini. Realitas ini juga ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai (QS ar-Rum [30]: 7).
Keempat: parameter yang benar tentang kemuliaan manusia. Selain membantah parameter yang salah, ayat ini menjelaskan parameter yang benar, bahwa parameter kemuliaan manusia dinilai dengan ketaatan dan ketakwaannya kepada Allah SWT (lihat juga QS [49]: 13). Dengan demikian, seseorang dinilai mulia ketika menjalankan ketaatan kepada-Nya sekalipun hidupnya miskin dan susah. Sebaliknya, ketika seseorang bergelimang dengan kemaksiatan, dia sesungguhnya adalah hina sekalipun kekayaannya melimpah-ruah. Penyebutan: bal lâ tukrimûna al-yatîm, jelas menunjukkan hal itu. Ayat ini menegaskan bahwa mereka terhina bukan karena rezekinya disempitkan Allah SWT, namun disebabkan oleh ulah mereka sendiri. Tidak memuliakan anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, memakan harta waris tanpa menyisakan bagi ahli waris lainnya, dan kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah di antara yang menjadi sebab kehinaan seseorang.
Semoga kita sukses menghadapi ujian apa pun yang diberikan kepada kita. Semoga kita pun memiliki parameter yang benar tentang kemuliaan serta terbebas dari parameter salah yang menjerumuskan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1407 H), 748; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 473.
2 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 564.
3 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 23.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 50. Lihat juga: asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 531.
5 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turatas al-‘Arabi, 1420 H), 251.
6 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 51. Lihat juga: Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, hlm, 564.
7 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Beirut: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 33.
8 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 533.
9 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 533.
10 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 533.
11 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 388.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl a-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 412.
13 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 534.
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 388.
15 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Uhya‘ al-Turats al-Arabi, 1420 H), 157.
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 388.
17 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 38.
18 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 252.
19 Al-Baghawi, Ma’âlim a-Tanzîl, vol. 5, 252.
20 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 535.
21 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 157.