HTI

Ibrah (Al Waie)

Haji Mabrur

Usianya menjelang 60 tahun. Secara materi, ia termasuk orang kaya. Ia adalah salah seorang jamaah sang ustadz muda. Sebetulnya, ustadz muda itu belum lama mengenal dirinya. Demikian pula sebaliknya. Namun, dalam perjumpaan yang singkat melalui beberapa acara pengajian yang diisi oleh sang ustadz muda di masjid dekat rumahnya, tampak ia adalah tipe orang yang rendah hati, mudah bergaul, ramah dan amat menghormati para ulama dan para asatidz, betapapun usianya lebih muda dari beliau.

Yang paling menakjubkan dari salah satu sisi baik kepribadiannya adalah sikapnya yang amat dermawan dan murah hati. Ia, misalnya, biasa memberikan uang saku setiap bulan bagi anak-anak di sekitar rumahnya yang mau mengaji di masjid. Ia pun biasa menyantuni ratusan fakir-miskin, janda dan anak-anak yatim. Jika selama ini kebanyakan orang atau lembaga berlomba-lomba mencari dermawan untuk kepentingan sosial atau agama, maka ia sebaliknya. Ia biasa mencari orang-orang yang membutuhkan, termasuk lembaga-lembaga keislaman—khususnya masjid, majelis taklim ataupun pesantren—untuk ia sumbang. Sudah puluhan masjid, majelis taklim atau pesantren yang ia bantu; masing-masing bisa mendapatkan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bahkan tak segan-segan, ia akan menawarkan tambahan bantuan jika bantuan yang ia  berikan ke suatu lembaga itu masih kurang. Dalam hal ini, ia termasuk tipikal orang yang perfeksionis. Ia, misalnya, akan terus menambah sumbangannya ke suatu masjid, majelis taklim atau pesantren jika ternyata saat ia lihat pembangunannya belum sempurna. Ia selalu ingin menyaksikan masjid, majelis taklim atau pesantren yang ia sumbang itu benar-benar layak pakai dan tampak bagus.

Yang luar biasa, ia sendirilah yang biasanya mendatangi para calon penerima sumbangan-nya. Bahkan tak segan-segan, ia akan dengan setia menunggu berjam-jam calon penerima bantuan yang ia kunjungi jika kebetulan ia tidak langsung ketemu dengan yang bersangkutan. Itu pula yang dialami sang ustadz muda saat sang dermawan itu menyambangi rumah sang ustadz sekaligus memberikan sumbangan untuk pembangunan majelis taklim sang ustadz, yang saat itu baru berupa pondasinya saja. Tak lama, uang puluhan juta rupiah yang ada di tangan sang dermawan itu pun berpindah ke tangan sang ustadz untuk biaya pembangunan majelis itu. Padahal ustadz muda itu tidak pernah mengajukan proposal pembangunan majelisnya kepada sang dermawan. Hanya saja, sang dermawan itu tahu informasi tentang rencana pembangunan majelis tersebut dari kawan sang ustadz yang kebetulan dekat hubungannya dengan dirinya. Saat menerima bantuan itu, sang ustadz muda tampak amat terharu sembari bergumam lirih kepada saya, “Saat bagi kebanyakan orang investasi dunia selalu lebih menarik—padahal belum tentu untung—daripada investasi akhirat, ternyata ada orang seperti beliau yang berpikir sebaliknya. Inilah bentuk sikap zuhud beliau. Beliau lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah SWT ketimbang apa yang ada pada diri beliau. Karena itulah, beliau sepertinya tidak pernah merasa sayang, apalagi merasa rugi, saat mengeluarkan puluhan bahkan ratusan juta hartanya untuk beliau infakkan di jalan Allah SWT.”

*****

Sang dermawan yang saya ceritakan di atas tidak lain adalah Haji Mabrur.  Saya yakin ia—sesuai namanya—adalah salah seorang haji mabrur; tipikal haji yang ketaatannya kepada Allah SWT lebih baik daripada sebelum haji; yang perilakunya lebih baik daripada sebelum haji; yang ibadah, amal shalihnya dan sedekahnya lebih banyak daripada sebelum haji.

Suatu ketika sang ustadz muda pernah berkata kepada beliau, “Terus terang, Pak Haji, saya iri dengan Pak Haji, yang telah begitu banyak bersedekah dan berwakaf.”

 “Alhamdulillah ya. Kita ini hidup tidak lama kan, Pak Ustadz,” jawab Haji Mabrur, “Apalagi usia saya sudah hampir kepala enam. Saya hanya ingin berinvestasi untuk kepentingan akhirat dan itu belum seberapa dibandingkan dengan investasi akhirat yang dikeluarkan oleh para Sahabat Nabi saw. seperti Abdurrahman bin Auf ra., Abu Bakar ra. Utsman bin Affan ra. dan para Sahabat Nabi saw. yang lain. Sebagian besar harta mereka—bukan sebagian kecil—mereka infakkan di jalan Allah. Bukan begitu kata Pak Ustadz dalam ceramah Pak Ustadz tempo hari,” tambahnya serius dan tampak tulus.

Ustadz muda itu hanya tersenyum bahagia dan tampak terharu seraya kembali bergumam lirih kepada saya, “SubhanalLah ya. Saat bagi kebanyakan Muslim sosok seperti Abdurrahman bin Auf ra. dijadikan idola dan teladan lebih karena faktor kekayaannya—sehingga banyak training yang diselenggarakan bagi para calon pengusaha Muslim selalu  menjadikan beliau sebagai tipikal ideal pengusaha Muslim kaya-raya—Haji  Mabrur ternyata lebih melihat sosok sahabat Nabi saw. yang satu ini dari sisi kezuhudannya serta besarnya infak dan pengorbannya di jalan Allah SWT.”

Pada saat lain ustadz muda itu pernah berkata kepada Haji Mabrur, “Pak Haji, Pak Haji kan sebentar lagi pensiun. Apa tidak ada rencana membuat usaha baru untuk mengisi waktu setelah pensiun. Lagipula Pak Haji kan masih segar-bugar.”

“Betul. Saya masih segar-bugar secara fisik. Namun, secara psikis, saya sudah amat lelah terus memikirkan dunia, mengejar kekayaan. Sampai kapan? Tak akan pernah ada ujungnya kalau bukan kita yang mengakhiri, kecuali saat ajal menjemput kita,” jawab Haji Mabrur yang memang sudah puluhan tahun bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji puluhan juta rupiah sebulan, selain memiliki beberapa usaha yang dijalankan oleh anak-anaknya.

“Biarlah fisik yang masih segar-bugar ini lebih saya optimalkan untuk beribadah dan berjuang di jalan Allah. Biarlah harta kekayaan saya yang masih tersisa saya investasikan di jalan-Nya,” tegasnya lagi.

*****

Pembaca yang budiman, orang seperti Haji Mabrur mungkin memang tidak hanya seorang-dua orang di dunia ini. Namun, tetap saja orang seperti dirinya adalah manusia langka pada zaman sekarang. Jangankan di kalangan Muslim kebanyakan, barangkali di kalangan yang lebih mengerti tentang arti pengorbanan di jalan Allah SWT pun, seperti para aktivis dakwah—yang kebetulan diberi nikmat kekayaan yang berlimpah—amat  jarang sosok seperti Haji Mabrur. Alasannya ‘sederhana’, yakni sikap zuhud makin jauh dari diri, sementara hubbud-dunya’ sering tanpa disadari menyelinap diam-diam ke dalam lubuk hati. Akibatnya, akhirat hanya sesekali saja hadir di pelupuk mata. Sebaliknya, dunialah yang lebih sering menetap di dalam jiwa.

Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*