HTI

Dari Redaksi (Al Waie)

Haji: Persatuan, Ketaatan, Dan Pengorbanan

Subhanallah! Jutaan umat Islam dari seluruh dunia berkumpul dalam pertemuan akbar tanpa memandang ras, warna kulit, kebangsaan, jabatan, atau kekayaan. Mereka berkumpul untuk melaksanakan ibadah haji sebagai wujud ketaatan dan kecintaan kepada Allah SWT dan Rosulullah saw.

Ibadah haji merupakan cerminan persatuan umat Islam. Keimanan kepada Allah SWT dan ketundukan pada aturan-Nya, inilah yang membuat kaum Muslim bersatu ketika melaksanakan ibadah haji. Ketaatan kepada Allah SWT dalam ibadah haji membuat kaum Muslim memakai pakaian ihram yang sama, tawaf di tempat yang sama mengelilingi Baitullah dengan arah yang sama, wukuf pada tanggal 9 Dzhulhijjah di tempat yang sama, yaitu Padang Arafah.

Sayang, persatuan umat itu hanya saat melakukan ibadah haji. Setelah itu umat Islam kembali ke negara masing-masing dengan memikirkan urusan masing-masing. Nasionalisme dengan sistem politik negara bangsa-nya (nation state) dengan gemilang memecah-belah umat Islam seluruh dunia. Masing-masing kemudian hanya melihat kepentingan nasionalnya. Rezim negara-bangsa ini menjadikan nasionalisme sebagai legitimasi ketidakpedulian mereka.

Tidak aneh, meskipun saat ini kaum Muslim di Suriah dalam keadaan yang sangat menyedihkan, dizalimi oleh rezim kufur Ba’ats—tak kurang dari 30 ribu orang terbunuh dan lebih dari 28 ribu yang hilang—rezim-rezim sekitarnya tidak melakukan pembelaan yang nyata. Mereka sibuk beretorika daripada secara nyata mengirim pasukan tentara untuk membebaskan dan menyelamatkan kaum Muslim Suriah.

Saat ibadah haji, umat Islam bisa bersatu, karena keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Demikian juga seharusnya di luar ibadah haji. Keimanan kepada Allah SWT dan ketaatan secara total pada syariah Islam akan menyatukan kaum Muslim bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan. Pasalnya, mereka diatur oleh aturan yang satu, yaitu syariah Islam.

Di sinilah letak penting keberadaan Khilafah sebagai sistem kenegaraan yang akan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Khilafah dipimpin oleh seorang khalifah bagi seluruh kaum Muslim di dunia jelas akan menjamin persatuan mereka. Sebab, tidak mungkin umat bisa bersatu di level negara kecuali kaum Muslim memiliki pemimpin negara yang satu. Karena itu, syariah Islam sangat menekankan kesatuan kepemimpinan (Khalifah).

Abdullah bin Amr bin Ash ra. pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaati imam itu sekuat kemampuannya. Kemudian, jika ada orang lain yang hendak merebutnya, maka penggallah leher orang tersebut!” (HR Muslim).

Berkaitan dengan kesatuan kepemimpinan ini Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan, “Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh dilakukan akad kepada dua orang khalifah pada masa yang sama, baik wilayah Darul Islam itu luas atau tidak.”

Hal senada ditegaskan Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyah wa al-Wilâyât ad-Diniyyah, menegaskan, jika dilakukan akad penyerahan Imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda, maka akad Imamah keduanya tidak sah. Alasannya, umat tidak boleh memiliki dua orang imam dalam satu waktu, meskipun ada segolongan orang nyleneh yang membolehkan hal itu.

Bersamaan dengan bergeraknya jutaan jamaah haji bergerak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melontar jumrah sebagai bagian ibadah haji pada tanggal 10 Dzulhijjah, kaum Muslim di tempat lain melaksanakan salat Idul Adha dan menyembelih hewan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ibadah kurban ini tidak bisa dilepaskan dari kisah keteladaan Nabi Ibrahim as.; keteladan dalam pengorbanan. Ketika Allah SWT memerintahkan menyembelih anaknya sendiri Ismail as. Kita bisa bayangkan begitu beratnya hati Nabi as. Ibrahim as. harus menyembelih putranya sendiri yang merupakan belahan hati yang tentu sangat dia cintai.

Namun, keimanannya kepada perintah Allah SWT membuat Nabi Ibrahim as. membulatkan hati melaksankan perintah-Nya, menyampingkan perasaan beratnya. Subhanallah! Ketika perintah ini ditanyakan kepada putranya, Nabi Ismail as., ia justru mendorong bapaknya untuk melaksanakan perintah Allah SWT tanpa ragu. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada engkau. Insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang-orang yang sabar.”(TQS ash-Shaffat [37]: 102).

Keimanan menuntut ketaatan. Ketaatan membutuhkan pengorbanan. Teladan inilah yang harus kita pegang dalam perjuangan menegakkan agama Allah SWT, memperjuang-kan Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah-Nya secara total. Dasar dari perjuangan ini adalah iman dan ketaatan kepada Allah SWT. Untuk itu kita harus mengorbankan apa saja yang terbaik dari diri kita untuk dakwah ini; mengorbankan harta, jabatan bahkan mengorbankan jiwa.

Rasulullah saw. pun telah memberikan teladan bagaimana beliau tetap istiqamah saat menghadapi berbagai ujian. Rasulullah saw. tidak tergoda saat ditawari harta, kekuasaan dan wanita karena semua tawaran itu membuat dakwahnya dibelengu dan disandera. Saat cobaan siksaan, propaganda busuk hingga isolasi dilakukan Rasulullah saw. tetap konsisten. Tidak sedikitpun se,ua itu melemahkan apalagi menghentikan dakwahnya. Tidak pula semua itu membuat beliau berkompromi, baik secara pemikiran maupun amal.

Pengorbanan pada jalan kebenaran selalu berbuah kebaikan dan kebahagian. Kesabaran Nabi Ibrahim saw. dan anaknya Ismail as. diganjar dengan tebusan domba dan pujian Allah SWT. Kesabaran Rasulullah saw. dan umat Islam berbuah manis dengan tegaknya Daulah Islam di Madinah. Sejak itu umat Islam mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan. Demikian juga pengorbanan yang dilakukan kita umat Islam saat ini untuk menegakkan Khilafah pasti berbuah kemenangan dengan tegaknya Khilafah dan tercapainya ridha Allah SWT. [Farid Wadjdi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*