HTI

Fokus (Al Waie)

Kriminalitas Remaja Di Sekitar Kita

Geliat dunia remaja yang berjumlah 63,4 juta atau sekitar 26,7 persen dari total penduduk Indonesia kian banyak menyita perhatian media. Sayangnya, kabar dari dunia remaja yang mengisi headline media massa justeru didominasi oleh berita miring dan negatif. Kasus kenakalan remaja—yang mengarah pada kriminalitas remaja—dengan berbagai bentuknya tak henti-hentinya menjadi trending topik, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Sudah separah itukah kondisi remaja saat ini?

Kenakalan Remaja Kian Merajalela

Naiknya grafik jumlah kenakalan/kriminalitas remaja setiap tahun menunjukkan permasalahan remaja yang cukup kompleks. Ini tidak hanya diakibatkan oleh satu perilaku menyimpang, tetapi akibat berbagai bentuk pelanggaran terhadap aturan agama, norma masyarakat atau tata tertib sekolah yang dilakukan remaja. Berikut beberapa bentuk kenakalan remaja—yang sejatinya mengarah pada kejahatan/kriminalitas remaja, red.—yang  sering mendominasi pemberitaan media massa:

1.         Penyalahgunaan narkoba.

Penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja makin menggila. Penelitian yang pernah dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Total seluruh pengguna narkoba berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8 sampai 4,2 juta. Di antara jumlah itu, 48% di antaranya adalah pecandu dan sisanya sekadar coba-coba dan pemakai. Demikian seperti disampaikan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) BNN, Kombes Pol Sumirat Dwiyanto seperti dihubungi detikHealth, Rabu (6/6/2012).

2.         Akses media porno.

Pornografi dan pornoaksi yang tumbuh subur di negeri kita memancing remaja untuk memanjakan syahwatnya, baik di lapak kaki lima maupun dunia maya. Zoy Amirin, pakar psikologi seksual dari Universitas Indonesia, mengutip Sexual Behavior Survey 2011, menunjukkan 64 persen anak muda di kota-kota besar Indonesia ‘belajar’ seks melalui film porno atau DVD bajakan. Akibatnya, 39 persen responden ABG usia 15-19 tahun sudah pernah berhubungan seksual, sisanya 61 persen berusia 20-25 tahun. Survei yang didukung pabrik kondom Fiesta itu mewawancari 663 responden berusia 15-25 tahun tentang perilaku seksnya di Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali pada bulan Mei 2011.

3.         Seks bebas.

Gerakan moral Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) mencatat adanya peningkatan secara signifikan peredaran video porno yang dibuat oleh anak-anak dan remaja di Indonesia. Jika pada tahun 2007 tercatat ada 500 jenis video porno asli produksi dalam negeri, maka pada pertengahan 2010 jumlah tersebut melonjak menjadi 800 jenis. Fakta paling memprihatinkan dari fenomena di atas adalah kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut, pemerannya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sesuai dengan data penelitan yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. (Okezone.com, 28/3/2012).

4.         Aborsi.

Gaya hidup seks bebas berakibat pada kehamilan tidak dikehendaki yang sering dialami remaja putri. Karena takut akan sanksi sosial dari lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat sekitar, banyak pelajar hamil yang ambil jalan pintas: menggugurkan kandungannya. Base line survey yang dilakukan oleh BKKBN LDFE UI (2000), di Indonesia terjadi 2,4 juta kasus aborsi pertahun dan sekitar 21% (700-800 ribu) dilakukan oleh remaja. Data yang sama juga disampaikan Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2008. Dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota besar, sebanyak 62,7 persen remaja SMP sudah tidak perawan, dan 21,2 persen remaja mengaku pernah aborsi (Kompas.com, 14/03/12).

5.       Prostitusi.

Selain aborsi dan penularan penyakit menular seksual, gaya hidup seks bebas juga memicu pertumbuhan pekerja seksual remaja yang sering dikenal dengan sebutan ‘cewek bispak’. Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa jumlah anak dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia semakin meningkat dalam empat tahun terakhir ini, terutama sejak krisis moneter terjadi. Setiap tahun sejak terjadinya krismon, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun, sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun  (http://www.gelombangotak.net/pages/artikel-terkait-16/prostitusi-di-kalangan-remaja—200.html, 4/5/12).

6.         Tawuran.

Kejahatan remaja yang satu ini tengah naik daun pasca tawuran pelajar SMAN 70 dengan SMAN 6 yang menewaskan Alawi, siswa kelas X SMA 6. Tawuran pelajar seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perilaku pelajar. Meski sudah banyak jatuh korban, ‘perang kolosal’ ala pelajar terus terjadi. Data dari Komnas Anak, jumlah tawuran pelajar sudah memperlihatkan kenaikan pada enam bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah terjadi 139 tawuran kasus tawuran di wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia (Vivanews.com, 28/09/12).

7.         Geng motor.

Karena longgarnya pengawasan dan ketidaktegasan terhadap geng motor, para angota geng motor semakin leluasa bertindak brutal. Lembaga pengawas kepolisian Indonesia (IPW) mencatat ada tiga prilaku buruk geng motor yaitu balapan liar, pengeroyokan dan judi berbentuk taruhan. Tak tanggung-tanggung, menurut data IPW, judi taruhan tersebut berkisar pada Rp 5 sampai 25 juta per sekali balapan liar. IPW juga mencatat aksi brutal yang dilakukan geng motor di Jakarta telah tewaskan sekitar 60 orang setiap tahunnya. Mereka menjadi korban aksi balap liar, perkelahian, maupun korban penyerangan geng motor (http://www.radioaustralia.net.au, 18/4/12).

Kejahatan remaja yang terus meningkat setiap tahunnya menunjukkan bahwa kondisi ini tidak semata potret buram, tetapi juga kusut dan sulit terurai. Pemerintah seolah ‘angkat tangan’ mengatasinya sampai tuntas. Faktanya, setiap tahun grafik kejahatan remaja terus beranjak naik. Padahal sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah untuk mengatasi masalah ini, tetapi hasilnya belum signifikan. Apa yang salah dengan solusi dari Pemerintah?

Solusi Kapitalis Setengah Hati

Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah agar generasi muda bisa menunjukkan kesiapannya menjadi calon pemimpin masa depan. Berikut beberapa kebijakan Pemerintah dalam mengatasi masalah remaja:

1.         Gerakan anti narkoba.

Guna mengantisipasi penggunaan narkoba di kalangan remaja, Pemerintah gencar mengkampanyekan program ‘Say No to Drugs!’ Ini dilakukan mulai dari penunjukkan duta remaja anti narkoba, sosialisasi bahaya narkoba ke sekolah-sekolah, hingga razia narkoba di kalangan remaja. Bagi pecandu heroin yang sudah akut, Pemerintah memfasilitasi mereka dengan pengadaan jarum suntik steril sebagai antisipasi penyebaran virus HIV. Ada juga program substitusi (pengganti) heroin dengan metadon sebagai bagian dari terapi penyembuhan pecandu.

Ironis. Di satu sisi Pemerintah ngotot ingin menghentikan peredaran narkoba, namun di sisi lain justru pemerintah melestarikan pemakaian narkoba. Inilah salah satu solusi dangkal yang ditawarkan oleh sistem kapitalis sekular dalam mengatasi masalah narkoba.

2.         Gerakan kondomisasi.

Saat ini, kampanye safe sex with condom gencar disuarakan berbagai pihak demi memutus rantai penyebaran virus HIV. Hal senada juga diangkat lagi oleh Menkes Nafsiah Mboi dengan program kondomisasi remaja; seolah ‘karet pengaman’ itu tidak bisa ditembus oleh HIV. Padahal kenyataan menunjukkan sebaliknya. Pakar AIDS, R, Smith (1995), setelah bertahun-tahun mengikuti ancaman AIDS dan penggunaan kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan safe sex dengan cara menggunakan kondom sebagai “sama saja dengan mengundang kematian”. Selanjutnya beliau mengetengahkan pendapat agar risiko penularan/penyebaran HIV/AIDS diberantas dengan cara menghindari hubungan seksual di luar nikah (Republika, 12/11/1995).

Kondomisasi cuma sebuah solusi pragmatis yang sangat menyesatkan. Pasalnya, kondomisasi bukan menghilangkan akar masalah sesungguhnya, yakni seks bebas yang kian beringas di kalangan remaja. Sebaliknya, kondomisasi makin menambah masalah, karena secara tidak langsung melegalisasi seks bebas. Bukannya mengantisipasi, malah memfasilitasi. Akibatnya, kampanye kondom berpotensi menguatkan gaya hidup seks bebas. Hal ini pernah diungkapkan oleh Mark Schuster dari Rand, sebuah lembaga penelitian nirlaba, dan seorang pediatri di University of California. Berdasarkan penelitian mereka, setelah kampanye kondomisasi, aktivitas seks bebas di kalangan pelajar pria meningkat dari 37% menjadi 50% dan di kalangan pelajar wanita meningkat dari 27% menjadi 32% (USA Today, 14/4/1998).

3.         Razia tawuran pelajar.

Untuk mengantisipasi tawuran pelajar yang kian marak, Pemerintah gencar melakukan razia ke sekolah maupun di jalan raya. Pelajar yang kedapatan membawa senjata tajam segera diciduk dan dibawa ke kantor polisi untuk diproses. Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh menjelaskan langkah konkret yang akan ditempuh agar tawuran tidak kembali terjadi, yakni dengan cara membuat tiga rumusan dasar: (a) Tegakkan disiplin internal sekolah; (b) Bangun kegiatan bersama antarsekolah; (c) Berikan dukungan penuh kepada kepolisian untuk menegakkan hukum siapapun yang salah harus dihukum.

Dari upaya Pemerintah mengatasi kenakalan/kejahatan remaja, kebanyakan masih berkutat di permukaan yang pragmatis, belum menyentuh aspek mendasarnya. Inilah solusi pragmatis setengah hati yang menjadi ciri khas sistem kapitalis dalam menyelesaikan masalah. Penyalahgunaan narkoba diatasi dengan metode substitusi (pengganti). Maraknya prostitusi diatasi dengan lokalisasi. Gencarnya seks bebas diatasi dengan kondomisasi. Jadi, yang pemerintah kejar bukan kebaikan masyarakat, tetapi hanya penurunan pengidap HIV/AIDS agar sesuai dengan poin 6 agenda MDGs (Millenium Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Milenium. Inilah salah satu bentuk penjajahan baru dari negara kapitalis yang dilegitimasi oleh PBB. Dengan demikian negara maju bisa dengan bebas mengintevensi kebijakan negara berkembang dengan dalih penyelesaian masalah sosial. Padahal solusinya tampak setengah hati dan menambah parah masalah dalam negeri.

Menepis Diskriminasi Rohis

Satu hal yang tidak disentuh secara intensif oleh Pemerintah dalam mengatasi masalah kenakalan/kejahatan remaja, yaitu edukasi bermutu tinggi; sebuah konsep pembelajaran bagi remaja yang bisa mempengaruhi pola pikir dan pola sikap mereka ke arah positif. Tidak sekadar penyuluhan akibat seks bebas atau sosialisasi bahaya narkoba, tetapi pembentukan pemahaman positif pada diri remaja yang terus-menerus. Dengan begitu mereka mempunyai dorongan sangat kuat untuk menjauhi perilaku yang bisa mengantarkan mereka pada kenakalan/kejahatan. Dorongan yang lebih kuat dari solidaritas teman, pertimbangan materi, atau ikatan emosional, inilah yang didapat siswa dari kegiatan rohis di sekolah maupun kampus.

Rohis dapat meningkatkan sikap religius siswa. Melalui rohis siswa memiliki kesempatan yang cukup besar untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan dan meningkatkan pemahaman keislaman melalui kajian hadis, fikih, akidah, akhlak dan tarikh.  Bukan hanya itu, kajian khusus untuk membahas problematika remaja dengan cara pandang Islam menjadikan para siswa memiliki kepribadian yang Islami (syakhshiyah Islamiyah). Mereka menjadi siswa yang memahami halal dan haram, terikat dengan aturan agama dan taat beribadah. Semua itu akan menjadi pondasi awal bagi mereka jika kelak menjadi pemimpin ataupun yang dipimpin di dalam masyarakat. Kehadiran rohis setidaknya menjadi solusi untuk mengeliminasi masalah kenakalan remaja yang terus meningkat.

Sayangnya, pada tanggal 5 September 2012, Metro TV bikin ulah yang mencoreng nama baik organisasi kerohanian Islam alias rohis. Dalam sebuah tayangan program “Metro Hari Ini”, stasiun TV yang digawangi Surya Paloh ini memaparkan sebuah ilustrasi mengenai pola rekrutmen ‘teroris muda’ yang dikaitkan dengan kegiatan ekstra kulikuler berbasis mesjid yang ada di sekolah.

Apa yang disampaikan Pranowo  dan Metro TV semakin menguatkan keyakinan banyak orang bahwa war on terrorism is war against Islam. Ini adalah stempel negatif yang dimaksudkan untuk membunuh karakter rohis, aktivisnya dan ajaran Islam. Stigma ini adalah teror yang menakut-nakuti agar para siswa menjauh dari rohis; teror bagi orangtua siswa agar tidak mengizinkan putra-putrinya aktif bersama rohis; juga teror terhadap institusi sekolah agar menutup kegiatan rohis jika tidak ingin dicap melindungi base camp pembinaan teroris.

Jika Pemerintah punya kemauan kuat untuk mengatasi kenakalan/kejahatan remaja, sejatinya tak memandang sebelah mata keberadaan rohis, apalagi sampai mengkaitkannya sebagai sarang teroris. Justru rohis dengan segudang kegiatannya akan membantu kerja Pemerintah dalam mengedukasi remaja untuk menjauhi pelanggaran aturan agama, norma masyarakat, maupun hukum negara. Dengan begitu remaja bisa membingkai masa depan kepemimpinannya dengan cerah dan tanpa kusut, seperti harapan pemerintah dan kita semua. Rohis mesti tetap eksis! [341; Guslaeni Hafid (Anggota LDS DPP HTI, Pimred Majalah Remaja Islam D’Rise)].

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*