Agar dicapai keberhasilan yang luar biasa, dengan izin Allah, dalam kancah pertarungan antara keinginan umat dan keinginan penguasa sistem kufur, maka wajib bagi umat, termasuk para pengemban dakwah, untuk meraih dukungan militer agar berada dalam satu barisan bersama mereka. Perlu pula diperhatikan beberapa hal serta dilakukan berbagai aktivitas yang menjamin keberhasilan. Ini tercermin dalam beberapa hal berikut.
Pertama: meyakini bahwa meminta nushrah (pertolongan/dukungan) dari kalangan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan—termasuk militer—serta aktivitas untuk menyatukan mereka dengan umat adalah aktivitas yang masuk kategori metode baku (ath-thariqah), bukan perkara teknikal (al-uslub). Wajib melakukan kegiatan itu terus-menerus hingga Allah menetapkan perkara (kemenangan) yang pasti terlaksana.
Kedua: sesungguhnya anggota militer bukan semata-mata memiliki keterkaitan akidah dengan umat mereka. Mereka juga adalah bagian dari umat Islam yang memiliki hubungan nasab, yakni memiliki keterkaitan secara kekerabatan.
Ketiga: terus-menerus dalam aktivitas dakwah, penyadaran (taw’iyyah) dan pembinaan (tatsqif). Setiap kali bertambah kesadaran umat maka akan bertambah pula kesadaran putra-putri mereka, yaitu anggota angkatan bersenjata. Dengan begitu mereka tidak akan berlepas diri dari keluarga besar mereka.
Keempat: jangan sampai tergelincir dalam perangkap yang dipasang oleh penguasa sistem kufur terhadap umat dengan mengubah skenario yang ditujukan untuk menciptakan kontradiksi umat dengan tentara, yang tak lain adalah anak-anak mereka sendiri, melalui tindakan represif dan pembunuhan yang dieksekusi oleh tentara dengan mengatasnamakan militer. Hal ini sebagaimana pernah terjadi di Aljazair ketika penguasa sistem kufur di sana melakukan pembunuhan setelah membatalkan hasil Pemilu yang dimenangkan oleh FIS. Demikian pula sebagaimana yang berkali-kali dicoba oleh penguasa Suriah saat ini.
Kelima: menerapkan hukum syariah yang berkaitan dengan pembelaan diri ketika penguasa sistem kufur sudah mulai mengarahkan struktur dan kroni-kroninya yang kadang mencakup anggota militer yang mempunyai kebencian dan tersesat. Tidak boleh menyerang beberapa kesatuan militer yang tidak terlibat dalam aktivitas represif karena hal itu adalah sesuatu yang diharamkan.
Keenam: berpegang pada hukum syariah saat terjadi pergolakan dengan sistem kekuasaan tersebut, yang tentu akan memberikan pengaruh positif pada kebaikan nasib umat. Sebabnya, sesungguhnya pemahaman Islam sudah mengakar di dalam pikiran dan jiwa para tentara. Apalagi jiwa manusia secara umum akan menolak sistem seperti itu dan tidak cenderung pada kejahatan. Sebagai contoh adalah ancaman dari kalangan Ahbasy. Mereka adalah representasi dari sebuah kesatuan militer penting di Makkah. Mereka, dengan kekuatan yang mereka miliki, menjamin bahwa tidak ada peperangan pada saat Rasul saw. dihadang memasuki Makkah. Inilah yang tururt memberikan kontribusi pada proses Perjanjian Hudaibiyah yang menjamin bahwa Rasul saw. akan kembali menunaikan umrah tahun berikutnya. Inilah yang terjadi pada ‘Umrat-ul-Qadha` tahun ke-7 pasca Hijrah. Ini pula yang memberikan pengaruh besar pada diri penduduk Makkah yang membuat penaklukannya menjadi mudah pada tahun ke-8 Hijrah. Inilah yang terjadi pada kalangan Ahbasy yang sebetulnya tidak memiliki kapasitas untuk menjadi sasaran nushrah, karena mereka bukan Muslim di saat itu. Lalu bagaimana kita tidak memberi perhatian pada para perwira dan prajurit (Muslim) yang jelas-jelas merepresentasikan ciri yang tepat untuk dijadikan sasaran thalab an-nushrah.
Ketujuh: menolak segala klaim penguasa sistem kufur yang mengaku sebagai pelindung kelompok-kelompok non-Islam. Sebaliknya, Daulah Islamiyah adalah negara bagi seluruh rakyat (Muslim maupun non-Muslim)-nya. Harus pula mengkritik siapa saja yang mendukung sistem ini dan melakukan berbagai tindak kejahatan terhadap umat, dan bagi yang terlibat pada kejahatan tersebut itu adalah bersifat pribadi.
Kedelapan: menyerang berbagai perespsi salah yang mengatakan bahwa militer tidak boleh intervensi dalam politik, dan bahwa tugasnya hanyalah sebatas menjaga negara dan lain sebagainya, yang merupakan pemahaman yang keliru. Hal itu dilakukan dengan mempertegas bahwa: para prajurit dan perwira adalah bagian dari umat sehingga tugas umat adalah tugas mereka; mengkritik (muhasabah) penguasa juga merupakan bagian dari kewajiban mereka. Dulu para Sahabat juga melakukan muhasabah tanpa ada yang menolak. Padahal kapasitas mereka ketika itu sebagai bagian dari tentara Islam. Mereka diperintahkan untuk mengingkari segala kemungkaran yang boleh jadi berujung pada perang terhadap penguasa yang telah terpilih secara sah (syar’i) namun ternyata menampakkan kekufuran yang nyata (kufr[an] bawah[an]). Memang benar, dalam naungan Negara Islam, Khalifahlah—dalam kapasitas sebagai panglima tertinggi atas seluruh kesatuan militer—menggariskan kebijakan perang. Adapun peran seluruh elemen militer adalah menyampaikan saran dan nasehat. Namun, ini tidak berarti bahwa kalangan militer dikecualikan dari kewajiban melakukan muhasabah.
Kesembilan: membuat jarak yang lebar antara petinggi militer yang masih berada satu barisan dengan penguasa sistem kufur dan para perwira tinggi serta prajurit lainnya, kemudian menjadikan para prajurit tersebut memiliki loyalitas kepada para perwira yang mukhlish, yang selanjutnya disempurnakanlah upaya merapatkan mereka kepada barisan umat mereka.
Kesepuluh: penguasa sistem kufur selalu berusaha untuk mendapatkan loyalitas para jenderal dengan menggunakan harta dan berbagai konspirasi sebelum mereka kemudian menggunakan senjata. Solusi dari hal ini adalah dengan memperingatkan para jenderal tersebut untuk bertakwa pada Allah, bahwa dunia sama sekali tidak berarti bagi kehidupan akhirat, dan bahwa segala perlakuan istimewa yang diberikan oleh penguasa sistem tersebut pada mereka semata-mata bertujuan menggelincirkan mereka dari agama mereka.
Di Tunisia, misalnya, sistem yang dipimpin Ben Ali dan juga penguasa sebelumnya Bourguiba mengadopsi institusi kepolisian yang represif yang jumlahnya melebihi angkatan bersenjata. Dia menilai bahwa hal itu memadai untuk menjaga sistem yang dia pimpin. Ketika terjadi revolusi di Tunisia, rezim Ben Ali mendapati bahwa aparat intelijen dan tindakan represif tidak seperti apa yang diharapkan. Lalu ia pun berusaha meminta bantuan militer yang menyebut diri mereka sebagai pelindung rakyat dan tanah air Tunisia. Seketika kekuasaan itu pun tumbang karena militer menolak segala instruksi sang penguasa. Hal ini memaksa penguasa itu dan beberapa kroninya untuk melarikan diri dan meninggalkan Tunisia.
Jadilah Tunisia dikendalikan oleh gabungan berbagai gerakan yang menyebut diri mereka islamis, sementara yang lainnya menyebut diri mereka sekularis. Namun, sistem kufur masih diterapkan. Tunisia pun masih memiliki keterkaitan dengan asing (Barat). Di sisi lain, masih ada persepsi keliru yang tertanam di kalangan militer Tunisia bahwa mereka tidak boleh intervensi dalam arena politik.
Hal yang sama terjadi di Mesir. Ketika terjadi revolusi dan jumlah demonstran bertambah di Tahrir Square serta berbagai kota lain di Mesir, penguasa meminta bantuan kepada lembaga kepolisian yang menyerupai militer (Central Security Forces/Satuan Keamanan Pusat). Jumlah mereka mencapai ratusan ribu dan telah dipersiapkan dengan doktrin kekerasan terhadap masyarakat. Hanya saja, hal itu meleset. Mereka malah menampakkan pembangkangan. Mereka tidak memberi respon pada penguasa. Satu-persatu anggota-anggota mereka mulai menarik diri dari kesatuan mereka.
Kemudian penguasa tersebut bergegas meminta bantuan kepada beberapa kesatuan militer dengan curang. Alasannya, militer akan lebih diterima oleh penduduk Mesir daripada Central Security Forces (quwwat al-amn al-markazi), dan karena sebagian besar pemuda Mesir telah mengikuti wajib militer. Penguasa juga berupaya membujuk militer dengan dalih menjelaskan bahwa demonstrasi yang terjadi melawan penguasa adalah bertujuan menguasai Mesir. Namun, berbagai tipudaya bujukan ini tidak mempengaruhi anggota militer Mesir. Ketika penguasa menyadari bahwa militer tidak mengarahkan senjatanya kepada para demonstran, dan setelah upaya anggota militer membunuh Wakil Presiden Umar Sulayman, terpaksa penguasa itu pun mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Militer yang dipimpin oleh Marsekal Hussein Tantowi.
Dewan Militer meminta bantuan kepada gerakan-gerakan oposisi, termasuk gerakan-gerakan Islam, dalam melampiaskan tuntutan penduduk Mesir dengan tujuan memasarkan konstitusi kufur dan melanggengkan dominasi kaum kuffar terhadap Mesir dan penduduknya dan segala potensinya, khususnya Amerika.
Militer Mesir berkontribusi dalam menumbangkan penguasa sistem kufur itu beserta beberapa kroninya. Mereka sanggup menghadirkan perubahan radikal dengan menegakkan Khilafah. Akan tetapi, mereka belum melakukan itu karena adanya penyesatan dan pelampiasan syaithani oleh para agen intelektual dan politisi di Mesir.
Adapun di Libia, sesungguhnya sistem di bawah pimpinan Muammar Qaddafi—yang dulu meraih kekuasaan dengan jalan revolusi militer melawan kekuasaan Idris Sanusi pada awal bulan September tahun 1969—telah menyadari bahaya laten yang ada di militer terhadap sistem kekuasaan yang kejam itu. Mulailah militer membentuk Brigade Keamanan yang satu sama lain tidak saling terkait. Mereka menjadikan para komandan brigade tersebut berasal dari anak-anak mereka sendiri dan orang-orang yang loyal pada mereka. Ketika revolusi terjadi, sebagian anggota brigade tersebut menyatu dan merapat, khususnya di Benghazi. Realisasi eksekusi itu pun terjadi secara keseluruhan pada para prajurit yang menolak menembakkan senjatanya kepada penduduk Libia. Saat terus terjadi revolusi dan kekerasan terhadap masyarakat oleh pasukan keamanan yang loyal kepada Qaddafi terus berlangsung, maka kaum kuffar yang dimotori Amerika dan Uni Eropa mengambil kesempatan ini untuk intervensi melalui Dewan Keamanan PBB. Lalu dimulailah serangan udara terhadap Libia. Kaum revolusionis Libia pun meminta bantuan kekuatan Asing. Setelah kejatuhan Qaddafi, negara-negara Barat menyerahkan kendali pemerintahan kepada pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Shalih Abdul Jalil yang sebelumnya adalah Menteri Keadilan di masa pemerintahan Qaddafi.
Di Yaman, revolusi telah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. Prosesnya yang berlangsung damai cukup unik. Hal ini membuat geram Ali Abdullah Saleh, anak-anaknya dan juga keponakannya. Karena itulah, ia melakukan penyerangan terhadap para demonstran di Yaman melalui Pasukan Garda Republik yang loyal pada sistem dan dipimpin oleh putranya sendiri.
Terjadilah friksi di internal militer Yaman. Persaingan pun terjadi: kesatuan-kesatuan yang loyal melawan unit-unit yang membangkang dalam skala kecil. Penduduk Yaman menampilkan pengorbanan yang besar. Negara-negara Barat pun meyakinkan Ali Abdullah Shaleh untuk meninggalkan pemerintahan dan menyerahkannya kepada wakilnya. Partai yang berkuasa pun saling berbagi kue kekuasaan bersama kalangan oposisi formal yang telah menjual darah penduduknya di Yaman dengan harga yang murahan. Sistem kekuasaan pun tetap memberikan loyalitasnya kepada Barat dan berkongsi dalam memerangi Islam secara semena-mena dan serampangan atas nama perang melawan terorisme.
Adapun di Suriah, penguasanya memiliki sistem berlapis berupa jaringan yang terdiri dari aparat keamanan intelijen yang represif. Penguasa di sana telah melakukan respon berdarah dan kejam terhadap gerakan revolusi sedari awal. Rezim tersebut meminta bantuan kepada unit-unit militer tertentu, khususnya Divisi Keempat yang bercorak sektarian dan dipimpin oleh saudara Bashar Assad, yakni Maher al-Assad, yang di-back-up oleh aparat intelijen untuk membunuhi dan menakut-nakuti warga dengan melontarkan bom artileri. Mereka juga melakukan pembumihangusan dengan memanfaatkan aparat rahasia, menembaki para prajurit yang menolak menyerang saudara mereka sendiri (rakyat). Orang-orang Suriah mengatakan bahwa ada kuburan massal berisi sisa-sisa tentara Suriah yang telah dihukum mati oleh penguasa.
Karena bendera/panji Divisi Empat telah habis disebabkan perpindahannya yang kontinu dari satu tempat ke tempat lain di Suriah, juga karena penguasa tidak mengirim pasukan yang sebatas militer saja ke seluruh wilayah di Suriah, bahkan selalu bergabung pasukan yang loyal pada militer dengan unit-unit intelijen siluman, ini mengharuskan dihadirkannya segala kekuatan untuk membunuhi para prajurit serta jenderal yang membangkang.
Ringkasnya, putra-putri umat ini yang merupakan prajurit dan perwira adalah hal yang paling berharga di mata kita. Harapan bergantung di pundak mereka. Mereka adalah perbendaharaan umat yang harus menyatu dan merapat pada umat. Dengan meneliti semua peristiwa yang telah dan sedang terjadi di Mesir, Tunisia, Bahrain, Yaman, Libia dan Suriah, tampak bahwa tentara-tentara umat dalam kapasitasnya sebagai militer bukanlah musuh umat, walaupun penguasa di sana-sini mampu memperalat mereka dan menugaskan sebagian unitnya dalam bertindak represif terhadap kaum revolusionis di negeri-negeri tersebut, dengan menggunakan berbagai konspirasi, harta dan senjata, serta menakut-nakuti berbagai kelompok yang hidup di berbagai negeri Islam dengan mengatakan bahwa sistem tersebutlah yang menjaga kelompok-kelompok Muslim tersebut.
Para pengemban dakwah wajib terus menerus tanpa kenal lelah dalam melakukan penyadaran umat, bahwa musuh umat yang sesungguhnya adalah orang kafir penjajah, dan bahwa para prajurit meiliter adalah putra-putri umat sendiri. Maka dari itu, setiap kali bertambah kesadaran umat, bertambah pulalah kesadaran prajurit dan perwira tersebut. Hal ini mengharuskan adanya kegiatan kasyf al-khuthath (menyingkap makar) berupa strategi politik yang dilancarkan terhadap Islam. Makar ini mencoba melepaskan simbol-simbol Islam dan berusaha keras membajak revolusi. Caranya dengan menggambarkan bahwa Islam tidak bertolak belakang dengan demokrasi, dan bahwa capaian tertinggi yang diupayakan oleh demokrasi adalah mewujudkan pembangunan sesuai model Turki. Disebutkan pula bahwa Islam itu diletakkan sebagai solusi dalam aspek ekonomi, dan bahwa indikator pembangunan Kapitalisme tidaklah semu.
Kita wajib memahami secara utuh berbagai cara yang digunakan sistem tersebut dalam menciptakan permusuhan antara militer dan umat. Harus ada upaya untuk menggagalkan berbagai rencana sistem tersebut. Harus pula ada upaya untuk meraih dukungan militer. Tujuannya agar mereka berpihak kepada umat beserta akidah dan syariahnya, juga berikut segala potensi yang ada pada umat untuk hidup dalam naungan negara yang satu yang dipimpin oleh seorang pemimpin, yakni Amirul Mukminin, yang akan memperbaiki penerapan Islam. Dengan itulah umat manusia akan merasakan keamanan, kemakmuran, hidup yang nyaman, penuh kemuliaan dan kebebasan (jauh dari perbudakan dan penghinaan), terlepas dari keterjajahan. Seluruh kebaikan ini akan melintasi seluruh penjuru alam ketika negara tersebut, yakni Khilafah Islam, mengemban dakwah Islam ke segenap bangsa yang terzalimi dan tersesatkan. Khilafahlah yang juga akan melepaskan bangsa-bangsa tersebut dari kungkungan sistem kekuasaan kufur agar rakyatnya hidup sebagaimana rakyat dalam Negara Islam. Di dalamnya ada kaum Muslim yang akan memperoleh kebaikan dunia dan akhirat, juga ada kafir dzimmi yang mendapat hak sebagaimana hak yang diberikan kepada orang Muslim sekaligus memikul kewajiban sebagaimana kewajiban yang dibebankan kepada setiap Muslim. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan hari kemenangan tersebut dekat. Hal itu mudah bagi Allah SWT. [ZAM; Hasan Ismail]