Apa yang sesungguhnya paling ditakuti dari Islam oleh Barat? Khilafah. Tak percaya? Lihatlah bagaimana sikap pemimpin Barat terhadap ide Khilafah. Presiden George W. Bush, misalnya, dalam pidatonya pada Konvensi Tentara AS ke-89 pada tahun 2007 menegaskan akan menyerang siapapun yang menginginkan pendirian kembali Kekhilafahan Islam di Timur Tengah, sebagai bagian dari “perang melawan teror”. Pernyataan serupa digaungkan oleh Presiden Prancis, Nicolas Sarkovy, yang juga memperingatkan siapapun yang berkeinginan untuk menegakkan kembali Kekhilafahan.
Presiden Rusia, Putin, dalam sebuah dialog yang disiarkan televisi secara live pada bulan Desember tahun 2002 juga menyatakan, “Terorisme internasional telah mengumumkan peperangan atas Rusia dengan tujuan merampas sebagian wilayah Rusia dan mendirikan Khilafah Islamiyah.”
Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, di hadapan Konferensi Umum Partai Buruh pada 16 Juni 2005 pun mengatakan, “Kita sesungguhnya sedang menghadapi sebuah gerakan yang berusaha melenyapkan negara Israel dan mengusir Barat dari Dunia Islam serta menegakkan Daulah Islam tunggal yang akan menjadikan syariah Islam sebagai hukum di dunia Islam melalui penegakan Khilafah bagi segenap umat Islam.”
Mereka tentu tahu persis bahwa dengan Khilafahlah kekuatan Islam sebagai sebuah entitas politik yang bakal menaungi lebih dari 1,5 miliar umat Islam di seluruh dunia akan kembali terwujud secara nyata. Khilafah pula yang bakal menjadi tantangan terberat bagi hegemoni Barat pada masa mendatang. Maka dari itu, menghancurkan Khilafah adalah cita-cita Barat selamanya. Barat pernah mewujudkan cita-cita ini setelah Perang Dunia Kedua. Lord Curzon, Menteri Luar Negeri Inggris sesaat setelah keruntuhan Khilafah Utsmani mengatakan, “Kita telah menghancurkan Turki dan Turki tidak mungkin akan kembali bangkit. Sebab, kita telah menghancurkan dua kekuatannya, yakni Islam dan Khilafah.”
++++
Substansi dari Khilafah tidak lain adalah tegaknya syariah, ukhuwah dan dakwah. Dalam konteks perjuangan penegakkan Khilafah, ukhuwah menjadi salah satu kata kunci karena dengan itulah terhimpun kekuatan umat yang dahsyat untuk perubahan ke arah Islam. Karena itulah untuk mencegah tegaknya kembali Khilafah, Barat melancarkan politik-belah bambu atau adu domba agar antar kelompok Islam selalu bertikai sehingga ukhuwah tercabik-cabik.
Soal usaha adu domba antarkelompok Islam bukanlah isapan jempol. Perhatikanlah dokumen yang dikeluarkan oleh Rand Corporation – sebuah lembaga think-tank neo-konservatif AS. Dalam rekomendasi Rand Corporation berjudul Civil Democratic Silam, Parters, Resources, And Strategies yang ditulis Cheryl Benard, diungkap secara detil upaya untuk memecah-belah umat Islam.
Langkah pertama dari usaha adu domba itu adalah melakukan pengelompokan umat Islam menjadi 4 berdasarkan kecenderungan dan sikap politik terhadap Barat dan nilai-nilai demokrasi. Pertama: kelompok fundamentalis, yaitu kelompok yang dinilai menolak nilai-nilai demokrasi dan budaya Barat serta menginginkan sebuah negara otoriter yang puritan yang akan dapat menerapkan Hukum Islam yang ekstrem. Kedua: kelompok tradisionalis, yaitu kelompok yang menginginkan suatu masyarakat yang konservatif. Ketiga: kelompok modernis, yaitu kelompok yang menginginkan Dunia Islam menjadi bagian modernitas global. Mereka juga ingin memodernkan dan mereformasi Islam dan menyesuaikan Islam dengan perkembangan zaman. Keempat: kelompok sekular, yaitu kelompok yang menginginkan Dunia Islam dapat menerima paham sekular dengan cara seperti yang dilakukan negara-negara Barat dimana agama dibatasi pada lingkup pribadi saja.
Langkah berikutnya adalah melakukan politik belah bambu: mendukung satu pihak dan menjatuhkan pihak lain serta membenturkan antarkelompok. Pertama: dukung kelompok modernis dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Caranya dengan memberikan arena yang luas agar mereka dapat menyebarkan pandangan mereka. Mereka harus dididik dan diangkat ke tengah-tengah publik untuk mewakili wajah Islam kontemporer.
Kedua: dukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat di antara mereka; menerbitkan kritik kaum tradisionalis atas kekerasan dan ekstremisme yang dilakukan kaum fundamentalis; mendorong perbedaan antara kelompok tradisionalis dan fundamentalis; mendorong kerjasama antara kaum modernis dan kaum tradisionalis yang lebih dekat dengan kaum modernis; juga mendorong popularitas dan penerimaan atas sufisme.
Ketiga: dukung kelompok sekularis secara kasus-perkasus dan mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai suatu musuh bersama; mendorong ide bahwa agama dan negara dapat dipisahkan, dan hal ini tidak membahayakan keimanan tetapi malah akan memperkuatnya.
Keempat: musuhi kelompok fundamentalis dengan menunjukkan kelemahan pandangan keislaman mereka; mendorong para wartawan untuk mengekspos isu-isu korupsi, kemunafikan dan tidak bermoralnya kaum fundamentalis, pelaksanaan Islam yang salah dan ketidakmampuan mereka dalam memimpin dan memerintah. Posisikan mereka sebagai pengacau dan pengecut, bukan sebagai pahlawan, serta dorong perpecahan antara kaum fundamentalis.
++++
Dalam konteks umat Islam di Indonesia, upaya adu domba itu tampak jelas, misalnya, dari upaya membenturkan NU yang dinilai sebagai representasi kelompok tradisionalis dan Muhammadiyah yang dianggap sebagai representasi kelompok modernis dengan kelompok seperti HTI yang dianggap sebagai kelompok fundamentalis.
Maka dari itu, salah satu poin penting penyelenggaraan Liqa Syawal Ulama (LSU) adalah untuk menepis usaha adu domba HT(I) dengan para ulama, khususnya yang berada di daerah-daerah basis NU, juga dari kalangan Muhammadiyah dan organisasi Islam lain. Melalui LSU yang diselenggarakan HTI pada bulan Syawal di sejumlah daerah yang diikuti oleh ratusan hingga ribuan ulama itu, diharapkan terjalin komunikasi intensif, bukan hanya komunikasi verbal, tetapi juga komunikasi pemikiran, antara komunitas para ulama dan aktifis HTI.
Di hadapan peserta LSU yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Mimbar, Jombang—tempat pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, dulu pernah nyantri—pada 6 September lalu, saya menyampaikan bahwa kita harus menolak segala bentuk adu domba; dan bahwa perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah bukanlah usaha eksklusif HTI, melainkan perjuangan seluruh umat, termasuk NU. Bahkan sejarah pendirian NU sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari usaha menegakkan kembali Khilafah.
Sejarah memang mencatat, sebagai respon terhadap keruntuhan Khilafah pada 1924, sebuah komite untuk menyongsong Kongres Khilafah di Kairo dibentuk di Surabaya pada 4 Oktober 1924 yang diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KH Wahab Hasbullah (salah satu pendiri NU). Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada 24-27 Desember 1924. Kongres memutuskan untuk mengirim utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres Dunia Islam di Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi. Namun, karena ada perbedaan, maka kalangan pesantren kemudian membentuk Komite Hijaz yang diketuai oleh KH Wahab Hasbullah. Komite inilah yang menjadi pangkal pendirian Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 31 Januari 1926 dengan KH Hasyim Asy’ari sebagai ketua pertamanya.
Alhamdulillah, sejauh ini tujuan LSU itu dapat dicapai dengan sangat baik. Para ulama menjadi lebih mengenal langsung sosok aktifis HTI yang dengan ikhlas terus memperjuangkan syariah dan Khilafah agar makin dipahami dan didukung oleh umat; juga lebih mengenal pemikiran HTI, khususnya menyangkut ide syariah dan Khilafah, yang sesungguhnya bagi kalangan ulama bukanlah ide baru karena telah banyak dikaji dalam berbagai kitab yang masyhur di lingkungan pesantren. Para aktifis HTI juga menjadi lebih mengenal dunia pesantren dan sosok para ulama dan cara berpikirnya, bahwa mereka juga sangat bersemangat untuk tegaknya kembali syariah dan Khilafah. “Yang pasti, segala bentuk adu domba harus tidak boleh berhasil, karena umat Islam adalah umat yang satu—dengan Allah, Nabi, Kitab dan Kiblat yang satu, dan saat ini tengah berjuang untuk tegaknya kepemimpinan yang satu, yaitu Khilafah.”
“Allahu akbar!” Takbir hadirin yang duduk bersila di masjid Pesantren Al-Mimbar menggema keras menyambut seruan ini. [HM Ismail Yusanto]