Khumus secara bahasa artinya adalah satu dari lima bagian atau seperlima. Istilah khumus sering digunakan untuk menyebut bagian seperlima dari harta tertentu. Dalam ketentuan syariah ada seperlima dari harta tertentu yang diambil dan menjadi milik Baitul Mal, yaitu khumus dari ghanimah, khumus dari rikaz dan tambang yang depositnya kecil serta khumus luqathah dengan ketentuan tertentu.
Khumus Ghanimah
Ganimah adalah semua jenis harta yang dikuasai oleh kaum Muslim dari harta orang-orang kafir melalui peperangan di medan perang. Pengelolaannya diserahkan kepada Khalifah sesuai dengan pandangannya demi kemaslahatan kaum Muslim.
Rasul saw. pernah membagikan semua ghanimah kepada pasukan tanpa mengambil khumus-nya, seperti pada Perang Badar. Dalam peperangan lainnya, Rasul saw. mengambil khumus-nya, sebelum atau sesudah ghanimah itu diberikan kepada pasukan.
Pada masa Rasul saw. khumus ghanimah itu dibagi menjadi lima bagian masing-masing satu bagian untuk: Allah dan Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Lalu bagian beliau dari khumus itu beliau belanjakan untuk kaum Muslim, sebagian untuk keperluan perang, membeli perisai dan senjata dan menyiapkan pasukan. Adapun bagian kerabat Rasul hanya beliau berikan kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Setelah Rasul wafat, bagian Rasul dan kerabat beliau oleh Abu Bakar ra. diletakkan di Baitul Mal dan dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum Muslim. Hal itu terus berjalan sesudahnya.
Ketentuan pengelolaan khumus ghanimah dijelaskan dalam firman Allah SWT:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanimah, maka sesungguhnya yang seperlima untuk Allah; (juga) untuk Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil … (QS al-Anfal [8]: 41).
Dalam ayat ini, disebutkan ketentuan umum pengelolaan khumus ghanimah “… fa inna lillâhi khumusuhu—maka sesungguhnya khumusnya untuk Allah—yaitu untuk taqarrub kepada Allah dalam segala aspek kebaikan. Kemudian Allah SWT menyebutkan aspek-aspek taqarrub kepada Allah yang diutamakan atas aspek-aspek lainnya, dan bukan untuk membatasi aspek taqarrub itu: wa li [a]r-rasûli wa li dzî [a]l-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîni wa ibni [a]s-sabîl—juga untuk Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil.
Dari semua itu maka harta khumus ghanimah itu ditempatkan di Baitul Mal dan pembelanjaanya diserahkan kepada Khalifah menurut ijtihadnya demi kemaslahatan kaum Muslim, dan afdhal untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Dalam hal itu Khalifah harus memperhatikan kemaslahatan kaum Muslim, pemeliharaan berbagai urusan mereka, pemenuhan berbagai kebutuhan mereka dan penjagaan keamanan mereka, dsb.
Khumus Rikaz, Luqathah dan Mineral Tambang yang Terbatas
Harta yang ditemukan oleh seseorang kadang ditemukan di atas permukaan tanah, tidak tertimbun. Yang seperti itu disebut luqathah. Kadang harta itu ditemukan tertimbun di dalam tanah: jika berbentuk harta olahan atau harta jadi buatan manusia maka disebut rikaz. Jika berupa ciptaan Allah, bukan buatan manusia, maka disebut ma’din (mineral tambang).
Untuk luqathah, jika tidak seberapa nilainya, yaitu jika hilang biasanya tidak dicari-cari oleh pemiliknya, maka bisa langsung dimiliki oleh orang yang menemukan. Jika berupa barang berharga, yang berlaku adalah riwayat Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi saw. pernah ditanya tentang luqathah, lalu Nabi saw. bersabda:
مَا كَانَ فِي طَرِيقٍ مَأْتِي أَوْ فِي قَرْيَةٍ عَامِرَةٍ فَعَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلاَّ فَلَكَ وَمَا لمَ يَكُنْ فِي طَرِيقٍ مَأْتِي وَلاَ فِي قَرْيَةٍ عَامِرَةٍ فَفِيهِ وَفِي الرِّكَازِ الْخُمْسُ
Apa yang ditemukan di jalan yang sering dilalui atau di kampung yang ramai maka umumkan satu tahun. Jika pemiliknya datang (serahkan kepadanya) dan jika tidak maka untukmu. Adapun yang bukan di jalanan yang sering dilalui dan tidak di kampung yang ramai maka di dalamnya dan di dalam rikaz ada khumus (HR an-Nasai, Ibn Khuzaimah, Ibn Abdil Barr, asy-Syafii).
Jadi jika ditemukan di perkampungan atau di jalan yang sering dilalui, maka disimpan dan diumumkan selama satu tahun. Itu jika barangnya tahan lama. Jika barangnya cepat rusak, maka yang menemukannya bisa memilih: dia konsumsi lalu harganya dia tanggung; atau dia jual, lalu harganya atau hasil jualnya disimpan. Jika selama setahun itu, pemiliknya datang maka diberikan kepadanya. Jika setelah setahun pemiliknya tidak datang, barang itu jadi milik orang yang menemukannya.
Adapun jika ditemukan di jalan yang jarang/tidak dilalui, di tempat pembuangan, bekas reruntuhan, di padang pasir, di tanah mati, dsb, maka 80 persennya jadi milik orang yang menemukan dan seperlimanya dibayarkan sebagai khumus ke Baitul Mal.
Adapun jika berupa rikaz yaitu harta buatan manusia yang tertimbun di dalam tanah, Nabi saw. bersabda:
وَفِيْ الرِّكَازِ الْخُمُسُ …
…dan di dalam rikaz ada khumus (HR Jamaah).
Jika ditemukan rikaz, maka harus diteliti manath-nya. Jika diestimasi umur harta timbunan itu cukup untuk mengeluarkan atau memutuskannya dari orang yang menaruhnya dan/atau ahli warisnya, misalnya rikaz harta peninggalan zaman kerajaan pra Islam, kesultanan Islam, atau masa penjajahan, maka 80 persennya menjadi milik orang yang menemukannya, sementara seperlimanya dikeluarkan sebagai khumus.
Jika diestimasi umur harta rikaz itu belum cukup untuk memutusnya dari orang yang menaruhnya dan/atau ahli warisnya, maka diperlakukan sebagai luqathah menurut ketentuan luqathah di atas.
Rikaz tersebut harus dikeluarkan khumus-nya. Selain riwayat di atas, Abu Ubaid dalam Al-Amwâl dan Ibn Qudamah dalam Al-Mughni mengutip riwayat dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
وَفِيْ السُّيُوْبِ الْخُمُسُ، قَالَ وَالسُّيُوْبُ عُرُوْقُ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الَّتِيْ تَحْتَ اْلأَرْضِ
“Di dalam as-suyûb ada khumus.” Beliau berkata, “As-Suyub adalah urat emas dan perak yang ada di dalam tanah.”
Hukum rikaz itu juga mencakup ma’din (tambang) yang depositnya kecil. Sebab, sebutan rikaz juga mencakup ma’din. Selain itu, riwayat Ali tersebut menyebut di dalam as-suyûb ada khumus. Suyûb selain berarti rikaz juga berarti urat mineral khususnya emas dan perak, yakni mineral tambang yang ada di dalam bumi. Ketentuan itu ditegaskan dengan riwayat Abu Ubaid dalam Al-Amwâl dari al-Harits bin Abu al-Harits bahwa bapaknya (Abu al-Harits) membeli ma’din (mineral tambang) dari orang yang mengeluarkannya seharga seratus domba biasa. Ia lalu bisa menjualnya seharga seribu domba. Lalu penjual ma’din itu berkata, “Kembalikan jual-beli itu!” Abu al-Harits menolaknya. Orang itu berkata, “Aku adukan kepada Ali bin Abi Thalib.” Orang itu lalu datang kepada Ali dan berkata, “Abu al-Harits menemukan tambang.” Lalu Ali mendatangi Abu al-Harits. Ali berkata, “Dimana tambang yang engkau temukan?” Abu al-Harits berkata, “Aku tidak menemukan tambang. Orang inilah yang menemukannya, lalu aku beli dari dia seharga seratus domba biasa.” Ali berkata (kepada orang yang menemukan itu), “Aku tidak melihat khumus kecuali menjadi kewajibanmu.” Al-Harits berkata, “Yaitu khumus (dari) seratus domba.”
Abu Ubaid juga meriwayatkan dari asy-Sya’bi bahwa seorang laki-laki menemukan seribu dinar tertimbun di luar Madinah, lalu dibawa kepada Umar bin al-Khathab. Umar ra. mengambil khumus-nya, dua ratus dinar, dan sisanya dikembalikan kepada orang itu. Umar ra. membagikan dua ratus dinar itu kepada kaum Muslim yang hadir dan menyisakan sejumlah tertentu, lalu Umar berkata, “Dimana pemilik dinar tadi?” Orang itu pun berdiri. Umar berkata, “Ambil dinar-dinar ini untukmu!”
Semua itu jika rikaz atau tambang itu ditemukan di dar al-harb atau di negeri kaum Muslim di tanah mati dan semisalnya. Jika ditemukan di negeri kaum Muslim di tanah atau bangunan milik seseorang maka rikaz atau tambang itu jadi milik orang itu.
Harta khumus baik khumus ghanimah, khumus rikaz, khumus tambang dan khumus luqathah, semuanya jadi milik Baitul Mal. Karena saat ini tidak ada Baitul Mal karena tidak adanya Daulah Islamiyah, maka khumus itu bisa langsung dikeluarkan dan didistribusikan untuk orang yang berhak di antara orang-orang miskin, anak-anak yatim, ibnu sabil dan semacam mereka.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]