HTI

Muhasabah (Al Waie)

Ksatria Atau Budak Asing?

Budak asing. Barangkali frase itu tidak begitu salah. Realitas yang dipertontonkan penguasa negeri Muslim terbesar ini semakin membuktikan hal tersebut.

Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bangga menerima gelar ksatria ‘Knight Grand Cross in the Order of the Bath’ atau Ksatria Salib Agung dari Ratu Inggris Elizabeth II.  Setidaknya, ada dua hal terkandung dalam penganugerahan gelar tersebut.  Pertama: SBY dianggap sangat berjasa laksana ksatria bagi pemerintahan Barat, khususnya Inggris.  Kedua: SBY dipandang memberikan jasa bagi kalangan salibis baik di dalam maupun di luar negeri.

Sesaat setelah mendapatkan gelar tersebut, Presiden SBY pun menyerahkan pengelolaan blok Tangguh kepada perusahaan Inggris, British Petrolium (BP). Respon pun bermunculan.  “SBY telah menukar kedaulatan Indonesia dengan gelar Ksatria Salib Agung,” ujar Adhie Massardi.

Lebih keras lagi, mantan anggota DPR, Mashadi menegaskan, “SBY itu budak zionis!”

Kejadian ini semakin mengokohkan kenyataan bahwa penguasa negeri zamrud khatulistiwa ini lebih mengabdi kepada asing daripada kepada rakyatnya sendiri.  Bagaimana tidak, hasil keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan  Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 yang berimplikasi pembubaran BP Migas pun diabaikan.  Banyak tokoh memandang keputusan ini bisa mengembalikan kedaulatan negara atas migas. Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, mengatakan, “UU Migas ini kami rasakan merugikan rakyat. Yang seharusnya, Indonesia lebih sejahtera dari sekarang.”

Namun, tak lama setelah BP Migas yang dinilai sangat pro asing dibubarkan, Presiden SBY menandatangi Perpres No. 95 tahun 2012 yang menegaskan seluruh kontrak migas tetap berlaku (18/11/2012), termasuk 26 kontrak yang akan segera berakhir tetap berlaku.  Artinya, keputusan Mahkamah Konstitusi tidak berpengaruh terhadap sikap Presiden SBY dalam menyerahkan blok-blok kaya minyak kepada asing.  Rakyat tidak apa-apa sengsara, yang penting asing senang.

Dalam diskusi tokoh terkait masalah ini beberapa waktu lalu, semua tokoh yang hadir menolak perpanjangan kontrak pengelolaan migas. Ketua Majelis Ekonomi Muhammadiyah, Helmi M Burin menyampaikan pada saya, “Kalau kita tidak sabar menghadapi dagelan pemimpin yang tidak punya rasa amanah maka akibatnya banyak terjadi hal-hal aneh seperti ini. Tinggal masalahnya apakah harus menung-gu sampai 2014.  KPK pun tak punya nyali untuk menindak para koruptor berjamaah di negara kita ini.  Kasihan umat Islam yang mayoritas selalu jadi korban.”

Azzam Khan, pengacara yang aktif di Indonesia Lawyer Club ini malah menegaskan bahwa pengerukan kekayaan dan penyerahan kepada asing ini akan terus berlangsung selama penguasa dan sistemnya tetap seperti sekarang.  Tidak mengherankan Ketua IRESS, Marwan Batubara, dengan tegas mengatakan, “Rakyat harus bergerak menuntut pengembalian semua pengelolaan blok kaya migas.”

Pada kesempatan berbeda, Bendahara PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, memiliki pandangan, “Negeri ini tidak punya pemimpin yang benar-benar punya ghirah untuk membela rakyat.”

Pertanyaannya: Mengapa sekalipun rakyat menolak penguasa tetap menyerahkan kekayaan rakyat kepada asing?  Boleh jadi, ia takut singgasananya tercerabut.  Kalau ini yang dikhawatirkan, semestinya penguasa kaum Muslim sadar bahwa penguasa negara penjajah kafir tidak dapat dijadikan sandaran.  Apabila mereka sudah tidak suka, niscaya penguasa yang mengabdi kepada mereka akan dijungkalkan juga.  Lihatlah nasib Saddam Husain, Hosni Mubarak, Bashar Assad, dsb.  Begitulah nasib yang akan dialami oleh penguasa yang menjadi budak asing.

Demikian pula jika para penguasa itu mencari kemuliaan dari kafir penjajah itu.  Mereka menelantarkan rakyat dengan menyenangkan negara asing sebagai tuannya,  Tidakkah mereka ingat akan firman Allah SWT (yang artinya): Berilah kabar gembira orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan adzab yang pedih, yaitu orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, pelindung, penolong) selain kaum Mukmin.  Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi mereka?  Sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah semuanya (TQS an-Nisa’ [4]: 138-139).

Allah SWT juga berfirman yang artinya): Siapa saja menghendaki kemuliaan, sesungguhnya milik Allahlah semua kemuliaan itu (TQS Fathir []: 10).

Namun sayang, orang-orang munafik tidak memahami hal ini.  Mereka tetap mencari kemuliaan dari penjajah kafir seraya meninggalkan Allah, Rasul dan kaum Mukmin. Padahal Allah SWT menegaskan: Kemuliaan itu bagi Allah, Rasul dan kaum Mukmin. Namun, orang-orang munafik itu tidak paham (TQS  al-Munafiqun [63]: 8).

Pada sisi lain, ketika tenaga kerja Indonesia di luar negeri dianggap sebagai barang dagangan yang bisa didiskon, Presiden SBY tak banyak berbuat.  Begitu pula ketika saat ini Israel sedang mengganyang kaum Muslim di jalur Gaza, menyerbu dan membunuhi mereka, sang ‘ksatria’ pun diam.  Tak berbuat apa-apa.  Jadi, semakin jelas, ksatria buat siapa?  Yang pasti, bukan bagi umat Islam.  Susah dibedakan, ksatria atau budak asing.

Wallâhu a’lam. [DPP Hizbut Tahrir Indonesia; Muhammad Rahmat Kurnia]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*