Masjid Tua Al-Hilal Katangka Gowa Sulawesi Selatan yang dibangun pada tahun 16031 adalah masjid tertua di Sulawesi Selatan2, dan tertua kesembilan di Indonesia setelah Masjid Saka Tunggal (1288) Purwokerto, Masjid Wapauwe (1414), Masjid Ampel (1421) Jawa Timur, Masjid Agung Demak (1474), Masjid Sultan Suriansyah (1526) Kalimantan Selatan, Masjid Menara Kudus (1549) Jawa Tengah, Masjid Agung Banten (1552-1570) Jawa Barat dan Masjid Mantingan (1559) Jawa Tengah.3
Masjid ini dibangun pada masa Pemerintahan Raja Gowa XIV yang diberi nama Al-Hilal, Katangka, yang kemudian lebih dikenal dengan Masjid Katangka. Masjid dengan luas bangunan 212,7 meter persegi ini terletak di Jalan Syekh Yusuf, Desa Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 9 kilometer sebelah selatan pusat Kota Makassar. Ciri antik Masjid Katangka ditandai dengan dinding batu-bata yang tebalnya mencapai 120 sentimeter. Konstruksi atapnya berbentuk joglo dengan dua lapis. Bagian teratas membentuk segitiga piramid berbahan genting.4 Bangunan masjid ditopang oleh empat tiang utama dengan diameter lingkarannya melebihi orang dewasa, jumlah tiang menggambarkan empat Khulafaur-Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.5
Masjid Tua Katangka didirikan di dalam areal Benteng Kalegowa yang berarti masih dalam kawasan Istana Tamalatea. Benteng Kalegowa merupakan benteng terkuat yang dimiliki Kerajaan Gowa pada masa itu. Rumah-rumah raja dan bangsawan dibangun dalam benteng ini. Dinding Masjid Tua Katangka dibangun dengan bahan yang sama dengan dinding Benteng Kalegowa. Inilah mengapa masjid ini kadang disebut benteng dalam benteng.6
“Selain basis ilmu keislaman, masa Sultan Hasanuddin, Masjid Katangka juga basis pertahanan fisik umat Islam dari musuh. Masjid berada di dalam lokasi Istana yg dikelilingi benteng. Tembok masjid ukuran besar (120 cm) mengikuti benteng. Bahkan Masjid Katangka disebut benteng terakhir karena ada juga meriam yang diberinama ‘meriam subhana’ untuk mempertahankan diri. Benteng Katangka yang didalamnya ada masjid Katangka adalah benteng terbesar mengalahkan Benteng Roterdam,” ungkap Dg. Ngeppe Imam Masjid, kepada Farhan dan Abd. Aziz (kontributor al-wa’ie) saat ditemui di kediamannya, ahad (7/10).
Dua tahun setelah didirikan, yakni tahun 1605, Sultan Alauddin menetapkannya sebagai pusat kegiatan dakwah Kesultanan Gowa dan menjadikan sebagai pusat kegiatan pemerintahan karena Gowa telah menjadikan Islam sebagai dasar pemerintahan. Dengan langkah pasti, Kesultanan Gowa menyebarkan Islam ke seluruh daerah di Sulawesi Selatan dan menempatkan Masjid Katangka sebagai pusat dakwah dan penyebaran Islam.7 Dengan demikian fungsi masjid bukan hanya sekadar tempat beribadah, tetapi juga menjadi tempat pertemuan pembesar Kesultanan dan menyampaikan berbagai pengumuman kepada rakyat. “Masjid Katangka sebagai pusat Kesultanan Gowa. Sultan (Raja) shalat berjamah di masjid karena dekat dengan Ballalompoa (istana) yang waktu itu Istana berada di Katangka. Sultan (Raja) memerintahkan anak kandungnya (Sultan Idris) menjadi pengurus masjid, Bendahara Kerajaan dan Bate Salapang (Dewan Kerajaan) memakmurkan masjid. Dari Masjid dipahami ilmu keislaman, Kesultanan Gowa mengajak raja-raja di Soppeng, Bone dan Wajo,” tutur Dg. Ngeppe, Lc, Imam Masjid Katangka saat ini.8
Sejak berdiri, Masjid Katangka menjadi pintu utama penyebaran Islam di seluruh pelosok Sulawesi Selatan. Sederet ulama besar pernah punya andil menghidupkan syiar Islam di Masjid Katangka. Satu di antaranya ialah Syekh Yusuf Taj al-Khalawati, ulama sekaligus pejuang, yang lebih dikenal dengan nama Tuanta Salamaka.9
Ketika Kesultanan Gowa Tallo secara resmi menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan maka penyebaran Islam melalui futuhat (pembebasan) di wilayah Sulawesi dilakukan melalui kekuatan militer yang pada saat itu sangat terkenal kebesarannya. Menurut H. Abd. Qahar, jumlah pasukan yang dikirim ke Bone saja mencapai 20.000 personil10 sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan proses islamisasi. Kerajaan Sidenreng Rappang dan Soppeng tunduk pada tahun 1609, menyusul Kerajaan Wajo tahun 1610, dan terakhir adalah Kerajaan Bone pada tahun 1611 M.11 Kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kerajaan utama yang memiliki kekuatan. Adapun kerajaan kecil maka masuknya Islam lebih mudah.
Islamisasi secara struktural adalah menjadikan syariah sebagai dasar negara. Sebelumnya telah ada ADE’ (Undang-undang), RAPANG (Yuriprudensi), WARI (aturan-aturan / keprotokoleran), BICARA (kesepakatan kerajaan). Pemerimaan Islam sebagai agama resmi Kerajaan menjadikan syariah sebagai landasan dan yang kelima yaitu SARA’ (Syariah). Akibatnya adalah dibuatkan jabatan struktural yang baru yaitu QADHI (Hakim), IMAM, BILAL, KATTE’ (khatib), DOJA sebagai perangkat syiar Islam ke rakyat.12
Kadi (Qadhi) ditunjuk untuk hadat dan penguasa, tempat mereka bertindak sebagai hakim pengadilan agama (syariah). Imam (pengurus masjid) ditunjuk untuk wanua (masyarakat adat). Adapun guru (Anrong-Guru atau Anre-Guru) merupakan guru yang menyiarkan agama baru itu ke desa-desa maupun pejabat terendah dalam hierarki administrasi Islam. Guru menjadi anggota cabang pengadilan agama yang dikepalai Imam.
Keberhasilan proses islamisasi di Sulawesi Selatan yang telah dilakukan oleh Kesultanan Gowa Tallo dengan menjadikan Masjid Katangka sebagai basis (titik sentral) pembinaan untuk melahirkan para dai dan ulama serta pusat pemerintahan. Ini mengingatkan kita pada tahapan dakwah Rasulullah saw. di Madinah, yakni tahapan istilamul hukmi (penerapan hukum) dengan menjadikan masjid sebagai pusat pemerintahan Daulah Islam di Madinah. Dari sinilah perluasan dakwah dilakukan dengan melakukan futuhat terhadap pemerintahan di sekitar Jazirah Arab. [Muh. Shadiq]
Catatan kaki:
1 Prasasti Masjid Katangka dalam bahasa Makassar, yang jika diindonesiakan: “Masjid ini dibangun pada hari Senin 7 Rajab 1011 Hijriah bertepatan dengan 18 April 1603 Masehi, wawancara dengan H. G. Faisal Sirajuddin Dg. Ngeppe, Lc (Imam Masjid Tua Katangka) tgl 7 Oktober 2012, oleh Farhan dan Abd. Azis (reporter daerah).
2 Meski ada yang juga menyebut Masjid Agung Palopo yang lebih tua, jika didasarkan proses islamisasi di Luwuk yang dilakukan oleh Kesultanan Gowa, maka Katangka lebih awal.
3 Tribunenews.com, dari berbagai sumber.
4 Kabarmakassar.com/?p=9948
5 Sombaopugowa.wordpress.com/2010/12/04/masjid-tua-katangka/
6 Majalahversi.com/makassar/masjid-al-hilal-katangka.
7 Arkeologi.web.id/articles/arkeologi-kesejarahan/2025-masjid-katangka-tonggak-islam-di-sulsel.
8 Wawancara oleh Farhan dan Abd Azis (reporter daerah) tgl 7-10-2012 di kediaman Dg. Ngeppe, Lc
9 Palingindonesia.com/masjid-katangka-saksi-sejarah-lahirnya-islam-di-sulawesi-selatan/
10 H. Abd. Qahar, Arung Palakka Datu Tungke’na Tana Ugi’e, cet. I/2010, hal 35. Penerbit Yayasan al-Muallim.
11 Ilham Kadir, BA., Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar (E-arrahman.com/new/?p=269). Lihat juga: H. Abd. Qahar, Arung Palakka Datu Tungke’na Tana Ugi’e, “Bone di Bawah kekuasaan Gowa,” hlm. 35, cet. I/2010.
12 Bundokanduang.wordpress.com/2008/10/10/kunang-kunang/, http://buletinmitsal.wordpress.com/perspektif/islamisasi-di-sulawesi-selatan