Hampir setiap tahun sejak liberalisasi migas dikokohkan dan dilegalkan melalui undang-undang No. 22 tahun 2001, publik disuguhi dengan berbagai informasi kisruh mengenai pengelolaan migas di negeri ini dan sekaligus aksi mempertanya-kan keberpihakan Pemerintah terhadap rakyat dalam pengelolaan migas yang selalu berpihak kepada perusahaan swasta baik lokal maupun asing. Ada kisruh pengelolan Blok Cepu dan kasus operator Blok Migas West Madura tahun 2011. Tahun 2012 ini kisruh kembali terjadi. Pertamina yang didukung oleh sejumlah aktivis dan akademisi menuntut agar BUMN tersebut diberi kesempatan untuk mengelola Blok Mahakam yang kontraknya berakhir pada tahun 2017.
Di bidang tambang minerba, keberadaan Undang-Undang No. 04 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, melengkapi lepasnya peran Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam yang diserahkan kepada para pemilik modal/swasta nasional maupun asing. Walaupun keberadaan UU ini juga mengatur mengenai larangan ekspor bahan mentah yang akan berlaku efektif pada tahun 2014, yang terjadi para pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan KK (Kontrak Karya) berlomba-lomba menjual sebanyak-banyaknya hasil eksploitasi tambang mentah. Ekspolitasi tambang mineral mengalami lonjakan yang signifikan hingga mencapai 800%. Over eksploitasi tersebut terjadi karena Pemerintah daerah dengan mudah menerbitkan IUP, tidak membatasi produksi dan eskpor. Berdasarkan data Dirjen Minerba Kementerian ESDM, hingga saat ini dari 9.662 yang dikeluarkan oleh pihak daerah, hanya 3.778 IUP yang berstatus clean and clear atau yang memiliki dokumen lengkap, tidak tumpang tindih are lahan dan tidak ada persoalan hukum. (Sumber: http://www.starbrain indonesia.com).
Selain faktor kebijakan Pemda, diduga kuat banyak investor asing ternyata berada di belakang perusahaan tambang di Indonesia, khususnya di sektor pertambangan nikel. Investor asing memanfaatkan lemahnya birokrasi perizinan Pemda dengan menggunakan perusahaan lokal. Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan saat ini juga menimbulkan masalah beragam, seperti pemalsuan dokumen dan tumpang tindih izin usaha pertambangan (IUP) yang mengakibatkan sengketa wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Salah satu kasusnya adalah sengketa PT Aneka Tambang dengan PT Duta Inti Perkasa Mineral, di Tapunopaka, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. (Sumber: http://www.starbrainindonesia.com).
Pemberian izin kepada perusahaan swasta baik lokal maupun asing atas tambang yang baru atau perpanjangan kontrak bagi yang sudah berjalan seperti kasus Blok Mahakam, Blok tangguh yang diberikan kepada British Petrolem, tambang emas di Irian Jaya yang diberikan kepada PT Freeport Amerika Serikat dan ribuan kontrak karya lainnya, selalu bermuara pada dua alasan klasik yang dikemukakan Pemerintah: ketidakmampuan Pertamina dan BUMN lainnya dari sisi teknologi dan ketidakmampuan dari sisi permodalan. Benarkah bahwa Pertamina dan BUMN lainnya tidak memilik kemampuan untuk menjadi pengelola tunggal dibidang Migas dan Minerba? Ataukah yang tidak ada itu bukan teknologi dan modal, tetapi political will dari Pemerintah yang neoliberal sebagai sumber masalahnya?
Pertamina Mampu!
Masalah teknologi dan permodalan sering menjadi alasan klasik Pemerintah untuk menyerahkan ekplorasi migas ke pihak asing. Persoalan yang pertama, yaitu teknologi ekplorasi minyak dan gas serta minerba, sebenarnya bukan masalah utama. Pertamina dan BUMN lainnya sudah mampu melakukan ekplorasi migas dan minerba baik onshore (darat), offshare (lepas pantai) maupun laut dalam (deep water). On share adalah bentuk eksplorasi di darat. Pertamina dengan tenaga-tenaga ahlinya dari dalam negeri sudah mampu mendeteksi dan mengekplorasinya tanpa hambatan. Penemuan cadangan minyak di Blok Cepu adalah tenaga ahli dari Pertamina. Pertamina pun menyatakan mampu secara teknologi untuk mengekplorasinya tanpa bantuan asing. Adapun offshore adalah bentuk ekplorasi migas di wilayah laut baik lepas pantai laut dangkal maupun laut dalam atau deep water. Dalam hal eksplorasi migas dalam bentuk offfshore selama ini Pertamina sering diragukan kemampuannya bahkan dianggap tidak mampu baik dari sisi teknologi maupun permodalan. Sebagai contoh ketika Blok Migas West Madura akan selesai kontraknya tahun lalu, Pemerintah pada saat itu terkesan enggan memberikan operator Blok West Madura kepada Pertamina dan lebih cenderung memperpanjang operator yang pada waktu itu dikelola oleh Kodeco, perusahaan minyak asal Korea Selatan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah ketika Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang saat itu opertornya British Petroleum; Pemerintah juga lebih cenderung memberikan perpanjangan operator kepada British Petroleum. Namun, karena desakan dari berbagai pihak, akhirnya kedua blok tersebut diserahkan kepada Pertamina. Hasilnya, ternyata bukan saja Pertamina mampu memproduksi tapi hasil produksinya juga meningkat. Saat masih dikelola British Petroleum produksi minyaknya hanya 21.000 barel perhari. Setelah dioperatori oleh Pertamina hasilnya naik menjadi 30.000 barel perhari, bahkan dari sana juga dihasilkan gas 200 juta kubik (Warta Pertamina, Juli 2011). Apalagi ternyata pengelolaan offshore di ONWJ dan WMO bukanlah hal yang baru bagi Pertamina. Menurut Muhammad Husen, Direktur Hulu Pertamina, offshore di kedua blok tersebut bukan yang pertama, karena sebelumnya Pertamina sudah memulai di Blok Gebang Sumatera dan Blok Kakap di Natuna. Bahkan Pertamina juga sudah 10 tahun sebagai operator di Luwuk yang melakukan pengeboran laut dalam kedua setelah Unocal. Oleh karena itu alasan ketidakmampuan Pertamina dari aspek teknologi sebagai operator blok migas seperti operator Blok Mahakam yang sekarang sedang ramai diperbincangkan adalah sebuah kebohongan belaka untuk menutupi alasan sebenarnya. Sebagaiman diketahui, Wamen ESDM sebelumnya mengatakan bahwa Pertamina tidak mumpuni untuk kelola Blok Mahakam, tetapi kemudian dia ralat dengan mengatakan, “Untuk menjadi operator Blok Mahakam bisa saja Pertamina bekerjasama dengan perusahaan Total. Sebab, kemampuan kedua perusahaan tersebut dalam mengelola industri hulu migas tidak diragukan lagi.”
Aspek permodalan adalah alasan kedua yang sering dijadikaan alasan bagi Pemerintah untuk tetap memberikan atau memperpanjang kontrak migas dan minerba kepada swasta baik lokal maupun asing. Memang betul, eksplorasi migas memerlukan biaya yang sangat besar apalagi untuk ekplorasi offshore sehingga kalau gagal bisa membawa kerugian. Kalau kegagalan mengebor di darat, hilangnya paling sekitar 10 juta dolar Amerika persatu sumur. Kalau mengebor di laut seperti di Laut Makasar yang dilakukan oleh StatOil dan ENI perharinya 1 juta dolar, tetapi hasilnya juga seimbang dan bisa menutupi bahkan untungnya akan lebih besar. Karena itulah para kontraktor asing banyak yang mau melakukan. Karena itu risiko ini bisa diminimalisasi dengan data-data yang akurat sebelum memulai aktivitas pengeboran. Hal ini mulai dirasakan oleh Pertamina ketika mengakuisi Blok ONWJ, Sebelum diakuisisi Pertamina menilai investasinya hanya 250 juta dolar, dalam tempo satu tahun sudah naik dua kali lipat menjadi 500 juta dolar. Seandainya semua blok migas di kelola oleh Pertamina dengan profesional maka sebagian problem migas yang menimpa masyarakat dan bangsa ini akan bisa teratasi.
Lalu dari sisi sumbernya, seandainya Pemerintah atau Pertamina tidak memiliki dana, sebenarnya banyak lembaga keuangan atau perbankan yang bisa menjamin kucuran kredit jika Pertamina memiliki underlying asset (jaminan). Apalagi jika hal ini didukung oleh jaminan Pemerintah melalui pemilikan cadangan nasional migas oleh Pertamina sebagai BUMN seperti halnya negara lain, misalnya Venezuela atau Malaysia melalui Petronasnya.
Yang Tak Ada: Political Will!
Jadi teknologi dan modal sebenarnya bukan masalah utama. Apalagi Pertamina sebagai satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya dibandingkan perusahaan asing. Masalah utamanya adalah political will Pemerintah yang tidak pro rakyat. Ini terbukti dalam beberapa kasus seperti tambang migas Blok Cepu atau tambang emas Freeport dan Newmont. Dalam kasus Blok Cepu dan Freeport, misalnya, karena tekanan Amerika dengan begitu mudahnya Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobile, sedangkan tambang emas di Irian Jaya terus dibiarkan dikuasai Freeport.
Akibatnya, kekayaan di negara ini tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara optimal oleh rakyatnya. Pada tambang migas, saat ini ada 60 kontraktor migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama: Super Major, terdiri ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%. Kedua: Major, terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Ketiga: perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%. Dalam kasus PT Freeport Indonesia, dari tambang di Papua tersebut Indonesia seharusnya mendapatkan keuntungan Rp 50–100 triliun pertahun andai pengelolaan tambang itu dikelola oleh negara bukan swasta. Sebagian besar tambang nikel juga dinikmati oleh perusahaan Jepang karena hampir 53% kebutuhan industri nikel Jepang dipasok dari hasil tambang nikel Indonesia.
PoIitical will yang tidak pro rakyat ini muncul dari pola pikir atau mindset Pemerintah yang liberal dan kapitalistik yang didukung oleh DPR. Lahirlah UU dan regulasi yang liberal dan kapitalistik seperti UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan UU Minerba no. 4 Tahun 2009. Menurut UU tersebut, BUMN kedudukannya disejajarkan dengan perusahaan-perusahan swasta, termasuk asing, bahkan anehnya BUMN cenderung dianaktirikan. Tentu bagi mereka yang masih memiliki nurani akan mempertanyakan: ada apa di balik kebijakan Pemerintah yang selalu mengutamakan kepentingan para kapitalis asing dibandingkan dengan kepentingan rakyat?
Penutup
Political will Pemerintah dan DPR yang kapitalis dan neoliberal saat ini merupakan hasil sistem demokrasi kapitalis. Sistem ini masih tegak sebenarnya juga karena political umat atau rakyat masih mendukung baik secara sadar maupun karena dibodohi oleh para elite politiknya. Karena itu sudah saatnya umat ini dengan berbagai komponennya menyatukan hati, pikiran, dan langkah untuk mengganti sistem tersebut dengan sistem yang sudah terbukti menjadikan kekayaan alam bisa dinikmati dan mensejahterakan seluruh rakyat baik muslim maupun non-Muslim, yaitu sistem pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis syariah yang diterapkan dalam sistem pemerintah Islam yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. WalLahu a’lam. [Dr. Arim Nasim, M.Si]